Peneliti Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengembangkan sistem peringatan dini (EWS) bencana tanah longsor berdasarkan ambang batas hujan yang dinamai Sipendil. Sipendil telah dipasang di lebih dari 40 titik di daerah Temanggung, Wonosobo, dan Banjarnegara yang masuk ke dalam wilayah rawan longsor.
Sistem yang dikembangkan oleh dosen Departemen Geografi Lingkungan Nugroho Christanto dan M Anggri Setiawan, bersama dengan Sulkhan Nurrohman, alumnus Fakultas Geografi UGM, ini sederhana dan mudah dioperasikan. Alat ini dikembangkan menggunakan komponen sederhana yang mudah diperoleh di toko elektronik dan bahan bangunan.
Alat ini tersusun atas dua komponen utama, yakni pipa penampung air hujan dan box controller. Pada box controller terdapat sejumlah komponen seperti kran pelimpah, lampu LED, threshold controller, dan power.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
DOKUMENTASI/HUMAS UGM–Nugroho Christanto, Ketua Tim Peneliti Fakultas Geografi UGM
“Ide pembuatan alat ini pada 2013 lalu atas permintaan masyarakat Sitieng, Kejajar, Wonosobo yang merasa khawatir akan ancaman tanah longsor,”ungkap Ketua tim peneliti, Nugroho Christanto, Jum’at (18/5/2018), di Kantor Humas UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam rilis Humas UGM yang diterima Kompas.
Ide pembuatan Sipendil pada 2013 atas permintaan masyarakat Sitieng, Kejajar, Wonosobo yang merasa khawatir akan ancaman tanah longsor.
Dalam penggunaan sistem peringatan dini ini, kata Nugroho, pengguna seyogianya selalu mengosongkan tabung setiap hari di pagi hari dengan membuka kran pelimpah dan mencatat volume air yang tertampung. Catatan ini akan bermanfaat sebagai penentu nilai ambang batas hujan untuk longsor.
Pengaturan nilai ambang batas hujan dilakukan melalui threshold controller. Sipendil dapat diset pada ambang batas 55, 60, 65, 70, 75, dan 80 milimeter.
Sederhana
Cara kerja sistem peringatan dini longsor ini sederhana dan mudah dipahami. Peringatan dini tanah longsor bekerja berdasarkan ambang batas hujan. Apabila curah hujan yang tertampung pada tabung penampungan melewati ambang batas, maka alarm atau sirine berbunyi memberikan peringatan pada warga setempat.
“Sistem peringatan dini longsor ini juga dilengkapi dengan lampu LED yang akan menyala saat curah hujan melebihi ambang batas sehingga masyarakat dengan gangguan pendengaran tetap bisa mengetahui jika bahwa alarm berbunyi,” tambahnya
DOKUMENTASI/HUMAS UGM–Nugroho menjelaskan cara kerja Sipendil
Nugroho menjelaskan dalam membangun sistem peringatan dini tanah longsor ini juga diperlukan dukungan data histori kejadian longsor dan data curah hujan yang pernah terjadi. Dari data tersebut akan diperoleh korealsi antara curah hujan dan longsor sebagai dasar penentu ambang batas kemampuan tanah untuk merespon curah hujan maksimal.
“Setiap wilayah akan memiliki ambang batas yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik lahannya seperti tebal tanah, tipe tanah dan kemiringannya,”terangnya.
Alat ukur curah hujan, dikatakan Nugroho dapat dikembangan dengan alat sederhana dan mudah diperoleh di lingkungan sekitar. Misalnya saja dibuat dengan menggunakan botol air mineral, pipa pralon pvc, corong minyak plastik dan lainnya.
Sipendil saat ini telah diproduksi secara massal dan dipasarkan dengan harga Rp 1,5 juta per unit. Selain menerima pesanan pembuatan sistem peringatan deteksi dini longsor, Nugroho dan tim juga membuka layanan bagi masyarakat yang menginginkan bimbingan dalam pengembangan alat ini.
“Harapannya masyarakat dapat mengembangkan sendiri sistem peringatan dini ini,”tuturnya.
YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 19 Mei 2018
—
Kurnia Ekaptiningrum
Public Relations and Protocol, Universitas Gadjah Mada
UGM Main Building, 1st Floor, South Wing, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Indonesia
T: +62 274 649 1936 F: +62 274 649 1936
Website: http://ugm.ac.id/