Era big data (mahadata) membawa pengaruh tak terelakkan ke mana-mana, termasuk ke dunia kedokteran. Semuanya harus beradaptasi, agar tak terpapar sisi negatifnya. Dunia kedokteran pun harus menghadapi era serba digital ini. Selama ini, para dokter diberi koridor etik yang berhulu pada Sumpah Hipokrates.
Sumpah Hipokrates diucapkan Hipokrates sekitar tahun 400 SM. Sumpah ini diadopsi di zaman modern oleh World Medical Association pada Konvensi Jenewa, 1948. Lembaga pendidikan kedokteran di berbagai negara juga mengacu dan merevisi berdasar versi masing-masing. Indonesia mengadopsinya menjadi Sumpah Dokter Indonesia; yang kali pertama digunakan 1959, dan mendapat payung hukum lewat PP No 69/1960.
Penelitian dan pengembangan stem cell atau sel punca dan kanker di laboratorium Stem Cell & Cancer Institute PT Kalbe Farma di Pulomas, Jakarta, Jumat (9/9).–Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)–09-09-2016
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 1983 dan 1993, Sumpah Dokter ini mendapat beberapa perbaikan kalimat. Berikut salah satu penggalan Sumpah Dokter Indonesia hasil Muktamar IDI XXIV Tahun 2000: “Saya akan mengobati pasien berdasar kekuatan, kecakapan dan kepercayaan saya, demi kebaikan pasien, dan saya tidak akan pernah berbuat sesuatu yang membahayakan siapapun”.
Apakah sumpah berusia 2.400 tahun ini masih relevan dengan kondisi sekarang? Di era milenial dengan ancaman kekuasaan mahadata sekarang, etika kedokteran bakal makin menghadapi tantangan berat. Contoh pertama, ada sejoli saling jatuh cinta. Prianya pelukis dan desainer grafis sukses, perempuannya dokter baru lulus, putri seorang dokter. Karakter keduanya sangat berbeda. Si pria sangat “nyeniman”, si perempuan sangat rasional dan memuja kemajuan iptek.
–Para peneliti sedang memproses pengembangan sel punca di laboratorium Stem Cell and Cancer Institute milik Kalbe, Rabu (6/1), di Pulomas, Jakarta. Sel punca sangat potensial menjadi bahan baku terapi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung, diabetes melitus, dan osteoarthritis.–Kompas/Johanes Galuh Bimantara (JOG)–06-01-2016
Setelah berpacaran dua tahun, mereka melangkah untuk persiapan pernikahan. Tiba-tiba si perempuan bilang, “Mas, aku sangat mencintaimu, tak perlu diragukan lagi. Tapi untuk ke pernikahan, kita berdua melakukan pemeriksaan genetik dulu ya? Jika rekam genetik kita tak menunjukkan ada yang membayakan, kita lanjut nikah. Tapi jika hasilnya menunjukkan ada potensi bahaya bagi kita berdua dan calon anak kita, maka aku mohon maaf, kita putus aja ya?,’’ katanya. Bisa dibayangkan, apa enggak pingsan si pria seniman itu.
Sebagai dokter baru lulus, si perempuan terbilang rasional. Dia paham, rekam genetik bisa menunjukkan potensi bahaya kesehatan yang mungkin baru muncul sekian tahun kemudian. Misal, hasil rekam genetik menunjukkan kalau calon suaminya membawa potensi embrio penyakit kronis dan diperhitungkan akan menurunkan gen penyakit ini pada anaknya. Untuk apa menikah jika nantinya melahirkan anak yang mengidap penyakit berat yang diturunkan oleh suaminya? Siapa tega melihat anaknya sakit berat berkepanjangan? Begitulah mungkin rasionalisasi ikhtiar si perempuan.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Peresmian Pusat Genom Nasional Peneliti melakukan riset di laboratorium Pusat Genom Nasional di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, setelah peresmian fasilitas tersebut, Kamis (26/4/2018). Pusat Genom Nasional tersebut dilengkapi dengan alat-lat sequens genetika terbaru yang menjadikan Indonesia memiliki laboratorium bertaraf internasional. Pusat Genom ini berfokus pada penelitian identifikasi penyakit infeksi maupun penyakit terkait genetik, pengembangan alat uji diagnostik dan vaksin serta penemuan obat baru untuk penyakit infeksi.
