Ribuan relawan teknologi dan informasi menjadikan data sebagai basis kebijakan dan melindungi masyarakat di tengah pandemi. Mereka bertarung di tengah rumitnya arus informasi hingga rendahnya literasi digital warga.
Di tengah cepatnya informasi, apalagi saat pandemi, penyusunan data menjadi masalah krusial. Penyusunannya tidak mudah. Salah mendata bisa berakibat manusia kehilangan nyawa. Sejumlah sukarelawan informasi teknologi turun tangan meski secara ekonomi jauh dari potensi yang bisa mereka dapatkan.
Said Fariz Hibban (24) masih sibuk menjawab telepon sejumlah awak media, Kamis (12/8/2021) malam. Pria yang akarab disapa Iban itu menunjukkan amburadulnya data kematian Covid-19, yang tidak lagi digunakan pemerintah sebagai bahan evaluasi penanganan pandemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kalau saja pendataan Covid-19 di negeri ini benar, lidah saya enggak bakal kering menjelaskan soal data kematian. Ntar, saya minum dulu. Haus,” ucap sukarelawan LaporCovid-19, wadah atau platform sesama warga berbagi informasi terkait pandemi.
Sejak virus korona baru merebak di Indonesia pada Mei 2020 lalu, Iban, sapaannya, aktif mendata kasus Covid-19. Awalnya, kurang dari 10 sukarelawan mencatat sekitar 40 kabupaten/kota. Seiring waktu, jumlah sukarelawan mencapai sekitar 200 orang untuk mendata 514 daerah.
”Ini berawal dari kegelisahan kami karena banyak pejabat yang berkelakar, meremehkan pandemi. Pasti ada hal yang enggak terukur,” katanya.
Itu sebabnya, ia dan sukarelawan lainnya mencoba memelototi data. Namun, karena berbagai kesibukan, sukarelawan data tersisa 45 orang yang memantau 126 kabupaten/kota. Meski sukarelawan datang dan pergi, pendataan kasus Covid-19 pemerintah tidak berubah: ada gap antara kabupaten, provinsi, dan pusat.
Berdasarkan data LaporCovid-19, hingga 7 Agustus, terdapat 19.192 kasus kematian yang dicatat pemerintah kabupaten/kota tetapi tidak terdata oleh pemerintah pusat. Padahal, data yang tepat bisa menjadi basis kebijakan penanganan Covid-19.
”Tujuan kami untuk memicu pemerintah memperbaiki data. Tapi, 1,5 tahun ini selalu saja ada konflik data,” ungkap Iban. Beruntung, ia mendapatkan pinjaman laptop dari LaporCovid-19. Setidaknya 2 jam per hari ia mendokumentasikan data Covid-19.
Warga Jakarta Selatan ini sempat absen ketika terpapar virus tak kasatmata itu pada Juni lalu. Tidak hanya letih bukan main, ia juga mengalami sesak napas. Ia pun mengenakan alat bantu oksigen karena saturasinya 80 persen, di bawah angka ideal 95 persen.
KOMPAS/RIZA FATHONI—Tim sukarelawan pelacak kontak pasien Covid-19 menginput data hasil penelusuran lapangan di ruangan kantor mereka di Puskesmas Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (18/3/2021). Tim dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tersebut menelusuri riwayat kontak erat pasien yang telah terkonfirmasi positif untuk memutus mata rantai penularan Covid-19. Kontak erat yang teridentifikasi lantas dihubungi dan diarahkan untuk tes melaksanakan tes usap PCR gratis di puskesmas.
”Wah angka positif nambah lagi. Salah satunya dari saya nih. Apa udah mau mati? Aduh, jangan dong. Kan, aku yang mencatat kasus,” Iban membatin. Ternyata, Sang Pencipta masih memberinya kehidupan.
Kerabatnya sempat mempertanyakan aktivitasnya yang mengurusi data Covid-19. Bahkan, ia bertengkar dengan teman dekatnya yang menganggap Iban terlalu sibuk dan serius soal pandemi.
Sebenarnya, lulusan Meteorologi Institut Teknologi Bandung ini punya empat proyek pekerjaan yang menghasilkan rupiah. Tentu saja sifatnya bukan sukarelawanan. Ia juga termasuk anggota U-Inspire, platform pemuda di bidang sains, teknologi, dan pengurangan risiko bencana. Akan tetapi, Iban tetap ingin mengabdi di LaporCovid-19.
”Ini misi kemanusiaan. Ada value yang dibawa, yakni penanganan pandemi yang baik harus berbasis dari data yang baik. Kalau pendataan pemerintah tuntas, lebih baik saya santai-santai,” ungkapnya.
Berkat dedikasi Iban dan sukarelawan lainnya, LaporCovid-19 meraih Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen 2021. Kanal laporan ini menggunakan pendekatan crowdsourcing yang mengedepankan partisipasi warga dalam pengumpulan informasi.
Literasi digital
Lebih dari setahun berjalan, pandemi Covid-19 tak hanya menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi, tetapi membawa tsunami informasi. Narasi tentang virus korona baru dan dampaknya membanjiri media sosial serta aplikasi pesan setiap hari. Sejumlah orang berjibaku memvalidasinya agar masyarakat tidak tersesat dalam belantara informasi yang rentan membuat pandemi semakin tidak terkendali.
Tugas Adi Syafitrah (31) sebagai pemeriksa fakta sekaligus sukarelawan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Solo Raya lebih melelahkan selama pandemi. Sekuel kabar bohong atau hoaks terkait Covid-19 tak kunjung tamat.
Kondisi ini menguras tenaga dan pikiran. Setiap hari ia memantau informasi yang berseliweran di media sosial. Terkadang, hoaks mampir ke telepon pintarnya yang dibagikan di grup aplikasi pesan.
”Hoaks mengenai Covid-19 terus berkembang. Ketika satu isu diverifikasi, muncul banyak informasi bohong lainnya,” ujarnya saat dihubungi dari Bandung, Jumat (13/8).
Di awal pandemi Maret 2020, misalnya, terpantau hoaks dari sebuah akun Facebook yang mengunggah foto Presiden Joko Widodo disertai dengan tulisan, ”Corona mudah diatasi jika saya jadi Presiden China. Camkan itu”. Sementara, saat vaksinasi Covid-19 mulai dilakukan awal 2021, muncul hoaks yang menyebutkan vaksin mengandung mikrocip.
Informasi keliru itu menjadi makanan Adi sehari-hari untuk dicek kebenarannya. Hasil verifikasinya disebar ke situs web dan akun media sosial Mafindo serta sejumlah portal berita yang tergabung dalam Cekfakta, kolaborasi media dalam pengecekan fakta.
Selain melalui penelusuran sendiri, Adi dan rekan-rekannya di Mafindo juga sering menerima laporan terkait hoaks dari warga. Laporan tersebut kemudian dipilah dan dianalisis.
Hasil verifikasi ditulis dalam sebuah artikel. Isinya mencantumkan sumber hoaks, narasi yang dibagikan, dan fakta klarifikasinya. ”Untuk memverifikasi, biasanya mencari dari portal berita tepercaya. Jika hoaks menyertakan foto figur tertentu, bisa juga dicek di akun media sosial resmi,” jelasnya.
Adi menuturkan, pemeriksa fakta terkait Covid-19 tak hanya memerlukan validasi informasi, tetapi juga kecepatan untuk menyebarkannya. Terutama jika hoaks menyangkut hal krusial yang berdampak kepada masyarakat luas.
Pertengahan Juli lalu, misalnya, Adi menerima laporan informasi tentang lima orang yang masih satu keluarga meninggal bersamaan setelah disuntik vaksin Covid-19 di Probolinggo, Jawa Timur. Narasi itu dilengkapi foto lima keranda berjejer di dalam masjid.
Kabar tersebut dengan cepat menyebar di medsos dan grup aplikasi pesan. Adi bergegas mencari kebenaran kabar itu dengan menelusuri sejumlah portal berita. Menurut dia, informasi tersebut harus segera diverifikasi karena dapat menghasut masyarakat di tengah vaksinasi yang sedang berjalan.
”Saya menemukan keterangan aparat pemerintahan setempat dari portal media lokal. Ternyata lima orang itu bukan satu keluarga, bahkan beda desa. Namun, kelima jenazah memang dishalatkan di satu masjid. Mereka meninggal karena penyakit berbeda, bukan karena vaksin,” jelasnya.
