Musibah transportasi yang mengakibatkan tenggelamnya kapal dan pesawat terbang beberapa kali terjadi di perairan Nusantara. Pencarian obyek di dasar laut dilakukan menggunakan beberapa cara, salah satunya dengan sistem sonar. Sistem ini pula yang akan digunakan untuk mencari serpihan pesawat, muatan, dan kotak hitam pesawat AirAsia di perairan Selat Karimata.
Pencarian bagian pesawat AirAsia nomor penerbangan QZ 8501 yang karam di Laut Jawa menggunakan sistem deteksi sonar yang dibawa kapal Baruna Jaya (BJ) I. Unit sensor itu merupakan satu kesatuan sistem dari kapal riset buatan Norwegia tersebut.
Mulai beroperasi tahun 1990, kapal ini sebagian besar misinya adalah survei perikanan dan oseanografi. Kapal ini, antara lain, digunakan untuk menjalani program survei Arus Lintas Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kapal BJ I bertolak ke lokasi pencarian pada Selasa (30/12) malam menuju empat zona yang ditetapkan Badan SAR Nasional (Basarnas), yaitu berada di Selat Karimata hingga selatan Kalimantan Selatan. ”Lokasi pencarian itu memiliki kedalaman berkisar 20 hingga 30 meter,” ujar Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Ridwan Djamaluddin.
Seperti halnya kapal Baruna Jaya IV, yang pernah digunakan untuk mencari pesawat Adam Air 574 di Selat Makassar pada 1 Januari 2007, kapal riset ini memiliki sensor sonar yang disebut multibeam echo sounder dan side scan sonar. Unit pendeteksi kondisi dasar laut tersebut terdiri atas sistem pemancar gelombang akustik atau gelombang suara berkekuatan 180 kilohertz.
Teknis pencarian
Pencarian obyek di dasar laut dilakukan dengan menembakkan gelombang suara ke kiri dan kanan dengan sudut tertentu. Kecepatan gerak kapal dibatasi 7 knot atau di bawah 15 kilometer per jam. Hal ini untuk menghindari distorsi pada gelombang yang diterima.
Untuk kedalaman hingga 500 meter, lebar wilayah yang ”disapu” mencapai 8,3 kali kedalaman atau 4.150 meter. Namun, pada kedalaman 3.000 meter, lebar penyapuannya hanya 0,7 kali kedalamannya atau 2.100 meter.
Gelombang suara ini akan mengenai setiap obyek di dasar laut, kemudian gelombang dipantulkan. Kecepatan gelombang balik akan berbeda untuk setiap jenis material. Pantulan gelombang suara dari material logam akan relatif lebih kuat dibandingkan material lumpur.
Setiap data gelombang balik yang ditangkap unit penerima gelombang akan direkam. Data rekaman itu kemudian diproses di komputer dan ditampilkan di layar monitor. Profil dasar laut yang muncul di layar kaca itu akan menunjukkan bagian menonjol dengan bentuk tertentu.
Selain alat sensor yang terpasang di kapal itu, dalam pencarian digunakan pula unit portabel yang mampu mendeteksi obyek sedalam 200 meter. Pengoperasian sonar portabel akan menggunakan perahu karet. Namun, operasi ini dilakukan pada saat gelombang relatif tenang.
Sebelum mulai beroperasi, untuk tiba di lokasi diperlukan pelayaran hampir dua hari. Operasi pencarian sendiri sekitar satu minggu. Pencarian diperkirakan lebih mudah karena dasar Laut Jawa yang landai dan kedalamannya sekitar 40 meter.
Penggunaan kapal BJ untuk tujuan SAR, antara lain membantu pencarian pesawat Adam Air 574 di Selat Makassar, yang memakan waktu hampir setengah tahun. Pesawat ini ditemukan berada di palung berkedalaman sekitar 2.500 meter.
Pencarian pesawat AirAsia QZ 8501 selama seminggu mendatang, menurut keterangan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo dan Kepala Basarnas Marsekal Madya FH Bambang Sulistyo, akan melibatkan India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Australia, dan Amerika Serikat. (YUNI IKAWATI/M ZAID WAHYUDI)
Sumber: Kompas, 31 Desember 2014