Perkembangan teknologi pada tahun 2030 akan memiliki dampak yang signifikan terhadap sumber daya manusia berupa tergusurnya pekerjaan karena kehadiran teknologi baru seperti robot atau kecerdasan buatan. Untuk tetap relevan, manusia memiliki keunggulan genetik yang hingga kini belum bisa dilakukan oleh robot.
Itulah intisari dari sesi bertajuk ”Majority Report: Masa Depan Media 2030” yang dibawakan oleh Dean Donaldson, ”Transformation Strategist and Digital Futurologist” dari Kaleidoko dan Jonathan Tavss, content creator pada hari kedua perhelatan AdAsia 2017 di Nusa Dua, Bali, Kamis (9/11). Keduanya menyajikan masa depan media akan bergantung pada tiga hal, yakni teknologi blockchain, genetik, dan kecerdasan buatan.
Dalam sesi tersebut, keduanya secara bergantian mengungkap beberapa fenomena masa kini yang akan berdampak di masa mendatang, seperti tumbuhnya perangkat-perangkat yang terhubung dengan kehidupan sehari-hari manusia. Tahun ini terdapat 8,3 miliar perangkat yang tersambung dengan manusia, tumbuh menjadi 25 miliar pada tahun 2020 dan melejit jadi 500 miliar pada 2030.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Terjadi hiperkonektivitas, muncul saturasi berupa pilihan yang membeludak bagi manusia,” kata Donaldson.
Sejumlah Profesi Terancam Hilang
Tren selanjutnya adalah fenomena blockchain atau algoritma dan struktur distribusi data yang berlangsung secara desentralisasi dan anonim. Teknologi ini awalnya digunakan untuk mengelola mata uang terenkripsi (cryptocurrency) seperti bitcoin. Saat ini sudah ada 700 lebih jenis mata uang yang tidak dikelola oleh bank sentral.
Tren selanjutnya adalah fenomena blockchain atau algoritma dan struktur distribusi data yang berlangsung secara desentralisasi dan anonim.
Adaptasi dan Strategi
”Fenomena ini akan menyambung dengan generasi alfa yang sudah berkenalan dengan layar sentuh di usia dua tahun. Mereka tidak akan menggunakan uang kertas untuk bertransaksi,” ujar Tavss.
Implementasi teknologi blockchain sendiri sudah mulai dikembangkan di luar peruntukan awal, yakni alat tukar. Beberapa contoh seperti pengumpulan pajak atau audit keuangan.
Fenomena selanjutnya yang dibahas adalah tumbuhnya robot yang makin banyak ditemui di industri manufaktur. Setiap unit robot yang dioperasikan akan membuat 10 pekerjaan menghilang. Pada tahun 2030 diperkirakan bakal ada 33 persen robot yang ada di rumah, seperti terlihat saat ini dengan kehadiran asisten pribadi Alexa di rumah-rumah keluarga di Amerika Serikat.
Fenomena ini akan menyambung dengan generasi alpha yang sudah berkenalan dengan layar sentuh di usia dua tahun. Mereka tidak akan menggunakan uang kertas untuk bertransaksi.
Kehadiran kecerdasan buatan adalah tren yang tidak kalah pelik bagi industri media. Ramalan yang mereka tampilkan, 50 persen dari pekerjaan di media akan hilang oleh kecerdasan buatan.
Donaldson mencontohkan praktik yang kini dilakukan oleh beberapa agensi media yang mengerahkan kecerdasan buatan untuk membuat artikel sehingga pembaca sulit membedakan dengan karya manusia. Biayanya pun hanya mencapai 1 dollar AS untuk setiap artikel.
Relevan
Dalam sesi jumpa pers usai memberikan pemaparan, Tavss mengungkapkan bahwa industri terus berubah karena digerakkan oleh teknologi. Apabila ada pekerjaan yang hilang karena teknologi, hal yang sama juga memunculkan peluang yang baru. Pekerjaan yang baru.
Inovasi Disruptif dan Disparitas
Munculnya pasar aplikasi App Store di sistem operasi iOS, misalnya, kini menjadi industri baru yang merekrut tenaga kerja muda dengan perputaran uang investor untuk menghasilkan layanan-layanan baru. Di dunia balap mobil, misalnya, posisi mekanik terus berkurang dan digantikan oleh analis data untuk memeriksa sensor atau perangkat elektronik di dalam mesin.
Dengan transisi teknologi yang serba cepat itu berikut konsekuensi pada hilang dan munculnya pekerjaan, apa yang bisa dilakukan oleh manusia agar tetap relevan.
Dengan transisi teknologi yang serba cepat itu berikut konsekuensi pada hilang dan munculnya pekerjaan, apa yang bisa dilakukan oleh manusia agar tetap relevan. Donaldson mengatakan, kuncinya ada pada kemampuan otak manusia untuk belajar kembali (relearn), hal itu belum bisa ditiru oleh mesin ataupun kecerdasan buatan.
”Hal ini seharusnya tidak dilihat sebagai hal yang menakutkan, tetapi hal yang indah bagi manusia untuk terus berubah,” ujar Donaldson.–DIDIT PUTRA ERLANGGA
Sumber: Kompas, 9 November 2017