Masalahnya, apakah prediksi berdasar rekam genetik itu bisa diantisipasi oleh kemajuan iptek beberapa tahun mendatang? Mari simak contoh kedua. Teknologi medis makin berkembang, sehingga saat kelahiran bayi, urutan-urutan kode genetiknya bisa direkam dan disimpan pada kartu data digital.
Dengan rekam data genetik ini, dokter akan mencari dan memeriksa sumber penyakit (atau potensi invalid) yang secara biologis telah melekat sejak kelahiran bayi. Dokter kemudian “mereparasi”-nya dengan cara memotong molekul invalid itu, dan menyambungkan dengan molekul baru yang sehat. Maka, potensi penyakit atau invalid itu tidak jadi muncul di masa mendatang. Inilah skenario “reparasi preventif” secara genetis, yang akan mengurangi tindakan kuratif di kemudian hari.
–Para peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi tengah menganalisis sampel DNA, yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia, Rabu (9/12). Sejauh ini sudah 6.000 DNA individu dari 70 populasi utama di Indonesia telah diambil sampelnya. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pemetaan genetika manusia Indonesia, yang bisa berguna untuk mengetahui asal-usul, migrasi, hingga daya tahan dan kerentanan etnis tertentu terhadap penyakit.–Kompas/Ahmad Arif (AIK)–07-10-2015
Contoh ketiga, seratus tahun lalu, seorang yang divonis mengidap penyakit jantung kronis akan langsung putus harapan. Tapi pada 1967 terjadi revolusi medis. Dokter Afrika Selatan Christian Barnard, sukses memperkenalkan operasi cangkok jantung pertama di Cape Town. Sejak saat itu harapan hidup penderita jantung kronis jadi membesar. Di era milenial, beberapa tahun mendatang mungkin pasien bisa memesan jantung pengganti yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, karena dibuat dari selnya sendiri. Bukankah sekarang riset sel punca (stem cell) terus berkembang?
Cerita keempat. Ada dua pasien yang sama-sama mengidap TBC, datang ke dokter yang sama. Setelah diagnosa, dokter mengirim skema genetik kedua pasien itu ke apotik modern, yang merupakan cabang dari perusahaan farmasi besar dengan layanan pasien secara customized. Apotek ini lantas membuat formula obat yang disesuaikan dengan struktur genetik kedua pasien itu. Ini obat yang didesain berdasar struktur genetika secara personal, untuk mengatasi penyakit sampai ke tingkat molekul.
Maka komposisi obat kedua pasien itu berbeda, meski penyakitnya sama. Formulasi obat yang lebih personal akan meningkatkan keberhasilan pengobatan. Kustomisasi formula obat sesuai kondisi individual pasien, tentu saja akan mendongkrak biaya pasien. Maka, hanya pasien berkantong tebal yang akan sanggup berobat. Dan, apotek yang bisa menerapkan skenario ini akan ikut makin kaya pula.
Tantangan atas sumpah
Contoh-contoh skenario medis masa depan itu membawa tantangan berat bagi sumpah Hipokrates. Bayangkan, seseorang hendak membeli polis asuransi kesehatan pada sebuah perusahaan asuransi. Staf perusahaan asuransi kemudian membuka rekam data genetik calon pembeli itu, yang entah didapat dari mana. Ternyata, data genetiknya menunjukkan bahwa si calon mengidap penyakit berat yang akan muncul dua tahun lagi, dan diperkirakan meninggal setahun kemudian. Sebagai entitas bisnis, asuransi akan bekerja dengan logika korporasi, dan ini wajar.
