Susanti, Menyibak Misteri Kanker Usus di Usia Muda

- Editor

Kamis, 8 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dinyatakan sebagai penderita kanker hati, Susanti makin terlecut untuk menyibak misteri penyakit itu. Lalu mendirikan usaha rintisan di bidang diagnostik molekuler lewat perusahaan rintisan PathGen Diagnostik Teknologi.

DOKUMENTASI PRIBADI—-Dr Susanti

Menjadi peneliti kanker, yang justru didiagnosis kanker usus, mengubah renjana Susanti (39) sebagai ilmuwan. Susanti sebagai penyintas kanker usus stadium 3 di usia muda membulatkan tekad untuk menjawab pertanyaan mengapa penderita kanker jenis ini semakin banyak di usia muda, baik di Indonesia maupun secara global. Tak berhenti sebagai ilmuwan, Susanti melebarkan sayapnya mendirikan usaha rintisan atau start up di bidang diagnostik molekuler lewat perusahaan rintisan PathGen Diagnostik Teknologi untuk menguatkan deteksi dini dan pencegahan kanker usus di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Keahlian Susanti bersama tim peneliti Nottingham-Indonesia Collaboration for Clinical Research and Training (NICCRAT) yang dibentuk sejak 2019 yang terbiasa memanfaatkan diagnostik molekuler juga berperan besar di masa pandemi Covid-19. Saat Indonesia masih belum ada laporan kasus penyebaran Covid-19 di awal tahun 2020, sedangkan Inggris dan negara lain sudah melaporkan, Susanti pun terpanggil berkontibusi untuk Tanah Airnya. Dia bersama tim NICCRAT, termasuk di dalamnya LIPI, membantu pelatihan untuk tenaga laboran dan peneliti menjalankan tes PCR dan tes sequencing. Susanti secara daring ikut melatih, program selama 3-4 bulan di awal pandemi tahun 2020 ini menjangkau sekitar 1.000 laboran dan peneliti Indonesia.

Kiprah Susanti dalam penelitian kanker usus dan dengan keilmuannya dalam membantu penanganan Covid-19 mengantar dia mendapat penghargaan Postdoctoral Research Award for Outstanding Contribution to the Research Community. Penghargaan ini merupakan ajang tahunan University of Nottingham Tri-Campus Awards for Postgraduate and Posdoctoral Research 2021.

Susanti menjadi dosen di Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jawa Tengah, usai lulus dari UGM. Ketika melanjutkan S-2 ke Australian National University, Canberra, dia mendalami program biomedik dan melakukan riset angiogenesis tentang pembentukan pembuluh darah baru yang dibutuhkan untuk sel kanker berpindah tempat. Dia masih ingin mendalami risetnya dan berhasil mendapat beasiswa doktor di universitas yang sama. Dia terpilih dalam top 20 kandidat yang mendapat beasiswa The Australia Prime Minister Endeavour Postgraduate Award.

Jatuh sakit
Susanti yang didampingi sang suami, Ciptoaji, dan putra semata wayang, Raihan Abiyyuzahy, memutuskan pulang ke Indonesia dulu sebelum menetap kembali di Australia. Saat kembali ke Tanah Air, Susanti merasakan sakit. Di awal 2014, dari hasil pemeriksaan, Susanti dinyatakan menderita kanker usus stadium 3.

”Sebagai ilmuwan yang meneliti kanker, lalu menderita kanker, pertanyaan saya yang pertama, juga umumnya penderita kanker, kenapa saya? Apalagi, kan, dari jurnal-jurnal ilmiah yang saya geluti, munculnya kebanyakan di usia 60-70 tahun. Tapi saya di usia 30-an tahun sudah terkena,” kata Susanti yang dihubungi dari Nottingham, Inggris, Minggu (6/6/2021).

DOKUMENTASI PRIBADI—-Susanti (kanan) yang kini menjalani postdoctoral di University of Nottingham, Inggris, hadir dalam World Class Professor yang digelar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, pada tahun 2019 di Jakarta.

