Awal Maret lalu, Indonesia Toray Science Foundation menganugerahkan Penghargaan Sains dan Teknologi kepada Tatas Hardo Panintingjati Brotosudarmo, peneliti di Malang, Jawa Timur, atas pencapaiannya dalam riset di bidang biofisika. Dia menemukan struktur baru antena pengumpul cahaya pada bakteri fotosintesis ”Rhodopseudomonas palustris”.
Tatas HP Brotosudarmo (35) mengalahkan 18 calon penerima anugerah bergengsi Penghargaan Sains dan Teknologi(Science and Technology Award) 2015 dari Indonesia Toray Science Foundation. Hasil riset ilmu dasar yang digeluti peneliti itu dinilai memiliki dampak besar dan berpotensi menjadi terobosan baru untuk dikembangkan dalam aplikasi energi masa depan.
Tatas mengungkap sebuah struktur yang memiliki komposisi multipel polipeptida yang mampu bekerja sebagai matriks cerdas. Dengan struktur ini, proses penyerapan energi cahaya dengan fotosintesis tetap optimum meski dalam kondisi cahaya redup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fotosintesis sendiri merupakan aktivitas klorofil atau zat hijau pada daun tanaman saat menangkap cahaya matahari. Cahaya yang ditangkap klorofil ini kemudian diubah menjadi elektron. Lantas elektron itu digunakan untuk mengubah air dan karbon dioksida menjadi oksigen, karbohidrat, dan zat lain.
”Kalau kita lihat secara rinci, produk pertama yang dihasilkan oleh fotosintesis adalah elektron. Prinsip inilah yang dipakai untuk mengembangkan sel surya, yaitu mengubah energi cahaya matahari menjadi listrik,” tutur Tatas, pertengahan Maret lalu.
Tatas dipercaya sebagai direktur sekaligus peneliti utama di Laboratorium Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments (MRCPP) Universitas Ma Chung, Malang, yang diresmikan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada 2014. Dia juga mengajar di Program Studi Kimia Universitas Ma Chung.
Kami berbincang di lantai 3 Gedung R&D Universitas Ma Chung. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak dengan jas lab warna putih. Peneliti ini berperawakan sedang, kalem, dengan gaya bicara yang halus.
Dia memperlihatkan beberapa bagian laboratorium MRCPP yang dipenuhi alat-alat analitika, alat kultur bakteri, serta alat sintesis dan pengembangan produk pangan. Di laboratorium, ada alat yang cukup langka, yaitu HPLC-MS, yang berfungsi untuk mendeteksi struktur senyawa kimia berdasarkan berat jenis. Terlihat beberapa mahasiswa sedang melakukan praktikum.
Dengan laptop, Tatas menjelaskan struktur temuannya yang dinilai lebih cerdas. Bakteri-bakteri itu ternyata mampu beradaptasi dengan perbedaan intensitas cahaya ekstrem. Struktur ini juga dilengkapi dengan kemampuan menyimpan energi sehingga bakteri-bakteri itu tetap mampu beraktivitas fotosintesis dengan baik saat terang atau redup.
Direkrut Amerika
Tatas memulai riset tentang antena penangkap cahaya sejak tahun 2007. Namun, metodenya telah dirancang sejak 2003 saat ia kuliah di Program Studi Kimia Universitas Ludwig Maximilians di Muenchen, Jerman. Doktor muda ini pun telah memublikasikan temuannya itu dalam sejumlah jurnal internasional, seperti Biophysical Journal, Biochemical Journal, dan Proceedings of the National Academy of Science.
Menyusul temuan ini, tahun 2011, Tatas direkrut Photosynthetic Antenna Research Center, sebuah konsorsium internasional di bawah Departemen Energi Amerika Serikat. Ia juga ditunjuk sebagai Marie Curie fellowship representative Uni Eropa untuk Indonesia. Di situ, dia fokus meneliti dan menemukan struktur baru, sementara penerjemahan temuan itu ke bentuk selanjutnya digarap orang lain.
”Orang Amerika melihat ini sebagai penemuan yang bakal bermanfaat untuk solar sel. Jadi, saya kemudian direkrut menjadi peneliti terafiliasi sampai sekarang,” katanya.
