Terkendala Dana dan Perantara
Sejumlah perguruan tinggi produktif melaksanakan riset, baik untuk dipublikasikan maupun diterapkan. Namun, riset belum sepenuhnya disalurkan dan dimanfaatkan oleh industri serta pembangunan. Masih ada kendala dana dan hubungan dengan industri.
Riset Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, yang dipublikasikan dalam pangkalan data Scopus, rata-rata 130 per tahun. Bahkan, pada 2013, mencapai 213 publikasi. Sementara inovasi atau riset terapan yang didaftarkan hak paten sebanyak 25-30 per tahun. ”63,4 persen penelitian IPB ialah terapan. Sisanya, riset dasar, peningkatan kapasitas, pemanfaatan iptek, serta diseminasi,” kata Anas M Fauzi, Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerja Sama IPB, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/6).
Ada lima agenda riset yang dikembangkan IPB pada 2008- 2013, yakni pangan, energi, biomedis, dan penanggulangan kemiskinan. Hasil riset paling banyak dihasilkan di bidang pangan, teknologi dan rekayasa, serta kesehatan. Sebagai contoh, IPB meneliti peningkatan produktivitas kedelai di lahan pasang surut tepi pantai. Kedelai ditanam di Sumatera Selatan dan Lampung. Produktivitas tanaman di lahan itu meningkat 10 persen dibanding di lahan biasa. Segelintir riset terapan berhasil dikomersialisasikan lewat kerja sama dengan industri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Universitas Indonesia pada 2004-2013 memublikasikan 2.456 hasil riset dalam pangkalan data Scopus. Dari jumlah itu, 187 hasil riset diurus hak ciptanya dan 81 dimohonkan hak patennya.
Hasil riset terbanyak di bidang pemerintahan, demokratisasi, dan kebijakan publik (34 persen). Riset lainnya di bidang genom, studi adat, budaya, dan teknologi informasi.
Butuh konsorsium
Kendala utama komersialiasi riset terapan ialah dana dan perantara. Menurut Anas, dana riset dianggarkan per tahun anggaran. Padahal, riset tidak selalu selesai satu tahun anggaran. Hal itu menghambat pembiayaan riset dasar maupun aplikatif.
Persoalan dana dialami juga oleh Universitas Indonesia. Budiarso mengungkapkan, biaya riset sangat mahal. Sementara itu, industri, apalagi investor dari luar, biasanya sudah memiliki bagian penelitian dan pengembangan sendiri.
Kendala lainnya ialah relasi antara perguruan tinggi dan industri untuk mengembangkan riset, terutama riset terapan. UI masih mengandalkan inisiatif dari perusahaan. Budiarso mencontohkan, Fakultas Teknik Kimia bekerja sama dengan perusahaan untuk membuat varian pasta gigi dari bahan tertentu. Sementara riset tentang pemerintahan dan demokratisasi, fakultas bekerja sama langsung dengan pemerintah daerah.
”Hasil riset dan kebutuhan industri belum klop. Masalahnya, sering kali dinilai ekonomis itu barang yang akan diproduksi,” ujar Budiarso.
Menurut Anas, untuk mengatasi kesenjangan antara riset perguruan tinggi dan kebutuhan industri, pemerintah dapat membentuk konsorsium yang terdiri atas unsur pemerintah, industri, dan perguruan tinggi. Konsorsium itu dapat menyepakati platform bersama rencana kerja yang akan dikembangkan. ”Jangan sampai inovasi yang menurut kami hebat, ternyata buat industri sudah basi,” Anas. (A13)
Sumber: Kompas, 19 Juni 2014