Susanti pun memutuskan menjalani pengobatan di Yogyakarta. Sebagai ilmuwan yang meneliti kanker, ada banyak kegundahan dan pertanyaan tentang pengobatan kanker usus di Indonesia, hingga mengapa bisa datang di usia muda. Susanti tak menjalani uji genetik, padahal dari riset global sekitar 20 persen penderita kanker di usia muda akibat kelainan genetik. Layanan kesehatan di Indonesia yang diterimanya tidak sampai ke sana. Pemberian obat-obat pun disesuaikan dengan kondisi stadium kanker, bukan berdasarkan kondisi kelainan genetik penderita.

”Sakit dan menjalani pengobatan sekitar dua tahun membuat saya bimbang, apa masih mau melanjutkan kuliah karena sudah dapat beasiswa atau tidak. Bersyukur, suami mendukung dan siap menemani. Akhirnya saya memilih untuk riset tentang kanker usus untuk menjawab berbagai pertanyaan dan rasa penasaran saya sebagai penyintas,” ujar Susanti.

Susanti pun batal ke Australia. Dia mendapat beasiswa dari Islamic Development Bank untuk kuliah di University of Nottingham. Dia memutuskan fokus tentang kanker usus, yang dimulai dari genetika. Di Inggris dan secara global, pasien kanker usus di usia muda berkisar 8 persen, tetapi trennya semakin meningkat. Adapun di Indonesia, kasusnya lebih tinggi berkisar 35-40 persen.

Susanti membayangkan dirinya yang masih muda sudah terkena kanker, padahal dia masih mimiliki banyak mimpi dan ingin mendampingi anaknya yang masih kecil. Penderita kanker usus di usia produktif tentu saja membebani sistem kesehatan dan negara. Ditambah lagi jika penanganan tidak tepat, bisa terjadi pemberian obat yang tidak sesuai ataupun yang berlebihan. Di kasus kanker usus, sekitar 20 persen pasien muda diketahui akibat kelainan genetik. Namun, sekitar 80 persen karena faktor lain yang belum jelas membuat Susanti ingin menyingkap misteri ini.

Apalagi di Inggris, Susanti mengalami pemeriksaan ulang. Dia diperiksa dengan diagnostik molekuler. Hasilnya, kasus Susanti bukan karena keturunan atau kelainan genetik. Sementara ada kenalannya yang usia muda karena kelainan genetik atau turunan.

Susanti melakukan riset di bawah bimbingan Profesor Mohammad Ilyas. Riset ini mendapat dukungan dana karena memang menjadi isu yang seksi dan belum tersingkap jelas. Sejauh riset yang dilakukan masih melihat genetik dulu. Jika ada kelainan genetik tertentu, peluang menderita kanker usus di usia muda lebih tinggi. Dari riset bisa jadi ada kelainan genetik lain yang selama ini belum diketahui. Bisa juga mengarah mekanisme imun dari seseorang sehingga sel kanker lebiih cepat berkembang.

”Kalau nanti dari pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada kelainan genetik lain, sel imun tidak ada perbedaan, baru melihat ke faktor resiko lain, seperti makanan, rokok, dan paparan radiasi,” ujar Susanti.

Jembatan bagi dunia riset
Bagi Susanti, meriset kanker usus yang juga dialaminya memberikan pelajaran banyak hal. Dia menyadari bahwa deteksi dini menjadi salah satu hal penting. Dengan diagnostik molekuler, pasien kanker usus bisa terbantu untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kondisinya. Jika karena keturunan, anggota keluarga lain juga bisa segera mendapatkan deteksi dini untuk pencegahan.

DOKUMENTASI PRRIBADI—–Susanti (kedua dari kanan) terlibat dalam riset menyingkap misteri penderita kanker usus di usia muda. Susanti membangun kolaborasi University of Nottingham dan Indonesia untuk melakukan riset bersama.

Susanti menemukan kit tes diagnostik molekuler yang bisa digunakan mendeteksi kondisi pasien kanker usus. Dia bersama tim NICCRAT menghasilkan kit tes yang lebih murah yang diyakini sesuai dengan kondisi di Indonesia yang terbatas dan mengandalkan impor.

