Indah Widyaningsih (10) dijuluki ”penghuni tetap” Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hampir setiap hari sejak tahun 2007, bocah itu rutin berkunjung ke sana.
Siang itu, Senin (21/3), Indah asyik berselancar di internet di Ruang Baca Anak-anak di perpustakaan milik Pemprov DKI. Dia memelototi gambar seekor kadal dan menyimak keterangannya. ”Saya lagi mencari jawaban untuk tugas mata pelajaran IPA,” ujar bocah Kelas V SDN Menteng Dalam 01 Pagi, Jakarta Selatan, itu.
Indah biasanya datang pukul 14.00-an dan pulang pukul 17.00. Dia langsung menuju ke ruang baca khusus anak-anak untuk berselancar di dunia maya. Setelah itu, dia biasanya mengerjakan tugas atau membaca buku. ”Saya paling senang membaca kamus Bahasa Indonesia. Saya jadi tahu arti setiap kata,” ujar Indah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indah mengenal perpustakaan itu tahun 2007 setelah bapaknya berjualan makanan di Gedung Olah Raga Soemantri Brojonegoro yang berada tepat di sebelah perpustakaan. ”Saya menemani bapak jualan. Suatu hari saya bosan dan coba-coba masuk ke perpustakaan. Ternyata tempatnya enak,” tuturnya.
Indah pun keranjingan datang ke perpustakaan tersebut. Dia menemukan sesuatu yang orangtuanya belum bisa sediakan, yakni seabrek buku pelajaran, buku cerita, kamus, fasilitas internet gratis, serta ruang belajar ber-AC. Sejak itu, dia tenggelam di perpustakaan itu.
Selain Indah, ada belasan bocah yang larut di taman ilmu pengetahuan itu. Sebagian membaca buku dengan posisi duduk di kursi-kursi mungil, sebagian sambil tiduran di lantai berlapis karpet. Jika bosan dengan satu buku, mereka mengambil buku lain yang ditempatkan rapi di beberapa rak.
Di antara mereka ada Abdul Aziz (12), siswa Kelas VI SDN Menteng Atas 06 Pagi, Setia Budi, Jakarta Selatan, dan tujuh temannya. Mereka belajar bersama untuk persiapan ujian tengah semester yang sebentar lagi tiba. ”Belajar di sini enak, tempatnya adem, bukunya banyak. Kalau di rumah panas, enggak pakai AC,” ujar Abdul.
Suasana serupa terlihat di Rumah Baca Manca milik keluarga Rhenald Kasali dan istrinya, Elisa Kasali, di Pondok Jatimurni, Bekasi. Selasa siang, belasan anak usia TK hingga SD asyik membaca beragam buku cerita sambil lesehan. Jika sudah bosan, mereka bermain di halaman berumput hijau yang dilengkapi aneka mainan.
Tiara (10) sangat senang berada di sana. Dia tidak kelimpungan saat mengikuti pelajaran membaca puisi dan bercerita. ”Bahan cerita tinggal saya ambil dari buku cerita di tempat ini.”
Minat baca
Melihat anak-anak datang rutin ke Rumah Baca Manca, hati Elisa Kasali pun senang. Setidaknya, misinya untuk memfasilitasi kegemaran membaca di kalangan anak-anak menuai hasil. ”Saya tahu anak-anak punya minat baca, tetapi fasilitasnya masih minim.”
Elisa ingat, ketika anak-anak sekitar rumahnya bermain dengan anak keduanya, Adam, mereka betah berjam-jam membolak-balik buku milik Adam. Dari situ, Elisa dan suami membuka rumah baca di rumahnya tahun 1998 untuk anak-anak sekitar.
Dia mengundang murid-murid SD di sekitarnya untuk datang. Awalnya, pihak sekolah menolak ”undangan” itu karena mereka mengira anak-anak akan dikenai iuran. Setelah tahu gratis, mereka berminat, bahkan mendorong murid-muridnya untuk datang ke Manca. Kini, Manca tidak pernah sepi dari pengunjung. Di hari libur sekolah, anak-anak yang datang bisa 150 orang.
Siti Sarah, Kepala Bidang Layanan dan Pelestarian Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemprov DKI juga senang dengan kunjungan bocah-bocah SD. ”Kalau dari kecil sudah sering ke perpustakaan, selanjutnya mereka akan senang membaca.”
Dia tambah gembira karena tren kunjungan para bocah ke perpustakaan itu setahun terakhir mengalami kenaikan. Sekadar contoh, Januari 2011, bocah SD yang datang berjumlah 1.194 orang. Februari, jumlahnya naik menjadi 1.314 orang. Jumlah itu sekitar seperempat jumlah pengunjung kategori remaja dan dewasa.
”Kami berusaha terus mendekatkan perpustakaan kepada anak-anak SD. Kami, misalnya, mengadakan kegiatan dongeng setiap Jumat dan setiap hari-hari penting,” ujar Siti.
Perpustakaan juga berusaha merangkul sebanyak mungkin anggota baru. ”Kami bahkan sudah sampai jemput bola. Kalau ada siswa yang ingin daftar menjadi anggota perpustakaan secara kolektif, kami datangi sekolahnya,” kata Siti.
Siti sebenarnya tidak terlalu khawatir dengan minat baca anak-anak SD. ”Minat baca itu bisa dibangkitkan asal pemerintah serius menyediakan perpustakaan hingga tingkat desa seperti diamanatkan UU Nomor 43 Tahun 2007.”
Selain menumbuhkan minat baca, orang Indonesia juga mesti diajarkan etika di perpustakaan. ”Banyak orang mengambil buku, melihat-lihat, lantas menaruh kembali ke rak tanpa memerhatikan nomor katalognya. Itu bikin kacau,” ujar Anton Holtzapffel, pustawakan Perpustakaan Erasmus Huis di Kedutaan Besar Belanda, Jakarta.
Itu belum seberapa. Siti sering mendapati koleksi buku di perpustakaan yang dikelolanya dirobek atau ditulisi kalimat tidak senonoh. ”Itu justru dilakukan pengunjung dewasa. Kalau anak-anak tertib. Memulangkan buku pun tepat waktu.” (ROW-Budi Suwarna dan Yulia Sapthiani)
Sumber: Kompas, 28Maret 2011