Pemberlakuan kewajiban tes Covid-19 berbasis molekuler maupun antibodi bagi calon penumpang pesawat dinilai tidak efektif menekan penularan penyaki itu. Hal ini disebabkan masa berlakunya terlalu panjang.
Kewajiban bagi pelaku perjalanan menyertakan surat bebas Covid-19 melalui tes usap dengan polymerase chain reaction atau boleh juga dengan tes cepat dengan masa berlaku 14 hari dipertanyakan. Selain membebani penumpang, penggunaan tes cepat atau tes usap dengan masa berlaku terlalu panjang tidak menjamin bahwa tidak ada penularan di pesawat maupun di tempat tujuan.
“Kami telah mengirim surat ke Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 terkait syarat penerbangan ini. Intinya kami menilai syarat tes PCR negatif atau (boleh) rapid test nonreakif dengan masa berlaku 14 hari sebelum terbang tidak menjamin seseorang bebas dari Covid-19,” kata Tonang Dwi Ardyanto, Pengurus Bidang Organisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn), Minggu (12/7/2020), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam surat kepada Gugus Tugas yang ditandatangani Ketua Umum PP PDS PatKLIn, Prof Aryati, pada 6 Juli 2020 itu disebutkan dua alasan kenapa hasil tes tersebut tidak menjamin seseorang bebas dari virus SARS-CoV-2 yang memicu Covid-19.
Pemeriksaan dengan metode PCR (reaksi rantai polimerase) virus SARS-CoV-2 memiliki senitivitas 60-80 persen sehingga masih dapat terjadi hasil negatif palsu. Selain itu, waktu yang dibutuhkan sejak pengambilan tes usap hingga hasil tes PCR masih bervariasi antara 2 hari hingga 3 minggu sehingga dapat menyulitkan calon penumpang.
Sementara itu, pemeriksaan dengan tes cepat antibodi memiliki sensitivitas rendah sehingga banyak kemungkinan terjadi hasil negatif palsu maupun positif palsu yang dampaknya bisa berbhaya dan merugikan.
Dengan alasan ini, PDS PatKLIn mengusulkan, tak lagi memberlakukan pemeriksaan berbasis PCR maupun tes cepat sebagai persyaratan perjalanan orang. Namun, diusulkan adanya penjajakan pemeriksaan tes cepat molekuler PCR atau pemeriksaan antigen virus SARS-CoV-2 dengan teknik usap atau saliva di stasiun atau bandar udara sesaat sebelum seseorang melakukan perjalanan.
Calon penumpang juga wajib diukur suhu tubuh dan saturasi oksien menggunakan fingertip pulse oximeter. Penerapan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan pelindung muka, jaga jarak dan cuci tangan, selama perjalan wajib diberlakukan secara ketat dan benar. Selain itu, harus dipastikan sirkulasi udara yang bersih dalam moda transportasi seperti kereta api dan pesawat udara.
Sebagaimana diketahui, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2020, yang di antaranya menyebutkan setiap orang yang menempuh perjalanan dengan transportasi umum darat, perkeretaapian, laut dan udara harus menunjukkan surat keterangan uji tes PCR dengan hasil negatif atau surat tes cepat dengan hasil nonreaktif.
Terlalu panjang
Epidemiolog yang juga peneliti serologi dari Laporcovid-19.org, Henry Surendra mengatakan, tes PCR sebenarnya bisa dipakai sebagai syarat untuk penerbangan, asalkan masa berlakunya tak terlalu lama. Sementara tes cepat antibodi, sebaiknya tidak dipakai lagi untuk diagnosis, termasuk syarat perjalanan.
“Jika masa berlakunya 14 hari, untuk tes PCR juga sulit untuk menjamin calon penumpang tidak tertular setelah dites. Kalau tetap mau pakai tes PCR atau antigen masa berlakunya 1 – 3 hari sebelum keberangkatan, kemudian diperkuat dengan karantina mandiri setibanya di tujuan,” tuturnya.
Adapun untuk mencegah penularan di tempat tujuan, lebih efektif jika diberlakukan tes usap dengan PCR di tempat kedatangan. Ini misalnya telah dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang memberlakukan kebijakan bagi setiap penumpang yang baru mendarat di wilayah mereka untuk menjalani tes usap secara gratis. Namun, untuk bisa melakukan hal ini, perlu kemampuan tes PCR yang baik dan hasil yang cepat.
Sejumlah negara, seperti Taiwan, memberlakukan syarat tes PCR, dan tidak menggunakan tes cepat antibodi, dengan masa berlaku maksimal tiga hari sebelum terbang. Setelahnya, pelaku perjalanan, khususnya dari negara asing, akan dikarantina, kecuali yang bersangkutan mau dites lagi dengan PCR setiba di tempat tujuan.
“Penggunaan tes PCR tiga hari sebelum perjalanan ini masih masuk akal. Kalaupun dia terinfeksi di masa tiga hari, minimal dia masih dalam fase pre-simptomatik yang risiko penularannya dianggap sangat kecil,” tuturnya.
Namun demikian, syarat tes dengan masa tiga hari sebelum berangkat ini, menurut Henry, akan sulit dilakukan karena lamanya proses tes. “Jadi, saya menyarankan perjalanan harus dibatasi dulu, kecuali sifatnya esensial. Lengkapi dengan pemeriksaan gejala klinis dan faktor risiko, serta karantina mandiri 14 hari setiba di tujuan,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: kompas, 13 Juli 2020