Susanti pun bersemangat untuk mewujudkan kit tes yang berharga terjangkau hadir di Indonesia. Dia membayangkan kit tes itu untuk diagnostik molekuler bisa didapat di rumah sakit umum daerah dengan memanfaatkan mesin PCR untuk tes Covid-19. Pemeriksaan butuh jaringan tumor pasien.

Berbekal nekat, Susanti menyatakan niatnya mendirikan start up yang dinamakan PathGen Diagnostik Teknologi di Indonesia. Supervisornya pun meragukan rencana ini akan berhasil sambil mengingatkan Susanti bahwa dunia ilmuwan dan bisnis itu berbeda. Namun jalan terbuka, Susanti mendapat dukungan dana dari Islamic Development Bank.

Bagi Susanti, yang pernah menjadi pasien kanker usus, ia yakin kit tes yang terjangkau dibutuhkan dan dapat membantu pasien dan keluarga. Jika pasien menderita kanker karena genetik, keluarga bisa segera diperiksa. Namun, jika pemeriksaan berbeda, bisa dengan tes darah. PathGen bersama NICCRAT telah menyiapkan produk juga untuk tes tersebut.

”Saya melompat ke usaha rintisan Pathgen, bisa dibilang ide gila, dari ngomong akademik ke jualan. Jadi, belajar bisnis dan kerja keras. Tapi saya mau meluruskan niat, memanfaatkan sisa umur. Saya bekerja dengan talenta muda di Indonesia dan ada sukarelawan,” ujar Susanti.

Tanpa diduga, PathGen yang masuk start up inkubasi LIPI terpilih menjadi tiga start up mewakili Indonesia di ajang inovasi sosial start up dari Extreme Tech Challenge pada 22 Juli di California, Amerika Serikat.

Biodata
Nama: Susanti
Tempat Lahir: Jambi, 7 Mei 1982
Pekerjaan
Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto (2005-sekarang)
Pendiri dan CEO PathGen Diagnostik Teknologi (2020-sekarang)
Nottingham-Indonesia Collaboration for Clinical Research and Training (NICCRAT) sejak 2019- sekarang

Pendidikan
S-1 Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2000-2005)
S-2 Riset Biomediscal The John Curtin School of Medical Research, Australian National University, Canberra (2009-2011)
S-3 Medical Oncology, School of Medicine, The University of Nottingham, Inggris (2015-2020)
Postdoctoral di University of Nottingham

Penghargaan, antara lain:
Postdoctoral Research Award for Outstanding Contribution to the Research Community di ajang tahunan University of Nottingham Tri-Campus Awards for Postgraduate and Postdoctoral Research 2021
Finalis Top 4 L’Oreal-UNESCO for Women in Science, fellowship (2020).
PathGen Menjadi Finalis Global di Bidang Kesehatan PathGen di ajang Extreme Tech Chlallenge 2021People’s Choice Award di California, Amerika Serikat, 2021

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Editor: MOHAMMAD HILMI FAIQ

Sumber: Kompas, 12 Juni 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Inspirasi dari Perempuan Peneliti: Jalan Terang Masa Depan
Supartono, Ahli Beton Pratekan
Prof. Somadikarta Dengan Waletnya
Hakim Modern: Statistik
Prof. Drs. Med. Radioputro: “Sarjana Tak Bermutu”
Yohanes Martono, Ketekunan Peneliti Pemanis Alami
Lusiawati Dewi, “Dosen Tempe” dari Salatiga
Musa Hubeis Setia Mengkaji Pengembangan UMKM
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 23 Agustus 2022 - 23:01 WIB

Inspirasi dari Perempuan Peneliti: Jalan Terang Masa Depan

Senin, 22 November 2021 - 20:18 WIB

Supartono, Ahli Beton Pratekan

Jumat, 24 September 2021 - 13:32 WIB

Prof. Somadikarta Dengan Waletnya

Selasa, 10 Agustus 2021 - 23:23 WIB

Hakim Modern: Statistik

Rabu, 21 Juli 2021 - 12:54 WIB

Prof. Drs. Med. Radioputro: “Sarjana Tak Bermutu”

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB