Riwayat Gempa Menunjukkan Daya Rusak, Tetap Perlu Waspada
Gempa bumi 6,6 skala Richter yang melanda Sumba Barat, Jumat (12/2), memang tidak menimbulkan kerusakan besar atau korban jiwa. Namun, kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat kawasan tersebut berulang kali dilanda gempa besar yang merusak.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerusakan bangunan di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, meliputi tujuh bangunan sekolah, gedung kantor dinas kehutanan dan peternakan, kantor bupati, serta kantor polres. Kerusakan juga dilaporkan di RSUD Sumba Barat dan Rumah Sakit Lende Moripa.
“Kerusakannya rata-rata berupa retak-retak. Tidak ada yang rusak berat,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, Minggu (14/2), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kerusakan ringan juga terjadi pada 10 rumah penduduk. “Banyak rumah penduduk di Sumba Barat terbuat dari kayu sehingga relatif mampu menahan guncangan gempa,” katanya. “Tim Reaksi Cepat BNPB juga sudah di Sumba Barat dan sejauh ini belum ada laporan korban.”
Pantauan lapangan, Minggu kemarin, tidak ada kerusakan besar di Sumba Barat. Itu berbeda dengan kabar yang beredar yang menyebut rumah sakit roboh, jembatan putus, atau jalan retak hingga 40 sentimeter.
“Semua itu tidak sesuai fakta di lapangan. Kondisi kota Waikabubak dan sekitarnya tetap aman. Memang benar masyarakat sempat panik dan berhamburan keluar rumah, tetapi tidak ada kerusakan luar biasa seperti disampaikan itu,” kata Rato (Raja) Sumba Barat, Lado Regi Tera, ditemui di Waikabubak.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Warga beraktivitas seperti biasa di salah satu sudut kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (13/2). Gempa berkekuatan 6,6 skala Richter yang terjadi sehari sebelumnya tidak menimbulkan kerusakan berarti ataupun korban jiwa.
Rumah Sakit Kristen Lende Moripa yang disebutkan roboh bagian belakang pun tidak benar. Hanya ada retak ringan pada bagian dinding rumah sakit itu, khususnya di lantai satu dan dua. Pihak rumah sakit sudah memperbaikinya.
Kantor-kantor pemerintah, rumah penduduk, pusat pertokoan, dan fasilitas umum di Waikabubak masih berdiri kokoh. Tidak ada jalan aspal yang pecah, retak, atau jembatan putus.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumba Barat Viktor Umbu Sulung mengatakan, sampai hari ketiga setelah gempa, tidak ada warga yang melaporkan kerusakan rumah atau korban jiwa. Pemerintah daerah juga sudah membuka posko pengaduan di kantor bupati dan setiap kantor camat, termasuk polsek-polsek.
Tingkatkan kewaspadaan
Ahli gempa dari Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan, gempa yang melanda Sumba Barat kali ini terjadi pada bidang kontak subduksi Lempeng Australia dengan Lempeng Eurasia. Mekanisme gempanya adalah sesar naik dengan besarnya pergeseran pada bidang gempa yang memiliki dimensi 30 x 15 kilometer mencapai lebih dari 80 sentimeter.
“Pergeseran yang terjadi secara tiba-tiba ini menghasilkan guncangan di permukaan dengan intensitas maksimum mencapai VI, kemungkinan mengakibatkan kerusakan di wilayah dekat dengan sumber gempa,” katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, gempa dengan kekuatan 6,6 SR di dekat daratan biasanya menimbulkan kerusakan. “Pusat gempa ini berada di bidang kontak antara lempeng di kedalaman 60 km sehingga cukup menyebabkan terjadinya perlemahan kecepatan getaran tanah,” ucapnya.
Selain itu, secara geologis, sumber gempa itu terjadi pada zona geologi berupa batuan keras hasil pengangkatan batuan dasar sehingga nyaris tidak ada dataran aluvial atau tanah lunak. “Batuan keras ini juga menyebabkan terjadinya pelemahan getaran gelombang seismik,” katanya.
Menurut Irwan, di sekitar Pulau Sumba beberapa kali terjadi gempa besar, salah satunya bermagnitudo (M) 7,9 pada 1977 dengan mekanisme sesar normal. Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir, di dekat Sumba terjadi 26 gempa merusak dengan magnitudo di atas 6 dan lebih dari 40 gempa dengan magnitudo di atas 5,5. Dua di antaranya gempa sesar naik pada 18 September 1972 dan 19 Desember 1973.
Kejadian-kejadian itu mengingatkan, wilayah Indonesia sangat rawan gempa. Berbeda dengan Pulau Jawa, di wilayah Indonesia timur infrastruktur pengamatan gempa berupa jaringan pengamatan seismik dan jaringan deformasi dengan GPS masih sangat sedikit. Akibatnya, kemampuan memahami sumber gempa di sana sangat rendah. Padahal, potensi gempanya sangat tinggi.
“Perlu upaya sangat serius untuk mengurangi risiko gempa di Indonesia timur yang dimulai penelitian dasar sumber gempa dan pembuatan peta risiko bencana gempa,” kata Irwan. (AIK/KOR)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Sumba Barat Tidak Hancur”.