Rapat pleno Badan Legislasi DPR dalam rangka penetapan draf final Rancangan Undang-Undang Penyiaran, Selasa (3/10) malam, urung menghasilkan keputusan karena belum memenuhi kuorum. Satu pasal yang masih belum disepakati terkait pengelolaan frekuensi apakah akan single mux atau multimux.
Dalam draf RUU Penyiaran yang diajukan Komisi I DPR diusulkan bahwa frekuensi dikuasai negara dan pengelolaannya dilakukan pemerintah dengan lembaga penyiaran publik (LPP) sebagai penyelenggara multiplekser tunggal (single mux). Namun, Baleg dalam drafnya mengusulkan agar penyelenggara multiplekser bisa dilakukan oleh beberapa pihak (multimux).
Dalam rapat pleno, Selasa (3/10), digelar pengambilan keputusan melalui voting dengan hasil lima fraksi sepakat terhadap sistem single mux (PDI-P, Gerindra, PAN, Hanura, dan Nasdem) dan empat fraksi sepakat multimux (Golkar, PKS, Partai Demokrat, dan PPP). Sementara itu, wakil dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa tidak hadir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Semalam sebenarnya akan diambil keputusan. Namun, karena rapat tidak memenuhi kuorum, sebagian fraksi minta pengambilan keputusan diundur. Dari total 74 anggota Baleg, yang hadir semalam hanya 16 anggota,” ujar Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, Rabu (4/10), di Jakarta.
Pembahasan RUU Penyiaran di Baleg sejauh ini telah memakan waktu lebih dari delapan bulan. Menurut rencana, pengambilan keputusan penetapan draf final yang akan diajukan ke paripurna sebagai draf inisiatif DPR akan digelar pada hari Senin (16/10).
Perubahan pasal
Dalam draf RUU Penyiaran terbaru hasil rapat pleno Baleg 3 Oktober 2017 terdapat beberapa perubahan pasal, antara lain Pasal 20 Ayat (3) tentang Model dan Tata Cara Migrasi Teknologi Analog ke Digital dan Pasal 144 tentang Iklan Rokok. Dalam Pasal 20 Ayat (3) draf RUU Penyiaran usulan Komisi I DPR disebutkan, LPP bertindak sebagai penyelenggara multiplekser, sementara dalam draf RUU Penyiaran hasil rapat pleno Baleg 3 Oktober 2017 terdapat perubahan, yaitu LPP bertindak sebagai penyelenggara multiplekser dan wajib menjamin ketersediaan satu kanal frekuensi bagi satu LPS yang telah memiliki IPP.
“Kalaupun nanti diputuskan sistem single mux, mereka (LPS) ada jaminan tetap mendapatkan frekuensi masing-masing satu kanal. Kalau ada sisa, maka yang lebih harus dikembalikan ke negara. Tapi, (pasal) ini belum disetujui di tingkat rapat pleno,” kata Supratman.
Kemudian, iklan rokok yang awalnya diusulkan dilarang di media penyiaran oleh Komisi I DPR akhirnya tidak dilarang sepenuhnya. Pasal 144 Ayat (1) dan (2) draf 3 Oktober 2017 menyebutkan, materi siaran iklan dibatasi untuk promosi iklan rokok dan ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan promosi diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Rasa keadilan
Pengurus Bidang Penyiaran Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Bayu Wardhana, mengatakan, DPR semestinya memilih dan bisa memutuskan penerapan sistem single mux karena sistem ini memberikan rasa keadilan bagi semua pelaku industri penyiaran, juga masyarakat.
“Dengan single mux, pemain industri penyiaran akan lebih banyak karena yang membagi hanya satu pihak, yaitu negara. Selain lebih fair, masyarakat juga akan mendapatkan tontonan yang lebih beragam. Jika langkah ini tidak diambil, industri penyiaran hanya akan dikuasai segelintir pemodal,” katanya. (ABK)
Sumber: Kompas, 5 Oktober 2017