Soekirman pernah hampir kehilangan jabatan deputi di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional gara-gara menentang program pemberian susu. Namun, argumentasi berbasis kajiannya terbukti tidak terbantahkan, bahkan oleh Presiden Soeharto. Ini bagian dari perjuangan panjangnya untuk memenuhi gizi rakyat Tanah Air sesuai kaidah ilmiah.
Soekirman adalah Guru Besar Emeritus, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat. Berusia 80 tahun, lelaki itu bersemangat dan aktif bekerja. Itu terlihat saat Kompas mengunjunginya di sebuah rumah di Jakarta Selatan, pertengahan Oktober lalu.
Di lantai dua rumah itu, puluhan bungkus minyak goreng rupa-rupa merek berdiri di meja. Dua perempuan mengambil sedikit minyak dari setiap bungkus dengan suntikan, dan seorang perempuan lain mencatat di komputer jinjing. Mereka menguji ada tidaknya kandungan vitamin A pada minyak goreng itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penambahan vitamin A pada minyak goreng adalah salah satu bentuk fortifikasi pangan yang diadvokasi Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI). Soekirman adalah pendiri KFI. Rumah itu adalah kediamannya sekaligus kantor yayasan. “Maaf, maaf, berantakan,” ucapnya terkait kemasan minyak goreng yang memenuhi mejanya.
Soekirman mendirikan KFI pada 2002, 16 tahun setelah pensiun dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Itu ia lakukan demi melanjutkan 50 tahun perjuangannya di bidang gizi. Sejak masih staf biasa di Bappenas, dia telah memikat Ketua Bappenas saat itu, Widjojo Nitisastro, untuk memasukkan gizi dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III-VI (1983-1999).
Bagi Soekirman, slogan empat sehat lima sempurna (4S5S) sudah tidak relevan lagi karena belum tentu mencukupi jumlah zat gizi makro dan mikro yang dibutuhkan tubuh. Tubuh perlu gizi seimbang antara asupan gizi serta faktor lain, seperti keanekaragaman jenis pangan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Selaras dengan itu, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang.
“Saya rutin renang dua kali seminggu,” ujarnya. Ia sendiri menerapkan kegiatan fisik sebagai bagian dari prinsip gizi seimbang.
Produktif
Soekirman gemas pada fortifikasi minyak goreng kelapa sawit dengan vitamin A yang tidak kunjung diwajibkan pemerintah. Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) fortifikasi minyak goreng sawit dengan vitamin A sedianya wajib mulai Maret 2015, tetapi diundur Maret 2016. “Berkat” deregulasi dalam paket kebijakan ekonomi tahap I, kewajiban penerapan kembali diundur lagi, kali ini menjadi Desember 2018.
Fortifikasi perlu untuk membantu memenuhi gizi rakyat miskin. Mereka biasanya membeli beras, garam, mi instan, dan minyak goreng curah. Mereka kurang memperhatikan kecukupan gizi untuk kesehatan jiwa dan raga. Ini disebut “kelaparan tak kentara”.
Untuk mengatasinya, pemerintah perlu menitipkan zat-zat gizi tambahan pada proses produksi bahan pangan yang mampu dibeli warga miskin. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng, misalnya, hanya butuh Rp 50 per liter.
Soekirman bersyukur, fortifikasi beberapa bahan pangan sudah berjalan, seperti iodium pada garam, serta zat besi, zat seng, asam folat, vitamin B1, dan vitamin B2 pada tepung terigu (bahan baku mi).
Kawah candradimuka
Ayah Soekirman adalah seorang buruh tani yang meninggal ketika Soekirman berusia 5 tahun. Ibunya berjualan kue untuk menyambung hidup. Meski buta huruf, sang ibu mendorong anaknya sekolah. “Jika tidak pergi sekolah, saya tidak boleh ikut bantu Ibu berjualan,” kenangnya.
Soekirman remaja bercita-cita menjadi dokter. Lulus SMA tahun 1956, ia mencari beasiswa dengan mendaftar menjadi anggota TNI Angkatan Darat. Namun, ia gagal karena terjatuh saat ujian lompat dari truk yang berjalan.