Lima tahun bergabung dengan Mafindo, 1,5 tahun terakhir menjadi masa paling berat. Sebab, gelontoran berita bohong tak pernah ada habisnya. Namun, ia tak mengeluh.
Bagi Adi, hoaks di saat pandemi tidak kalah bahayanya dengan virus korona. Kabar bohong berpotensi memprovokasi masyarakat sehingga menambah beban penanganan pandemi.
Selain sebagai pemeriksa fakta, ia juga menjadi sukarelawan dalam mengedukasi warga di Solo Raya agar tidak terpengaruh hoaks. Edukasi dilakukan secara daring untuk meminimalkan kontak fisik demi mencegah penularan Covid-19.
Hoaks tentang Covid-19 yang berlarut-larut bukannya menyurutkan semangat Adi. Bapak dua anak itu justru semakin bergairah untuk mengecek peredaran informasi setiap hari di medsos yang belum teruji kebenarannya.
Semangat itu mendorongnya mendaftar kuliah jurusan ilmu komunikasi di Universitas Terbuka bulan lalu. ”Saya masih perlu belajar bagaimana informasi yang sudah diverifikasi bisa dikomunikasikan dengan bahasa ringan sehingga mudah dipahami. Ini yang ingin dipelajari saat kuliah,” ujarnya.
Bencana teknologi
Tidak hanya di lembaga swadaya masyarakat, ada juga sukarelawan yang memilih meringankan tugas pemerintah mendata saat pandemi. Di Kota Cirebon, Jawa Barat, Relawan Teknologi Informatika dan Komuniasi (RTIK) juga berada di belakang layar pendataan Covid-19. Mereka menyajikan data dari dinas kesehatan dengan desain yang ramah audiens. Data itu dipublikasikan rutin di https://covid19.cirebonkota.go.id/ dan Instagram @pemdakotacrb.
Muhammad Arifin (32), Ketua RTIK Kota Cirebon yang baru demisioner, mengatakan, sekitar 50 RTIK bertugas membantu pemkot dalam digitalisasi dan pendataan, termasuk Covid-19. ”Bahkan, pandemi ini tugasnya semakin berat karena masyarakat beralih ke digital, mulai dari belanja hingga sekolah,” ungkapnya.
Tahun lalu, misalnya, pihaknya membuat tes berbasis aplikasi di http://covid19.rtikcirebonkota.id/ yang bisa mendeteksi seberapa rentan orang terpapar virus korona baru. Laman itu juga langsung terhubung dengan https://covid19.go.id/ milik pemerintah pusat.
RTIK juga membentuk Cirebon Saber Hoaks yang mengidentifikasi kabar bohong di wilayah Cirebon. Mulai dari razia kendaraan yang tak benar hingga informasi penutupan IGD RSD Gunung Jati tanpa batas waktu. ”Kami juga terhubung dengan Jabar Saber Hoaks,” ujarnya.
Vaksinasi Covid-19 pun tak lepas dari campur tangan relawan RTIK. Mereka membuat laman pendaftaran vaksin bagi masyarakat umum. Pihaknya juga tengah berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar untuk pendataan vaksinasi bulan ini.
Di tengah kesibukan itu, para sukarelawan yang tak digaji layaknya pegawai negeri sipil ini juga rentan terpapar. Apalagi, mereka sempat ke pasar untuk membantu digitalisasi ke pedagang.
”Ada tujuh sampai delapan orang yang sudah kena (Covid-19). Ada juga yang ibunya meninggal,” kata Arifin yang baru mendapatkan vaksin dosis pertama pekan lalu.
Sebenarnya, Arifin bisa saja fokus dengan usahanya sebagai programmer yang menghasilkan cuan. Keahliannya bisa untuk membangun web hingga pemasaran digital. Kamis lalu aja, ia diminta bertemu dengan seorang pengusaha dan orang dinas pendidikan untuk membicarakan teknologi informasi. Akan tetapi, bapak satu anak ini tetap ingin menjadi relawan TIK.