Temuan Tatas berdampak bagi pengembangan teknologi sel surya. Sejauh ini, orang masih menggunakan bahan silikon pada lembaran panel sel surya untuk menangkap cahaya matahari untuk diubah jadi energi. Dengan temuan Tatas, ke depan kemungkinan bahan organik bakal lebih tren. Aplikasi dari struktur yang ditemukan olehnya menjadi cetak biru pengembangan teknologi itu.
Keterlibatan Tatas dengan biokimia, khususnya pigmen, telah berlangsung lama. Keahliannya di bidang pigmen fotosintesis dan aplikasinya di bidang energi terbarukan membawa sumbangsih pendidikan dan riset di MRCPP. Lembaga ini menjadi pusat penelitian pigmen material aktif, khususnya klorofil dan karotenoid. Pigmen itu juga dikembangkan menjadi pewarna alami untuk makanan dan minuman.
Alam semesta
Tatas menghabiskan masa kecil di Pati dan remaja di Salatiga, Jawa Tengah. Sejak kecil ia kagum kepada alam semesta. Saat mulai beranjak besar, ia banyak membaca buku-buku koleksi orangtuanya, seperti buku teologi atau buku ilmu pengetahuan alam dan ensiklopedia.
Ayah Tatas seorang pendeta gereja Protestan dan dosen Teologi Sistematika. Ibunya seorang guru Matematika di SMP yang membantu dirinya memahami Ilmu Alam.
Saat remaja, bungsu dari dua bersaudara itu sempat mempelajari Teologi. Namun, ia tidak cocok dengan pemikiran beberapa pengajarnya. Akhirnya ia banting setir mempelajari kimia dan kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. ”Setelah belajar kimia, saya kian tertarik pada dunia molekular. Saya mengenal bagaimana alasan-alasan ilmiah dari fenomena alam dan perubahan materi,” tuturnya.
Jalan hidup membawa Tatas menjadi peneliti. Dia mendapatkan beasiswa dari persekutuan gereja Protestan di Jerman melalui program Evangelischer Entwicklungsdienst untuk studi S-2 di negeri itu. Dia lantas melanjutkan studi S-3 melalui program Marie Curie Research Training Network di Universitas Glasgow.
”Saya percaya dunia yang dititipkan kepada kita umat manusia untuk kita kelola. Jika kita benar-benar pelajari dan kelola dengan baik serta bertanggung jawab dengan rasa takut dan hormat kepada Tuhan Sang Pencipta, maka isu-isu nasional dapat kita atasi,” paparnya.
Bagi Tatas, dunia penelitian di Tanah Air sudah berkembang baik meski ada beberapa hambatan. Salah satunya, penghargaan terhadap peneliti berprestasi masih kurang. Akibatnya, banyak peneliti andal Indonesia yang memilih berkiprah di luar negeri dan enggan pulang ke Tanah Air. Masalah lain, peneliti masih kekurangan skema hibah untuk mengembangkan fasilitas riset, seperti peralatan laboratorium, serta kerja sama antara industri dan peneliti.
Tren penelitian di Indonesia saat ini mengarah pada riset-riset aplikatif untuk kebutuhan pragmatis. Riset-riset dasar masih kurang mendapat dukungan. Padahal, lanjut Tatas, riset dasar sangat penting untuk meletakkan fondasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
TATAS HP BROTOSUDARMO
LAHIR:
Pati, Jawa Tengah, 23 April 1981
ISTRI:
Leenawaty Limantara
ANAK:
SMA Kristen 1 Salatiga
Jurusan Kimia Murni Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (1998-2001)
S-2 di Universitas Ludwig Maximilians, Muenchen, Jerman (2003-2006)
S-3 Universitas Glasgow, Inggris (2007-2010)
KEGIATAN (ANTARA LAIN):
Dosen dan Direktur Ma Chung Research Center for Photosynthetic Pigments Universitas Ma Chung, Malang
Anggota Indonesia Chemical Society
Anggota International Society of Photosynthesis Research
Anggota The American Association for the Advancement of Science
”Add hoc reviewer” Photosynthesis Research Springer Verlag
DEFRI WERDIONO
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 April 2016, di halaman 16 dengan judul “Menemukan Antena Pengumpul Cahaya”.