Tampaksiring dan Orientasi Ekonomi Kita

- Editor

Rabu, 21 April 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Itulah direktif ke-9 dari 10 direktif (atau arahan) Presiden yang disampaikan di depan anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, para gubernur, dan sejumlah kalangan dalam rapat kerja (yang juga disebut retreat) di Istana Tampaksiring yang asri.

Di Istana yang dibangun Bung Karno tahun 1957 (selesai tiga tahun kemudian), para peserta rapat dapat mendengar uraian tentang kemajuan perekonomian negara, khususnya selama lima setengah tahun terakhir di bawah kepemimpinan Presiden SBY.

Uraian lebih rinci disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Dari berbagai indikator yang membesarkan hati, disinggung pula bahwa keberhasilan ekonomi antara lain sudah ditopang inovasi teknologi. Kinerja ekspor yang meningkat juga mencakup kontribusi produk manufaktur.

Boleh jadi di butir ini perlu disertakan lampiran karena belum lama ini justru muncul berita yang mengabarkan bahwa sektor manufaktur terakhir ini terpuruk.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, yang lebih menggelitik lagi adalah tentang tekad untuk memberi tidak saja warna, tetapi kontribusi konkret dari iptek terhadap perekonomian nasional. Bila Komite Inovasi Nasional jadi terbentuk, kemudian juga ada Komite Ekonomi Nasional, bisa diperkiraan akan ada versi baru dari Habibienomics dan Widjojonomics.

Sementara masih ada skeptisisme terhadap ide pembentukan komite, ada elemen lain yang dapat dikemukakan di sini.

Proses nilai tambah

Dari pembicaraan panjang hari pertama, selain tekad Presiden dan uraian Menko Perekonomian, hanya ada satu ungkapan yang menyiratkan ”upaya penguasaan kemampuan”, yakni ”nilai tambah” yang dikemukakan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Ini ungkapan sederhana, tetapi mengandung pesan yang amat mendalam.

Pada Era Orde Baru, industri strategis mencoba menerapkan falsafah ini. Hasilnya, secara teknologi upaya itu bisa dikatakan berhasil, tetapi pesawat, kapal, atau industri yang dimaksudkan menerapkan proses nilai tambah lainnya tidak tumbuh menjadi penggerak perekonomian.

Meski upaya tiga dekade silam itu gagal, kita harus mengakui kebenaran konsepnya. Mencoba menemukan sebab kegagalan tersebut ketika bertemu dengan Tim Inovasi Nasional, September silam, Presiden SBY mengutip uraian Michael Schuman dalam bukunya The Miracle (2009) bahwa ada permainan kroni yang merugikan dalam proses Indonesia mencapai keberhasilan ekonomi.

Kini, dalam upaya baru mendinamisasi perekonomian, kegiatan proses nilai tambah—yang ditandai dengan kemampuan mengolah bahan baku menjadi produk teknologi bernilai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakunya—mestinya jadi bagian integral perekonomian.

Semakin urgen

Satu pertanyaan lain, ”Mengapa tidak ada penyebutan program atau prakarsa mencari ceruk dari pasar otomotif yang gemuk?” Banyak sebetulnya yang dapat disuarakan senada. Misalnya, mengapa kontribusi kita nol dalam gegap gempita industri seluler? Mengapa ketika industri penerbangan nasional berbondong membeli jet dari Boeing dan Airbus kita tidak menyertakan permintaan agar mereka memberi bantuan untuk menghidupkan industri kedirgantaraan nasional dalam membuat pesawat perintis?

Mengapa tidak ada program pembuatan 200 kapal patroli ketika kita banyak mengeluh bahwa penangkapan ikan ilegal merugikan kita 5 miliar dollar AS per tahunnya? Mengapa ketika jalanan kita di berbagai kota disesaki sepeda motor tidak ada merek nasional satu pun yang muncul?

Dulu Korea (Selatan) menjawab tantangan inovasi itu ketika Jepang mendominasi. Lalu Taiwan, lalu China. Mereka punya tekad dan kepercayaan diri meski diawali dengan produk yang jauh dari standar.

Kini, ketika perekonomian juga semakin ditandai bisnis dan inovasi TIK (Teknologi Informasi Komunikasi), mengapa tidak ada lagi gaung untuk mengembangkan Lembah Silikon di Bandung? Apa kelanjutan kunjungan Bill Gates ke Indonesia?

Mengapa General Electric mau menanamkan 80 juta dollar AS untuk membangun pusat litbang di Bangalore dan mempekerjakan 1.600 tenaga kerja yang sebagian besar warga India?

Sebagaimana disinggung Prof Zuhal dalam buku terbarunya Knowledge & Innovation – Platform Kekuatan Daya Saing (2010), India telah mendapat kearifan bahwa pada TIK ada masa depan dan karena itu negara ini ibaratnya membuka kesempatan luas bagi warganya untuk menguasai TIK. Hasilnya, muncul SDM TIK paling banyak di dunia, 150.000 di antaranya ada di Bangalore. Ini melebihi jumlah di Lembah Silikon asli di California yang hanya diperkuat 120.000 profesional TIK. Kota ini pun menjadi lokasi favorit bagi perusahaan multinasional yang mensubkontrakkan pekerjaan.

Indonesia yang di Tampaksiring masih mendambakan konektivitas (fisik ataupun TIK) jelas membutuhkan massa kritis untuk lepas landas di perekonomian modern. Dengan penetrasi internet baru sekitar 15 persen (35 juta dari 240 juta penduduk), Indonesia masih dilanda kesenjangan digital yang termasuk akut dibandingkan negara maju.

Pesannya yang ada adalah daripada mengumumkan kebijakan bernada melarang-larang, lebih baik fokus merancang kebijakan yang bisa meliberalisasikan tarif bandwidth internet yang dirasa masih mahal. Dengan itu, peran G (government) dalam skema Triple Helix (dua lainnya akademisi dan bisnis), lebih banyak manfaat daripada mudarat.

Kita berkeyakinan, industri kreatif yang kini sedang dipromosikan pemerintah, dan memang berpotensi besar, hanya akan berkembang sepenuhnya jika didukung konektivitas yang andal dan terjangkau.

Kita tak mengecilkan kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Kolom ini hanya untuk memberi warna kemandirian dan nasionalis dalam program ke depan. Relakah seumur-umur jalanan kita didominasi merek asing tanpa kita merespons sedikitpun? Relakah kekayaan laut dijarah pukat asing tanpa kita mampu mengeremnya sedikitpun?

Padahal, seiring upaya mengerem illegal fishing melalui penggalakan patroli dengan kapal buatan sendiri, ada manfaat ganda yang kita peroleh, yakni menggentarkan pencuri ikan dan meningkatkan kepintaran membuat kapal melalui proses nilai tambah. [Oleh NINOK LEKSONO]

Sumber: Kompas, Rabu, 21 April 2010 | 04:27 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB