Lepas dari kekurangan metode-nya, keinginan Surat Wiyoto (58) memberikan umur lebih panjang bagi merak hijau (”Pavo muticus”), membutuhkan dukungan. Di tangan petani yang sederhana ini, merak hijau bisa berkembang biak.
Saat hendak diundang menjadi pembicara dalam sesi diskusi yang digelar Forum Konservasi Satwa Liar di Taman Safari Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, awal Februari lalu, Surat mengajukan syarat. Warga Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, ini tidak mau menginap. Padahal, dibutuhkan waktu delapan jam dari rumahnya pergi pulang Pasuruan.
”Kalau menginap, siapa yang memberi merak makan di rumah. Saya takut merak sakit kalau ditinggal terlalu lama,” kata lulusan SD itu polos.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Syarat itu dipenuhi dan Surat memenuhi janjinya tiga hari kemudian. Ia datang bersama cucunya menggunakan mobil carteran panitia. Surat datang sekitar setengah jam sebelum tiba waktunya berbicara. Berangkat pukul 08.00 dari Madiun, ia datang di Pasuruan sekitar pukul 14.00.
Wajah keriputnya terlihat kelelahan. Namun, hal itu tidak membuatnya kehilangan semangat di depan puluhan wartawan yang hadir dalam diskusi itu. Sembari menggenggam foto merak hijau yang ada di rumahnya, Surat mencoba menjawab pertanyaan menggunakan bahasa Jawa bercampur bahasa Indonesia.
”Repot tidak mengurus merak Mbah?” satu dari sekian banyak pertanyaan yang terlontar.
”Sama seperti pelihara ayam kampung. Mung pas cilik senenge rayap (Hanya waktu kecil, sukanya makan rayap). Mboten seneng liane (Tidak suka lainnya),” jawab Surat lirih.
”Ada berapa ekor sekarang Mbah?” tanya seorang peserta diskusi.
”20 ekor,” kata Surat lagi.
”Berapa dan dari mana Mbah Surat dapat uang untuk memelihara merak?” kata seorang wartawan.
”Sebagai petani, pendapatan saya hanya Rp 1,5 juta per bulan. Sering kali Rp 900.000 di antaranya untuk merak. Sisanya untuk keluarga. Asalkan merak-merak itu sehat, saya tidak keberatan,” kata Surat datar.
Bintang diskusi
Kesederhanaan Surat menjadikannya bintang dalam rangkaian diskusi itu. Tidak ada yang ditutupi dari metode pemeliharaannya. Dengan jujur, Surat memaparkan metodenya. Meskipun masih banyak kekurangan, setidaknya ia memberikan sedikit perhatian terhadap burung yang memilih Jawa Timur sebagai benteng pertahanan utama di Indonesia itu.
Pertemuan Surat dengan seekor merak di Hutan Tawangrejo mengubah jalan hidup Surat, 16 tahun lalu. Suatu sore, Surat melihat sekelebat sosok hijau terbang di atasnya. Penasaran, ia mengejarnya ke tengah hutan. Bukan pertemuan kedua yang ia dapatkan. Namun, ia menemukan empat butir telur sebesar telur bebek. Belum pernah melihat telur seperti itu, ia membawanya pulang.
”Kebetulan di rumah ayam betina sedang mengerami telurnya. Saya sisipkan di antara telur ayam,” katanya.
Selang 10 hari, telur–telur itu menetas. Fisiknya dua kali lebih besar dibandingkan anak ayam. Bulu lebih lebat dan lebih panjang dibandingkan ayam kampung. Hingga detik itu, ia tidak tahu ”ayam” jenis apa yang ada di hadapannya.
Hingga akhirnya, pertumbuhan ”ayamnya” terlihat lain. Dua ekor yang jantan tumbuh lebih besar. Buntutnya lebih panjang. Ada jambul di atas kepalanya. Dua ekor lainnya betina. Tubuhnya tidak terlalu besar dan tidak berbuntut panjang.
”Setelah tanya-tanya kepada orang desa, saya diberi tahu bahwa ini burung merak. Orang-orang bilang pelihara saja, itu burung bagus,” katanya sembari meneguk air dingin dari botol minuman ringan.
Seiring pertumbuhan meraknya, Surat lalu berinisiatif membuat kandang yang lebih besar. Di dalam bagian lain dari rumahnya, dibuatkan kandang 6 meter x 10 meter untuk tiga merak yang dipisahkan sekat. Ia juga membuat tempat bertengger di luar kandang untuk memuaskan keinginan merak hinggap di tempat yang lebih tinggi.
Suatu ketika, dua merak bertelur. Seperti pengalaman sebelumnya di hutan, induknya enggan mengerami telur. Surat kembali ”menitipkan” telur merak itu pada ayam peliharaannya.
