Penetapan kuota penerimaan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2016 berdasarkan akreditasi memacu semangat sejumlah SMA untuk memperbaiki mutu pembelajaran, terutama sekolah swasta.
Paling tidak, hal itu ditunjukkan oleh SMA yang berakreditasi B (baik) dengan harapan kelak akreditasinya naik jadi A (sangat baik). Sementara yang berakreditasi A bertekad mempertahankan prestasinya.
Kepala SMA Dian Persada, Jakarta Timur, Heru Prasetyo menuturkan, pihaknya kini berbenah secara bertahap agar akreditasi B yang disandangnya sejak 2014 bisa naik menjadi A. Sejumlah upaya dilakukan secara bertahap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Misalnya, membenahi laboratorium komputer. Jumlah komputer ditambah dari 10 unit menjadi 15 unit. Pada 2015, dua proyektor pun melengkapi perpustakaan.
“Kami juga berencana membangun ruang multimedia agar siswa memanfaatkan teknologi dalam proses belajar-mengajar,” ujarnya, Rabu (16/3).
Sri Suharti, Koordinator Guru Bimbingan Konseling SMA Dian Persada, menambahkan, SMA yang telah berdiri sejak 1989 tersebut memiliki nilai akhir 72 yang berarti terakreditasi B. Sekolah terkendala minimnya sarana penunjang proses belajar- mengajar. Misalnya, belum ada laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). “Padahal, ada satu atau dua siswa yang tertarik masuk IPA. Akhirnya kami arahkan siswa itu ke jurusan IPS,” ujar Sri.
Semangat berbenah juga ditampakkan SMA Padindi, Jakarta Barat. Wakil kepala SMA tersebut, Yulianti, bertekad meningkatkan kinerja agar akreditasinya naik dari B ke A.
Tantangan utama yang dihadapi adalah minimnya ruang belajar dan sarana penunjang serta terbatasnya tenaga pengajar.
SMA yang berdiri pada 2003 ini belum punya laboratorium. Guru yang berjumlah 11 orang pun tak memadai untuk menangani kegiatan ekstrakurikuler.
Umumnya, sekolah kewalahan memperbaiki akreditasi karena faktor sarana dan tenaga pendidik. Berdasarkan laman Badan Akreditasi Nasional (BAN) Sekolah/Madrasah, ada delapan komponen yang menjadi pertimbangan penilaian akreditasi terhadap suatu sekolah. Komponen tersebut, antara lain, meliputi standar isi, proses, kompetensi, pendidik, sarana, pengelolaan, dan biaya. Penilaian dilakukan setiap lima tahun sekali.
Pertahankan akreditasi
Secara terpisah, Dwi Priyo Eko S, Wakil Kepala SMA Negeri 50, Jakarta Timur, berujar, walau sekolah asuhannya memiliki nilai akhir 93,03 dan terakreditasi A, pihaknya tidak tinggal diam. Sejumlah upaya ditempuh agar akreditasinya tak melorot.
Dwi mengatakan, sumber daya manusia di sekolah tersebut diwajibkan mengikuti pelatihan setiap bulan. Pelatihan yang ditawarkan berupa bimbingan teknik mengajar dan bimbingan mental.
Upaya mempertahankan akreditasi A juga diutarakan Wakil Kepala SMA Negeri 111 Jakarta Utara Endang Edyantini. Ia menjelaskan, sekolah mereka masih kekurangan laboratorium untuk program IPS. Keterbatasan lahan pun menyebabkan mereka tidak bisa memperbaiki kekurangan tersebut lebih jauh.
Salah satu upaya tersebut adalah meningkatkan kualifikasi pendidikan guru. Tahun ini, lima dari 36 guru di SMA tersebut tengah menempuh program magister.
Faktor kuota SNMPTN
Akreditasi menjadi obsesi bagi SMA karena hal itu menentukan peluang dan jumlah siswa yang lolos masuk perguruan tinggi favorit. SNMPTN yang merupakan jalur undangan bagi siswa SMA mematok kuota berdasarkan akreditasi. Tahun ini, panitia SNMPTN mematok kuota 75 persen murid terbaik di sekolah terakreditasi A.
Kuota 50 persen diberikan kepada sekolah yang berakreditasi B. Adapun kuota 20 persen diberikan kepada sekolah berakreditasi C. Sementara sekolah yang berakreditasi lainnya memiliki kuota 10 persen. (C02/C04)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Maret 2016, di halaman 12 dengan judul “SNMPTN Pacu Sekolah Berbenah”.