”Penaklukan udara akan terbukti—pada akhirnya—sebagai kemenangan manusia yang paling agung dan paling megah” (Claude-Graham White, perintis penerbangan, 1914, dalam ”Flight: The Complete History”, RG Grant, 2007).
Sementara upaya penyingkapan tabir tragedi Sukhoi Superjet 100 menunggu penyelidikan terhadap kotak hitam, industri kedirgantaraan dan aviation enthusiast tak mau terpaku pada satu-dua musibah. Sebagai bagian dari khazanah pengetahuan, pikiran acap tergoda untuk membuka buku-buku seperti novel Pilot Error (karangan Tosh MacIntosh, 2011) atau buku analisis dengan judul sama (ditambah subjudul The Anatomy of a Plane Crash) karya Phaedra Hise.
Dalam buku terakhir dikisahkan bagaimana penulis menyusuri jejak penerbangan pesawat Grumman Traveller yang mengalami musibah fatal. Penulis menyimpulkan bahwa seorang pilot yang sangat terlatih baik pun bisa terpeleset dalam satu kesulitan akibat kesalahan yang tampaknya tidak berarti, tetapi lalu memicu kesalahan lain yang berlanjut pada rentetan kejadian berujung kecelakaan fatal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Memang dalam kenyataannya, pencapaian manusia dalam penaklukan dirgantara menelan korban jiwa, tidak hanya jiwa para perintis, tetapi juga jiwa penumpang yang menikmati kemajuan penerbangan ini. Membaca buku Terror in the Skies: The Inside Story of the World’s Worst Air Crashes (David Grayson, 1989), pembaca bisa menyimak pelbagai kisah musibah penerbangan dengan aneka penyebab, mulai dari ban meletus saat lepas landas, dua mesin terbakar saat badai guntur, hingga salah jalur (lalu) ditembak pesawat tempur.
Namun, masih dalam suasana duka musibah Sukhoi Superjet 100, penulis ingin mengajak pembaca terbang tinggi dan meyakinkan bahwa penerbangan adalah pendorong kemajuan peradaban yang dari waktu ke waktu diupayakan tidak hanya lebih hemat bahan bakar, atau ruang kabin lebih nyaman, tetapi juga yang pertama-tama adalah lebih aman untuk dipergunakan.
Sejenak, saat mengenang kembali Sukhoi Superjet 100, ingatan kembali melayang pada kemampuan bangsa kita membuat pesawat terbang. Seperti dikenang kembali oleh BJ Habibie, presiden ke-3 yang pakar aeronautika, kalau saja akhir tahun 1990-an ekonomi Indonesia baik-baik saja dan tidak dilanda krisis, saat ini Indonesia sudah bisa membuat jet komersial N-2130 berpenumpang 100 orang yang sekelas Sukhoi Superjet 100 atau E-190 Embraer atau CRJ-1000 Bombardier.
Impian membuat jet tersebut masih hidup di kepala Habibie dan anak-anak intelektualnya, tetapi sulitnya menyediakan biayalah yang kini terus menjadi kendala untuk mewujudkan impian tersebut.
Setelah Dreamliner dan Superjumbo
Bahwa industri kedirgantaraan tidak mengenal patah semangat ada bukti nyata, yakni munculnya pesawat penumpang baru yang revolusioner, seperti jet Superjumbo Airbus A-380 dan Boeing 787 Dreamliner.
Tidak berhenti di situ, badan penerbangan dan para insinyur di pabrik pesawat terkemuka juga terus berpikir untuk menciptakan pesawat baru yang memenuhi tuntutan zaman. Seperti kita ketahui, tuntutan terhadap penerbangan komersial yang paling mendesak saat ini adalah adanya pesawat yang bisa terbang lebih bersih, lebih halus suara mesinnya, dan menggunakan bahan bakar lebih sedikit.
Untuk pesawat masa depan ini, majalah Popular Science (edisi Mei 2012) memberi kita sejumlah ide. Dari perusahaan Lockheed Martin, misalnya, muncul konsep ”Box Wing Jet” yang jika terwujud tahun 2025, bisa terbang dengan hanya menggunakan separuh bahan bakar jet masa kini.
Lockheed coba mencari solusi tanpa meninggalkan bentuk tradisional pesawat masa kini. Caranya dengan memanfaatkan material ringan yang sebelum ini digunakan pada pesawat tempur F-22 Raptor dan F-35 Lightning II, dua pesawat tempur yang paling maju di dunia sekarang ini.
Model lain yang diperkenalkan adalah ide untuk menghidupkan kembali penerbangan supersonik. Harus diakui, sebagian orang masih merasa, dengan kenyamanan layanan kabin pesawat yang ada saat ini, waktu terbang—seperti dari Jakarta ke kota Eropa atau ke Amerika—masih kurang cepat.
Impian ini tidak terkubur saat jet supersonik komersial satu-satunya yang pernah beroperasi, yakni Concorde, terbang untuk terakhir kali pada 26 November 2003. Riwayat jet yang sangat mengesankan ini harus berakhir karena dalam perkembangannya, ia dinilai terlalu bising, tidak efisien, dan terlalu banyak menghabiskan bahan bakar.
Satu lagi desain yang diperkenalkan adalah pesawat hibrida yang akan menggunakan bahan bakar baterai dan jet saat lepas landas, tetapi setelah di ketinggian jelajah, akan sepenuhnya menggunakan listrik. Semangat yang mendasari rancangan Boeing ini adalah bahwa penghematan bahan bakar pesawat bisa dicapai dengan mematikan mesin jet. Pesawat hibrida berukuran Boeing 737 ini diperkirakan bisa terbang tahun 2035.
Lebih tinggi
Baik ditilik secara kemiliteran—mengikuti ajaran penganjur kekuatan udara Italia, Giulio Douhet, yang dalam sejarah mutakhir dipamerkan dalam Perang Teluk 1991 dan model perang AS selanjutnya—maupun ditinjau dari kebutuhan komersial, penerbangan bukan hanya niscaya bagi Indonesia, melainkan juga bagi bangsa lain—lebih-lebih bangsa maju.
Kedirgantaraan terus berusaha tidak hanya menghasilkan pesawat aman dan nyaman pada ketinggian 35.000 kaki, tetapi juga bahkan lebih tinggi lagi. Upaya yang dilakukan oleh perancang Burt Rutan untuk menciptakan SpaceShipOne yang memenangi hadiah Ansari X tahun 2004, yang seolah menghapus batas ketinggian penerbangan—dari ruang aeronautika ke ruang angkasa—kini digarisbawahi oleh realitas politik baru.
Sebagaimana penerbangan, upaya eksplorasi ruang angkasa memang mahal, tetapi jangan dilupakan manfaatnya, mulai dari lapangan kerja, inovasi teknologi, hingga kemajuan sains dasar. (NINOK LEKSONO)
Sumber: Kompas, 16 Mei 2012