Ia kembali mendapat pelajaran baru sekitar 40 hari kemudian. Semua telurnya menetas. Begitu seterusnya. Dalam satu tahun, ia bisa menetaskan delapan telur baru dari dua betina miliknya.
Kemampuannya memelihara merak mengundang banyak orang untuk datang. Mulai dari kelompok seni reog ponorogo yang ingin membeli bulu yang rontok hingga pejabat pemerintah yang hendak membeli satu atau dua ekor meraknya.
Terdesak tingginya biaya pakan, Surat menjual beberapa merak. Seekor merak dihargai Rp 2 juta-Rp 3 juta. Saat itu, ia tidak tahu merak adalah satwa yang dilindungi.
Data dari International Union for Conservation of Nature menyebutkan, merak milik Surat adalah merak hijau (Pavo muticus). Selain di Jawa Timur, merak ini juga hidup di Kamboja, Tiongkok, Vietnam. Di seluruh dunia, populasinya diperkirakan antara 15.000-30.000 ekor. Tren populasinya menurun.
Kondisi itu membuat International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan satwa ini terancam punah. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITIES) memasukkannya dalam Appendix II yang berarti bisa diperdagangkan dengan aturan ketat.
Harapan
Pola pikir Surat berubah saat meraknya hendak disita negara pada 2011. Ia menolak dan ngotot agar bisa tetap memeliharanya. Surat setuju saat diminta membuat permohonan penangkaran. Konsekuensinya, ia harus melaporkan detail perkembangan merak-meraknya.
Setiap kelahiran merak harus terdata, identitas berupa cip dipasang di setiap merak. Ia juga harus melaporkan pakan dan obat yang diberikan hingga hanya boleh menjual minimal Rp 20 juta per pasang. Setiap sakit dan kematian juga harus dibuatkan laporan.
”Paling berat waktu banyak merak mati. Saat itu sedang marak flu burung,” katanya.
Akan tetapi, menurut Surat, bukan hanya flu burung yang membuat banyak meraknya mati. Ada banyak kematian yang ia tidak tahu penyebabnya. Banyak merak mudah terserang sakit. Ukuran meraknya pun semakin mengecil. Sepanjang periode 1999-2014, Surat mengatakan, menetaskan sekitar 70 telur. Namun, kini ia tinggal mengasuh 20 ekor.
”Kalau bapak tahu penyebabnya, mungkin saya bisa dibantu,” kata Surat saat bertemu Direktur Utama Taman Safari Indonesia (TSI) Tony Sumampau yang hadir dalam diskusi itu.
Tony mengatakan, semangat Surat patut mendapat apresiasi. Surat punya peran meningkatkan populasi merak hijau di Indonesia. Akan tetapi, metode penangkaran ala Surat masih membutuhkan perbaikan. Salah satunya mencegah perkawinan sedarah antarmerak.
”Karena induk meraknya hanya ada dua pasang, perkawinan sedarah pasti terjadi. Sebaiknya, tidak dilanjutkan karena akan membuat keturunannya menderita. Kalau dibiarkan, merak akan mandul atau mati lebih cepat,” kata Tony.
Mendengar penjelasan itu, Surat mengangguk mengerti. Ia seperti mendapat pelajaran baru.
”Lalu apa yang harus saya lakukan?” katanya.
”Coba nanti akan kami lihat apakah perkawinan antara merak bapak dengan merak di TSI bisa dilakukan. Tidak bisa sembarangan. Butuh penelitian lebih lanjut. Saya pribadi berharap niat baik itu akan berhasil,” kata Tony.
Saat bersamaan, salah seorang perawat merak hijau di TSI II Prigen menanyakan alamat rumah Surat.
”Iya, Pak. Saya tidak ingin melihat merak-merak itu mati terlalu cepat. Saya ingin melihat merak itu sehat dan punya banyak. Mungkin kalau semakin banyak bisa dilepaskan di tempat yang tepat,” katanya.
Hanya sekitar tiga jam di TSI II Prigen, Surat bersiap pulang. Hati Surat masih tidak tenang meninggalkan meraknya terlalu lama. Sebelum pulang, ia melempar ajakan untuk datang ke rumahnya.
”Mampir ke rumah kapan-kapan, lihat merak,” kata Surat bersahaja.
Di bawah guyuran hujan sore itu, Surat menyiramkan harapan. Dari tangan orang desa ini, merak hijau punya peluang hidup lebih lama.
—————————————————————————
Surat Wiyoto
? Tempat, tanggal Lahir: Madiun, 7 November 1957
? Profesi: Petani
Oleh: CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Sumber: Kompas, 16 Februari 2015
Posted from WordPress for Android