Dalam contoh kasus ini, bisa dipahami jika perusahaan lantas mencari alasan untuk menolak keinginan calon pembeli polis asuransi kesehatan itu. Dalam hal ini, diperlukan regulasi yang bisa mempertemukan kepentingan konsumen dan korporasi. Sebaliknya, jika data genetiknya menunjukkan bahwa yang bersangkutan tak punya potensi penyakit serius sampai sepuluh tahun mendatang, maka staf pemasaran akan merayu semanis mungkin menjual polisnya. Demikianlah, rekam data genetik pasien akan menjadi aset sangat berharga bagi perusahaan asuransi.
–Petugas dari puskesmas membantu mengambil sampel darah warga Desa Hupu Mada, Kecamatan Wanokaka, Sumba Barat, Minggu (24/7). Pengambilan sampel genetik ini dalam rangka penelitian tentang asal-usul dan diaspora manusia Indonesia oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Ristek Dikti.–Kompas/Ahmad Arif (AIK)–24-07-2016
Di tengah kondisi disruptif itu, mari kita lihat penggalan Sumpah Dokter modern, “Dan apapun yang saya yakini dalam proses profesi ataupun di luar profesi saya dalam hubungan saya dengan masyarakat, apabila tidak diperkenankan untuk dipublikasikan, maka saya tak akan membuka rahasia, dan akan menjaganya seperti rahasia yang suci”. Jadi, berhakkah perusahaan asuransi memiliki atau menyimpan rekam data genetik seseorang? Kalau berhak, tak ada masalah. Tapi kalaupun tak berhak, masih ada risiko mengancam.
Zaman sekarang, apa susahnya mendapatkan data digital? Data pribadi jutaan pemilik akun Facebook saja bisa dicuri, dijadikan bahan profilling calon pemilih, dan dijual untuk kepentingan pemilu. Data perbankan kita yang seharusnya rahasia, dibocorkan dan diobral bebas entah oleh siapa. Akibatnya, tiap hari telepon seluler kita berdering, ditawari produk perbankan dan asuransi tanpa henti. Sekarang era big (digital) data. Inilah barang dagangan berujud identitas lengkap seseorang, gampang dicuri dan dijual ke siapaun yang berani membayar, siap digunakan untuk kepentingan apapun.
AP PHOTO/ELAINE THOMPSON–Herley Beyene dari bagian produksi sel menempatkan wadah berisi sel-sel imun atau kekebalan tubuh pada mesin di Pusat Riset Kanker Fred Hutchinson, Seattle, Amerika Serikat. Foto itu diambil pada 29 Maret 2017. Para peneliti memprogram ulang sel-sel kekebalan pasien secara genetik untuk menciptakan obat biologis yang diharapkan bisa menghancurkan sel kanker dengan lebih baik.
Di sinilah keteguhan hati diuji. Informasi rahasia dan data rahasia pribadi pasien yang dipegang dokter atau RS, tak boleh diungkapkan ke pihak lain yang tak punya wewenang. Kecuali dalam tindak pidana, atas perintah pengadilan, barulah data pribadi pasien bisa diungkap. Kedisiplinan ini untuk menjaga kepercayaan pasien ke dokter. Harga mati. Tanpa kepercayaan dan fondasi etik kuat, pasien mungkin enggan memberi data dan fakta yang diperlukan dokter untuk merumuskan diagnosis dan rencana tindakan pengobatan yang akurat.
Kesetiaan memegang Sumpah Dokter akan menjaga reputasi dan kredibiltas dokter dalam menjalankan komitmennya membantu tugas kemanusiaan.
Semoga para dokter tak tergoda melanggarnya, sehingga makin meningkatkan kepercayaan masyarakat dan marwah profesi kedokteran. Inilah potensi tantangan berat Sumpah Hipokrates di zaman milenial. Bagaimanapun “rahasia suci” pasien harus aman di tangan dokter. Jangan sampai Sumpah Hipokrates dientengkan sehingga tergelincir jadi “sumpah hipokrit”. Ngeri.
DJOKO SANTOSO GURU BESAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sumber: Kompas, 5 Juli 2018