Sulit Menular, Kusta Terus Menyebar

- Editor

Senin, 9 September 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia tercatat sebagai negara ketiga terbesar angka kasus kusta di dunia. Meski sulit menular, penyakit kusta terus menyebar. Hal itu mencerminkan masih buruknya akses layanan kesehatan dan sanitasi di sejumlah daerah serta kuatnya stigma di masyarakat.

Penemuan kasus kusta secara dini masih menjadi tantangan bagi masyarakat maupun pemerintah dalam memutus rantai penularan kusta. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran dalam menjaga kebersihan serta berbaurnya penderita yang belum diobati menjadi penyebab tingginya angka kusta seperti terlihat di sejumlah kampung yang terisolir di Papua.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Penghuni Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Babat Jerawat, Nurul Hidayah, yang menggunakan kaki palsu, mengambil air di sumur di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (3/9/2019). Liponsos yang dikelola Pemerintah Kota Surabaya diperuntukkan bagi penyandang kusta yang saat ini berjumlah 93 orang. Selain mendapat tempat tinggal, penghuni juga mendapatkan sejumlah pelatihan, makan, dan pemeriksaan kesehatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena kusta di Papua ibarat puncak gunung es. Sejumlah perkampungan di pedalaman Papua menjadi kantung kusta, namun datanya masih terbatas. Survei lapangan oleh peneliti Litbang Kesehatan Papua yang dipimpin Hana Krisnawati, pada 12-17 Agustus 2019 lalu menemukan, kampung-kampung di pedalaman Asmat memiliki prevalensi kusta hingga di ats 50 persen.

Akses menuju daerah pedalaman yang sulit membuat layanan kesehatan terbatas sehingga siklus penularan di dalam kampung terus terjadi. Dua daerah yang telah diidentifikasi memiliki penderita kusta dn terduga kusta sangat tinggi itu adalah Kampung Daikot dan Kampung Somnak di Distrik Joutu. “Dua kampung ini termasuk kantung kusta. Dari survei saya, angkanya bisa sampai di atas 75 persen populasi,” kata Hana.

KOMPAS/AHMAD ARIF–Staf dari Litbang Kesehatan Papua tengah memeriks anak-anak di Kampung Daikot, Distrik Joutu, Kabupaten Asmat, Rabu (14/8). Penderita kusta dan terduga kusta di kampung ini di atas 50 persen. Kompas/Ahmad Arif

Sebagian besar penderita dan terduga kusta di Daikot dan Somnak adalah anak-anak. Banyak di antara mereka sudah mengalami kecacatan di kaki dan tangan. Salah seorang anak berusia 12 tahun dari Kampung Somnak yang baru diidentifikasi positif kusta mengaku tak tahun tentang bahaya penyakit ini.

Kepala Kampung Somnak Tadius Juto (60), menuturkan, penderita kusta hidup berbaur dengan warga lain. Persoalannya, belum semua penderita telah diobati sehingga banyak menularkan penyakit itu ke warga lain, terutama anak-anak.

Kurangnya pemahaman warga tentang gejala kusta turut menyebabkan penanganan penyakit infeksi itu lambat. Abdus Syukur, warga Kabupaten Sampang, misalnya, awalnya mengira terkena penyakit kulit biasa saat bercak putih di tumitnya tak kunjung sembuh pada tahun 2014 dan bertambah banyak serta muncul di berbagai bagian tubuh.

Setelah didiagnosis menderita kusta, ia menjalani terapi kombinasi beberapa jenis obat selama setahun. Namun, ia sempat berhenti mengonsumsi obat karena kulitnya jadi hitam sehingga malu bertemu teman dan tetangganya. Kini, ia dirawat di Rumah Sakit Sumberglagah, Mojokerto, Jawa Timur, karena mengalami reaksi kusta berupa kedua lutut hingga telapaknya membengkak.

“Saat menjalani pengobatan pertama, saya sempat berhenti selama beberapa waktu karena kulit wajah menjadi gosong. Namun hal itu tidak pernah saya sampaikan ke petugas puskesmas. Saat ditanya ya dijawab sudah selesai (pengobatan),” kata pria yang telah menjalani rawat inap selama 26 hari di RS Sumberglagah itu. Sebelum berobat, ia tidak tahu tentang kusta.

Kusta atau lepra disebabkan kuman Mycobacterium leprae dan menyerang berbagai bagian tubuh di antaranya saraf dan kulit. Tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan. Penularan penyakit infeksi kronik itu melalui kontak langsung lama dan berulang dengan penderita, ada lesi (mikroskopis maupun makroskopis), dan lewat pernapasan.

Kepala Komite Medik Rumah Sakit Sitanala Tangerang Prima Kartika Esti mengatakan, masa inkubasi atau jarak infeksi dan gejala kusta 2-5 tahun. Tanda gejala muncul setelah lima tahun seperti bercak putih dan merah di kulit, anggota tubuh kesemutan hingga tak berfungsi. Jika tak ditangani, itu memicu kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata.

