Mulai tahun 2018, penyelenggaraan ujian sekolah berstandar nasional diberlakukan pada semua jenjang dari SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat. Para siswa kelas akhir akan disuguhi soal kombinasi dari pemerintah pusat dan guru di daerah masing-masing.
Sebagian soal berformat uraian, tidak melulu pilihan ganda seperti yang berlaku selama ini.
Penyelenggaraan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) ini sebagai upaya memberdayakan guru dalam menjalankan salah satu tugas, yakni mengevaluasi siswa. Pemerintah pusat tetap memiliki peta terhadap kemampuan guru membuat soal dan pencapaian kompetensi siswa secara nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Rabu (10/1), mengatakan, penyelenggaraan USBN sudah dikenalkan pada 2017 untuk tingkat SMP dan SMA/SMK sederajat. Mulai tahun ini, diberlakukan pula pada tingkat SD.
Berarti, di tingkat SMP dan SMA/SMK sederajat, siswa kelas akhir menjalani ujian nasional (UN) yang soalnya sepenuhnya dibuat oleh pemerintah pusat. Selain itu, siswa SMA/SMK menjalani USBN untuk semua mata pelajaran di luar UN. Pelaksanaan USBN diserahkan ke sekolah, bisa sebelum atau sesudah UN.
Di tingkat SD, siswa menjalani USBN untuk tiga mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selain itu, ujian sekolah untuk mata pelajaran lainnya.
”Lewat penyelenggaraan USBN, pemerintah ingin memberdayakan guru dalam pembuatan soal dan evaluasi. Dengan demikian, guru dapat memastikan siswa mencapai kompetensi lulusan yang diharapkan,” kata Muhadjir.
Menurut dia, penilaian siswa merupakan wewenang guru/sekolah. Dengan meningkatkan mutu USBN, memberi ruang yang besar pada otonomi guru dalam menilai siswa.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengatakan, selama ini, umumnya ujian yang dihadapi siswa berbentuk pilihan berganda. Akibatnya, siswa cenderung spekulatif dengan menebak-nebak jawaban yang benar.
”Di USBN, kami minta guru membuat soal esai atau uraian. Porsinya 10 persen dari keseluruhan soal. Pembiasaan mengerjakan ujian esai diharapkan bantu siswa terbiasa bernalar dan berargumentasi,” katanya.
Totok menyadari kondisi guru yang tergabung dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk tingkat SD serta Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk tingkat SMP/SMA/SMK beragam. Untuk itu, pemerintah pusat menyiapkan kisi-kisi soal sebagai panduan bagi guru di daerah dalam merakit soal. Para guru yang dikoordinasi pemerintah daerah merakit 75-80 persen soal, sedangkan pemerintah pusat menyiapkan 20-25 persen soal. Adapun soal esai disiapkan oleh guru di daerah.
Menurut Totok, dengan melibatkan guru dalam pembuatan soal-soal USBN, sekaligus sebagai pemetaan terhadap kemampuan guru merakit soal yang bermutu. Sejak tahun lalu, para guru dilatih membuat soal-soal ujian yang bermutu. Kemampuan evaluasi guru dipetakan dan dilatih.
”Selama ini, guru tidak terbiasa untuk membuat soal-soal ujian yang bermutu untuk mengukur capaian pendidikan. Hal ini karena soal-soal selalu datang dari pemerintah pusat. Kami harus memperbaiki kondisi ini dengan memberdayakan guru dalam mengevaluasi siswa,” ujar Totok.
SD pun dapat soal esai
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud Hamid Muhammad mengatakan, pelaksanaan USBN di tingkat SD sebenarnya tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya.
Sejak 2008, siswa SD menjalani ujian akhir yang soalnya dibuat pemerintah daerah dan pusat. Pada 2008-2013 dinamakan ujian akhir sekolah berstandar nasional, lalu diubah jadi ujian sekolah/madrasah. Mulai tahun 2018, namanya menjadi USBN. Untuk pertama kalinya, siswa SD diperkenalkan dengan soal uraian di USBN perdana ini.
Pada Februari 2018, para guru yang tergabung dalam KKG dan MGMP di setiap kabupaten/kota membuat soal-soal USBN. Penyusunan soal yang terstandar sudah diperkenalkan kepada guru dalam pelatihan sejak tahun lalu.
Hamid mengatakan, anggaran USBN sudah dialokasikan dalam bantuan operasional sekolah (BOS). ”Kami akan pastikan agar pencairan dana BOS tidak terlambat lagi supaya jangan menghambat penyelenggaraan USBN di sekolah,” katanya.
Sementara itu, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan Bambang Suryadi mengatakan, sejak 2015, UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan. Dengan demikian, USBN menjadi sangat strategis untuk menentukan kelulusan siswa, selain syarat lainnya, seperti menuntaskan semua pembelajaran dan mendapat nilai minimal baik untuk pendidikan karakter.
”ÜSBN ini dinilai oleh satuan pendidikan (sekolah). Para guru harus memastikan siswa menguasai kompetensi sesuai jenjang,” kata Bambang,
Secara terpisah, pendiri Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Najelaa Shihab, mengatakan, penyelenggaraan USBN harus jelas fungsinya, apakah sebagai alat ukur atau untuk hal lain. Selain itu, penggunaan data USBN untuk kepentingan siswa, guru, sekolah, ataupun daerah bentuknya seperti apa.
”USBN cenderung heboh tentang penyelenggaraannya. Namun, tujuan kenapa kita harus melakukan USBN dan seberapa besar pemanfaatannya sering luput dari perhatian,” ujar Najelaa, yang juga pendiri Sekolah Cikal.
Menurut dia, perlu ada kajian mengenai evaluasi secara keseluruhan. Sebab, metode yang dipakai untuk setiap jenjang itu sama. Misalnya, ujian berstandar nasional pada SD, SMP, dan SMA/ SMK. Padahal, dari tahap perkembangan di setiap jenjang, format itu tepat belum tentu tepat. (ELN)
Sumber: Kompas, 11 Januari 2018