”Walaupun enggak ada gajinya, ini terkait dengan usaha mencerdaskan masyarakat soal TI. Teknologi itu juga bencana kalau tidak dibarengi literasi penggunaannya. Misalnya, ada pinjaman online atau pencurian data,” ungkapnya.
—-Tangkapan layar urundayacovid.com
Hidupkan empati
Pilihan Arifin itu bisa jadi tidak biasa bagi banyak orang. Namun, tidak salah apabila menjadi sukrelawan itu melatih kepekaan dan empati.
Faiz Ghifari (26), warga Surakarta, Jawa Tengah, misalnya. Jadi sukarelawan dalam beberapa bulan terakhir, dia melihat banyaknya anak yatim piatu baru sebagai akibat dari pandemi. Karena itu, dia bersama sukarelawan lainnya dari wargabantuwarga.com membangun layanan teranyar lewat situs kawalmasadepan.com di awal Agustus 2021.
”Berdasarkan data KawalCOVID19 pada Juli 2021, lebih dari 50.000 anak menjadi yatim piatu karena pandemi. Situs ini menjadi penghubung para donatur yang ingin menyantuni anak-anak,” ujarnya pada Jumat (13/8/2021). Hingga Jumat malam, tercatat ada 15.036 donasi sebesar Rp 1,1 miliar yang tercatat di laman kitabisa.com.
Keikutsertaannya dalam kesukarelawanan saat pandemi bermula awal Juli 2021. Faiz melihat begitu banyak informasi terkait Covid-19 di media sosial.
”Ada yang bertanya kontak oksigen, donor plasma, dan ambulans. Tapi ada juga yang membagikan kontak hotline sampai jadwal vaksinasi. Semua beredar acak sehingga saya merasa perlu adanya simpul informasi. Karena itu, saya merancang situs urundayacovid.com,” ujarnya
Faiz mengakui, bermodal nekat saat membuat situs itu. Dia tidak memiliki kemampuan mumpuni di bidang teknologi informasi. ”Saya lulusan teknik industri, tidak punya dasar ilmu TI, cuma bisa membuat situs,” ujar dia.
Situs itu berisi lebih dari 3.000 informasi yang berhubungan dengan penanganan pandemi, mulai dari jadwal vaksinasi instansi, kontak-kontak penting, seperti saluran siaga (hotline) rumah sakit dan ambulans serta penyedia oksigen. Bahkan, edukasi terkait kesehatan dan pemulihan pasca-terpapar Covid-19.
Usahanya berbuah baik. Belum genap sebulan berjalan, urundayacovid.id telah diakses lebih dari 200.000 pengguna. Pengunjung hariannya mencapai lebih dari 1.000 pengguna internet per hari.
Akan tetapi, tantangan tidak berhenti begitu saja. Akhir Juli 2021, kasus Covid-19 melonjak tinggi. Ada varian Delta yang menyebabkan penularan di Indonesia begitu tinggi. Keriuhan kasus itu menjalar pada sajian arus informasi semakin deras.
Hal itu juga yang membuatnya tidak segan bergabung dengan ribuan relawan wargabantuwarga.com. Di situs ini, Faiz mengatakan, informasi lebih interaktif karena menyediakan layanan aplikasi pesan Whatsapp. Informasi mengenai tempat pembelian oksigen, layanan ambulans, donor plasma, hingga bantuan sembako bisa diakses di sana.
”Ada lebih dari 6.000 sukarelawan yang ikut wargabantuwarga.com, mulai dari bagian TI, input data dan update, hingga layanan pesan. Dulu saat kasus masih tinggi, yang chat bisa 200-300 orang per hari. Sekarang sudah mulai berkurang, hanya puluhan orang per hari. Kami hanya ingin mencoba membantu masyarakat. Semua orang bisa membantu dengan cara dan kemampuan terbaiknya,” katanya.
Ribuan sukarelawan teknologi dan informasi berupaya menjadikan data sebagai basis kebijakan dan melindungi masyarakat di tengah pandemi. Mereka mencurahkan tenaga dan waktu demi mengurusi hal mendasar yang harusnya diselesaikan pemerintah.
Oleh ABDULLAH FIKRI ASHRI/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/TATANG MULYANA SINAGA
Editor: CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2021