Menemukan lebih dini
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2017 menyebut, jumlah penderita kusta di Indonesia 17.441 orang atau berada di posisi ketiga tertinggi dunia setelah India dan Brasil. Dari 34 provinsi di Indonesia, ada 9 provinsi belum mengeliminasi kusta antara lain, Papua, Papua Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Itu berarti prevalensi kusta di wilayah itu belum mencapai 1 per 10.000 penduduk.

Namun jumlah penderita tertinggi ditemukan di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jatim, prevalensi rata-rata penderita kusta sampai Juni 2019 mencapai 0,86 per 10.000 jiwa. Namun ada 10 dari 38 kabupaten dan kota di Jatim yang prevalensi kustanya di atas 1 per 10.000 jiwa antara lain Bangkalan, Pamekasan, Probolinggo, Lumajang, dan Jember.

Kepala Dinas Kesehatan Jatim Kohar Hari Santoso memaparkan, ujung tombak penemuan kasus kusta baru ada di puskesmas. Jumlah kasus baru kusta di Jatim pada 2018 ada 3.307 orang dan 663 puskesmas ada kasus kustanya. Per Juni 2019 sebanyak 1.164 pasien kusta baru dan 703 puskesmas ada kasus kusta. Itu berarti puskesmas yang menemukan pasien kusta bertambah.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, salah satu tantangan memutus penularan kusta di Indonesia adalah menemukan kasusnya secara dini. Selain edukasi kepada warga, pemerintah mendorong petugas kesehatan di puskesmas untuk menemukannya secara cepat melalui Rapid Village Survey.

Puskesmas berperan penting dalam melakukan skrining orang-orang terdekat penderita mulai dari keluarga, tetangga, dan lingkungan sekitar. Meski penularannya tak mudah, kontak fisik antara pembawa kuman dengan orang lain jadi penyebab kusta. “Jika ada bercak di kulit disertai mati rasa, warga mesti segera berobat agar ditindaklanjuti petugas kesehatan,” ujarnya.

Kendala lain adalah ketidakdisiplinan penderita dalam mengonsumsi obat dalam jangka waktu yang ditentukan. Meski jumlah kuman bisa berkurang drastis dengan meminum Multi Drug Therapy (MDT), kuman-kuman itu bisa berkembang dan menular jika terapi tidak dilakukan secara rutin. “Pemerintah sudah menyediakan obat-obatan untuk kusta secara gratis,” katanya.

KOMPAS/NIKSON SINAGA–Penanggung jawab Kusta Dinkes Sumut Akhmad Rivai menunjukkan obat kusta yakni multi drug therapy (MDT), di Medan, Selasa (3/9/2019). Sumut sudah mencapai status eliminasi dengan prevalensi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Namun, temuan kasus baru masih terus muncul.

Dianggap remeh
Menurut Kepala Instalasi Rawat Inap RS Kusta Sitanala, Rabiatun, banyak warga meremehkan gejala kusta. Saat ia bertemu penjual makanan dengan ciri-ciri fisik kusta di halte Transjakarta, ia menyarankan penjual itu periksa ke RS tempatnya bekerja secara gratis. Hingga lebih dari 45 bulan, penjual itu tak datang ke RS. Tanpa terapi, akan ada lebih banyak orang berisiko tertular.

Hal serupa diungkapkan Kepala Bidang Medik RS Kusta dr Sitanala Sarwoko. Dalam sebuah diklat, ia mendapati ada peserta dengan ciri-ciri kusta yakni claw hand (jari-jari keriting) pada dua tangan dan claw toes (jari bengkok) di kaki. Ternyata orang itu belum berobat ke puskesmas maupun RS padahal ia adalah pejabat pemerintah yang mudah mengakses informasi dan terapi.

Deteksi dini oleh warga penting untuk menghindari dampak penyakit lebih parah seperti claw hand, claw toes, hingga kecacatan. Jadi jika ada bercak-bercak tanpa gatal dan nyeri di kulit yang sulit disembuhkan dengan obat dan salep, warga diminta memeriksakan diri. “Tanda lebih lanjut misalnya alis rontok, telinga bengkak, atau cacat di beberapa bagian tubuh,” kata Prima Kartika.

Asisten Penelitian Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia Anis Fitriana mengatakan, pencegahan penularan kusta sulit dilakukan dan belum ditemukan vaksin kusta karena butuh riset jangka panjang. Sebab, perlu riset jangka panjang untuk menghasilkan vaksin itu melibatkan hewan coba Armadillo yang sulit ditemukan.

Anis menyarankan kepada mantan penderita kusta untuk tetap rajin memeriksakan kesehatan demi menghindari penularan kembali. Hal itu juga penting untuk mengecek perkembangan saraf yang sebelumnya sudah rusak akibat kusta. “Untuk menghindari jika ada luka karena pasti penderita tidak merasakannya. Dengan pemeriksaan akan bisa diketahui,” katanya.

