Menjadi guru sebetulnya tidak menjadi obsesi Syaiful Bakhri (53) sejak kecil. Namun, karena kehidupan mahasiswa dan dunia aktivis semasa kuliah, ketika mulai banyak bersentuhan dengan organisasi dan masyarakat, ia pun terpikat untuk menjadi pendidik agar bisa terus berbagi ilmu.
”Terus terang saya waktu SD itu tertarik untuk masuk Akabri, inginnya menjadi seorang tentara yang berseragam dan terlihat gagah. Apalagi di kampung dulu banyak yang juga masuk tentara,” ujar Syaiful, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), pekan lalu, di Jakarta.
Pencinta makanan berserat ini saat mahasiswa mengaku senang berorasi dan berbicara di depan publik. Itu pula yang menyebabkan dia banyak dikenal teman dan mempunyai jaringan yang luas, terutama di kalangan Persyarikatan Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Syaiful, yang kini dipercaya sebagai Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa peradaban itu berada di tangan guru. Ia pun segera memilih sebagai pengajar saat lulus kuliah.
Ketika memberikan sambutan pada seminar nasional tentang Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tentang Pengembangan Keprofesian Keberlanjutan dan Uji Kompetensi Guru di Kampus UMJ, Oktober lalu, ia pun mengingatkan betapa pentingnya profesi guru.
”Awal pembangunan di beberapa negara maju adalah melalui peningkatan kualitas SDM. Karena itu, prioritas di negara-negara maju itu adalah peningkatan kualitas guru. Negara maju menerapkan standar bagi guru di negaranya. Di Indonesia, hal ini terus diupayakan. Salah satunya dengan menjadikan profesi guru sebagai jabatan profesional, sebagaimana juga profesi dokter, bidan, dan sebagainya,” ujar Syaiful yang menjaga kesehatan dengan joging.
Di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, ia dikenal sebagai orang yang mau bekerja keras, berbicara lepas, serta tak ragu untuk bermimpi dan berupaya mewujudkan mimpi itu. Salah satu keinginannya adalah menjadikan UMJ sebagai kampus berkelas dunia.
”UMJ harus lebih maju lagi dan berkembang serta menjadi kampus standar riset dan world class university,” ujar Syaiful.
Syaiful, dalam banyak kesempatan, mengungkapkan, salah satu tantangan global perguruan tinggi adalah tingginya tingkat persaingan di semua lini kehidupan. Untuk itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah perlu memperkokoh basis ilmu pengetahuan dan teknologi serta iman dan takwanya. Seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah sejak pendiriannya, yang sangat getol dengan dunia pendidikan. Letak semangat purifikasi yang dilakukan adalah meluruskan iptek yang sesuai dengan cita-cita dan misi Muhammadiyah khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Jihad konstitusi
Ketika PP Muhammadiyah menggelorakan tentang jihad konstitusi sejak 2011, ia menjadi salah satu sosok yang ada di belakangnya, di samping peran utama Prof Din Syamsuddin yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Muhammadiyah menilai, banyak problem kebangsaan yang muncul karena konstitusi dikhianati.
Pada awal gerakan jihad konstitusi dilakukan, belum banyak pihak yang tertarik dan memberikan perhatian pada gerakan ini. Bahkan, terkesan takut dan ragu untuk bergabung.Gerakan jihad konstitusi barumenarik perhatian publik ketika gugatan Muhammadiyah dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan pembatalan sejumlah undang-undang yang dinilai krusial dalam sektor ekonomi, seperti pembatalan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Selain dua UU tersebut, Muhammadiyah juga menggugat UU tentang Ormas dan UU tentang Rumah Sakit.
Menurut Syaiful, paling tidak ada 115 UU yang mungkin bertentangan dengan konstitusi. Namun, untuk pengajuan ke MK memang dipilah-pilah dulu agar tidak terlalu membebani MK. Kalau semua diajukan bersamaan, bisa berpuluh-puluh, bahkan mungkin memakan waktu hingga ratusan tahun kerja.
”Karena itu, yang dipilih adalah yang langsung berkaitan dengan Pasal 33 UUD 1945, yang secara nyata merugikan rakyat,” ujarnya.
Setelah pembatalan UU SDA, gerakan jihad konstitusi Muhammadiyah juga mendaftarkan gugatan tiga UU lain di sektor ekonomi. Ketiga UU tersebut adalah UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, serta UU Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
”Ketiganya sangat berhubungan dengan pemberdayaan ekonomi nasional, keuangan negara, dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Uji materi dilakukan semata-mata untuk meluruskan niat UU tersebut agar sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945,” ujar Syaiful yang penampilannya tampak seperti orang kebanyakan.
Syaiful prihatin dengan para pembuat UU yang sejak awalnya tidak memberikan keberpihakan yang nyata pada amanat konstitusi. Sebut saja UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU itu sebetulnya pernah dibatalkan. Namun, kemudian dihidupkan lagi dengan aturan yang tidak jauh berbeda. Itulah yang menjadi alasan Muhammadiyah untuk mengajukan pembatalan lagi ke MK agar putusan MK terdahulu tersebut bisa dijaga dan dihormati oleh para legislator yang terhormat.
Gaya Syaiful berbicara tampak apa adanya. Begitu juga cara bicara dan pembawaannya, ketika berbicara di forum pun, dilakukan dengan lugas tanpa tedeng aling-aling. Namun, soal hukum dan konstitusi, ia bisa menjadi amat garang.
SYAIFUL BAKHRI
LAHIR:
Kotabaru, Kalimantan Selatan, 20 Juli 1962
ISTRI:
Nasichatun Aska (45)
ANAK:
Putri Adlina Amalia (21)
Aldi Darmawan (19)
Nada Najiha (17)
Nirwan Nadli (15)
Aulia Rachman (10)
PENDIDIKAN:
Doktor (S-3) pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2009)
Magister Hukum (S-2) Universitas Indonesia Jurusan Kekhususan Sistem Peradilan Pidana (1998)
Sarjana Hukum (S-1) Universitas Muhammadiyah Jakarta Jurusan Hukum Tata Negara (1987)
BUKU, ANTARA LAIN:
Kebijakan Kriminal: Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia (2010)
Hukum Migas: Telaah Penggunaan Hukum Pidana Dalam Perundang-undangan (2012)
Beban Pembuktian Dalam Penerapan Beberapa Praktek Peradilan (2012)
IMAM PRIHADIYOKO
—————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2015, di halaman 16 dengan judul “Mengajar dan Menjaga Konstitusi”.