Soekirman lantas masuk Sekolah Ahli Diet (sekarang Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II) di Jakarta dan kemudian pindah ke Bogor. Ia mendapat beasiswa. Lulus tahun 1960, ia ditugaskan sebagai ahli gizi di Aceh.
Provinsi itu jadi kawah candradimuka yang menempanya. Agar pengetahuan gizi menyebar luas dan cepat, ia menulis artikel di satu-satunya koran di Banda Aceh, Pantja Tjita. Tulisan-tulisan itu membuat Dinas Penerangan (Radio Republik Indonesia) di Aceh meminta Soekirman berbicara dalam siaran setiap pekan.
Di Aceh pula, ia menulis buku pertamanya tahun 1962, Dasar Pokok Ilmu Gizi. Karya ini menjadi buku ajar ilmu gizi untuk sekolah keperawatan dan kebidanan di Banda Aceh dan Medan, Sumatera Utara.
Tahun 1965, Soekirman ditarik ke Jakarta untuk mengajar di Akademi Gizi, sambil meneruskan kuliah untuk gelar sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI). Ia juga terlibat sebagai peneliti yunior pada riset tentang dampak kurang anemia pada pekerja, kerja sama Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat dengan Depkes dan Akademi Gizi.
Soekirman lantas mendapat bea-siswa studi magister gizi pembangunan di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1973-1974. Tesisnya, “Priorities in Dealing with Nutrition Problems in Indonesia”, diterbitkan dalam bentuk Monograph Series. Karya itu dibaca pejabat Bappenas. Sejak 1975, ia diangkat menjadi staf perencana Bappenas yang dipimpin Widjojo Nitisastro.
Soekirman kembali ke Cornell untuk meraih gelar doktor tahun 1983. Sembari studi, ia diangkat sebagai Kepala Bidang Kesehatan dan Gizi Bappenas. Kata gizi di jabatan ini merupakan desakan dari Soekirman. Pada 1988, ia menjadi Deputi Bidang Sosial Budaya dan tahun 1993-1997 sebagai Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Meski menjadi pejabat, Soekirman termasuk keras kepala demi membela kebijakan pemenuhan gizi yang tepat. Suatu ketika, saat Bappenas dipimpin Ginandjar Kartasasmita, Persatuan Istri Menteri mendorong susu masuk program makanan anak sekolah. Presiden Soeharto juga memerintahkan hal itu kepada Ginandjar.
Ginandjar minta Soekirman dan tim mengkaji program itu. Soekirman menegaskan, susu tidak realistis dan tidak mutlak ada dalam program pemenuhan gizi. Harga susu mahal dan tergantung impor. Susu malah bisa memicu diare jika kebersihan air dan lingkungan tidak terjamin. Selain itu, susu perlu yang rendah laktosa guna mencegah diare akibat intoleransi laktosa.
Soekirman merekomendasikan pangan lokal untuk makanan anak sekolah. Ia dimusuhi banyak pihak. “Kami profesional. Kalau karena ini saya dipecat, pecat saja,” ujarnya. Ternyata, Soeharto menyetujui pandangannya.
Pengalaman itu kian memantapkan hati Soekirman untuk terus berjuang di jalan pemenuhan gizi sampai sekarang ini.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Soekirman
Lahir: Bojonegoro, 2 Agustus 1936u
Istri: Sri Wahyu Soekirman (78)
Pendidikan:
– PhD dari Universitas Cornell, AS (1983)
– Master of Professional Studies Bidang International Nutrition, dari Universitas Cornell (1973)
– Sarjana Kesehatan Masyarakat, FKM UI (1969)- Bachelor of Science, Akademi Gizi Kementerian Kesehatan, Bogor (1960)
Pekerjaan sekarang:
– Direktur Eksekutif Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI)
– Guru Besar Emeritus, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor
Riwayat karier:
– Kepala Bidang Kesehatan dan Gizi Bappenas (1983-1988)
– Deputi Menteri Bappenas Bidang Sosial Budaya (1988-1993)
– Deputi Menteri Bappenas Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (1993-1997)
J GALUH BIMANTARA
———-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 November 2016, di halaman 16 dengan judul “Berjuang Memenuhi Gizi Rakyat”.