Menolak diperiksa
Jika bisa ditemukan dan diobati lebih dini, penderita kusta bisa terhindar dari kecacatan. Namun, ketidaktahuan masyarakat dan kuatnya stigma di masyarakat tentang kusta membuat orang yang terinfeksi kusta menolak memeriksaan diri. Stigma itu membuat penderita bisa dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat, termasuk akses layanan umum dan kesempatan kerja.

Hal itu membuat orang yang pernah terinfeksi kusta kerap dikeluarkan dari keluarga inti supaya keluarganya tetap aman. Padahal, mayoritas penderita kusta merupakan tulang punggung ekonomi keluarga. Di sinilah kemudian masalah itu menjadi meluas ke sektor ekonomi.

Masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah rentan terinfeksi kusta karena sulit memenuhi kebutuhan asupan gizi yang seimbang. Dengan kondisi gizi yang buruk, kekebalan tubuhnya menjadi kurang bagus, sehingga mudah terinfeksi penyakit seperti kusta.

Koordinator Upaya Kesehatan Masyarakat Unit Pelayanan Kusta Rumah Sakit Sumberglagah Dinkes Provinsi Jatim Edy Cahyono menambahkan, masyarakat dengan kondisi ekonomi rendah kurang memperhatikan kesehatan lingkungannya.

Kuman kusta di luar tubuh manusia bisa bertahan hidup 24-48 jam bahkan ada yang berpendapat bertahan 7-9 hari tergantung suhu dan cuaca. Semakin panas cuaca semakin cepat kuman kusta mati. Sinar matahari yang masuk ke dalam rumah bisa menghindarkan adanya tempat-tempat lembab.

Selain sanitasi buruk, penderita kusta banyak ditemukan pada masyarakat yang kesulitan mengakses air bersih. Minimnya akses air bersih menyebabkan masyarakat sulit menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mandi minimal dua kali sehari dan membiasakan mencuci tangan sebelum makan.

Pekerjaan rumah yang harus dikerjakan adalah memberikan informasi dan edukasi yang benar tentang kusta, gejala, dan penanganan. Menghapus stigma negatif tentang kusta dan mengikis diskriminasi pada penderita. Mengajak masyarakat terutama keluarga inti terlibat dalam penatalaksanaan kusta dengan memotivasi penderita dan mengawasi pengobatannya.

Kepatuhan pengobatan bisa memutus rantai penularan dan mencegah resistensi terhadap obat. Hal yang tidak kalah penting diperhatikan menurut Edy yang berpengalaman menangani kusta selama bertahun-tahun adalah pemantauan pascapengobatan. Penderita kusta yang telah menyelesaikan masa pengobatan dengan MDT (Multi Drug Therapy) idealnya diperiksa ulang untuk memastikan kondisinya.

Serologi
Kepala Seksi Upaya Kesehatan Masyarakat dan Penelitian Pengembangan Unit Pelaksana Teknis Layanan Kusta RS Sumberglagah Purwo Atmodjo mengatakan upaya memutus rantai kusta bisa dilakukan dengan serologi. Program ini merupakan metode deteksi dini untuk menemukan penderita kusta subklinis.

Penderita kusta subklinis adalah orang yang berbadan sehat tanpa gejala klinis kusta namun dia tinggal di daerah endemik sehingga resiko tertular tinggi. Penderita kusta subklinis setelah diuji serologi menunjukkan jumlah titer antibodinya mengandung sel kuman kusta dengan kadar tinggi. Titer antibodi kuman kusta (PGL-1) ditemukan lebih dari 2.000 ?/ml.

Penderita kusta subklinis akan diobati agar mereka bebas dari resiko menjadi penderita kusta baru dikemudian hari. Program ini pernah dilaksanakan di Pulau Raas, Kabupaten Sumenep dan Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan.

“Program serologi diharapkan mampu mempercepat eradikasi kusta di Indonesia. Metode pengobatan MDT yang telah diterapkan selama lebih dari 23 tahun belum mampu memutus rantai penularan kusta dan membuat Indonesia bebas kusta,” kata Purwo.

Program serologi yang diberinama KUBERSERI (kusta diberantas dengan serologi) merupakan hasil kerjasama RS Sumberglagah dengan TDC (Tropical Desease Center) Universitas Airlangga sempat masuk dalam Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2016. Namun program itu hanya bertahan lima tahun dan tak berkelanjutan karena kendala pembiayaan.

“Sebenarnya pembiayaan bisa diturunkan dengan penetapan sasaran yang lebih selektif. Caranya dilakukan screning awal terlebih dahulu pada daerah endemik yang beresiko tinggi penularan kustanya. Setelah itu baru dilakukan serologi,” ucap Purwo. (AHMAD ARIF/RUNIK SRI ASTUTI/FAJAR RAMADHAN)

Oleh TIM KOMPAS

Sumber: Kompas, 9 September 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB