Sang penjelajah jagat raya itu telah pergi di jalan bersama anak-anak manusia. Dunia yang mengagumi pemikirannya, yang hanya dipahami oleh segelintir fisikawan teoretis, turut kehilangan salah seorang tokoh mitologisnya.
Riwayat Stephen William Hawking yang memancing kekaguman sebenarnya juga menyimpan tragedi di mata mereka yang mengetahui hidup pribadinya. Ilmuwan yang telah melegenda ini menyimpan luka kehidupan keluarga yang mengenaskan. Hanya keangkuhan seorang ternama yang tampaknya mampu menutupi semuanya sehingga tanda-tanda penganiayaan pada tubuhnya tidak diproses tuntas sebagai kemungkinan kasus KDRT, kekerasan dalam rumah tangga.
Hawking niscaya ilmuwan brilian, tetapi tanpa ketangguhannya menghadapi penyakit ALS (amyotrophic lateral sclerosis) yang melumpuhkan tubuhnya, boleh jadi ia tidak akan menjulang di gemunung popularitas. Ia adalah sebuah mitos yang dibutuhkan dunia masa kini, yang memuja sains sebagai ilah baru. Kepergiannya meninggalkan ”ruang imajinasi mitologis” yang tak mudah diisi oleh kolega-koleganya yang tak kalah briliannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melek batin
Di luar dugaan banyak orang, ilmuwan secemerlang Hawking ternyata adalah pemikir yang tidak terkurung dalam menara gading penelitiannya yang superteoretis. Walau tidak percaya kepada Tuhan, kecuali barangkali sebagai suatu konstanta matematis dalam pencariannya akan jejak-jejak awal semesta, Hawking tetaplah figur humanis yang melek batin untuk melihat dampak-dampak yang ditimbulkan karya anak-anak manusia demi impian egosentris akan kenyamanan dan kedigdayaan.
Ketika perang di Irak meletus (2004), misalnya, Hawking mengecam invasi yang mengatasnamakan kepentingan ”luhur” untuk memberantas senjata pemusnah massal. Ia ikut berbelasungkawa atas jatuhnya korban- korban tak bersalah.
Siapa yang menyangka bahwa demi mendukung perjuangan Palestina ia pernah menolak undangan untuk hadir dalam satu konferensi di Universitas Ibrani, Jerusalem (2013)?
Kebebasan ilmiah
Kepeduliannya tak hanya berwujud kata-kata di atas kertas. Hawking mendukung kebebasan ilmiah yang tidak terpasung oleh sebentuk rasisme dan menggalang dana bagi pendidikan anak-anak Palestina. Belum lama berselang, ia mengecam gerakan Brexit yang diyakininya akan mencederai negara sendiri dalam kepentingan lintas-batas penelitian.
Jika dunia kita kian memuja efisiensi dan produktivitas yang dihasilkan teknologi, Hawking mengakui manfaatnya tanpa menutup mata pada dampak- dampaknya yang amat destruktif. Akselerasi teknologi canggih semisal kecerdasan artifisial, internet, dan teknologi digital dilihatnya sebagai jalan pasti menuju tragedi kemanusiaan bila tak diantisipasi dengan visi dan strategi yang lebih manusiawi.
Kendati tidak menawarkan jalan keluar—yang niscaya berada di luar kompetensinya— Hawking menyuarakan peringatan profetis tentang deretan malapetaka yang tengah membayangi planet kita, sebut saja: pencemaran lingkungan, perubahan iklim, ledakan penduduk, krisis pangan, dan pengangguran masif.
Rumah bersama
Sang ateis bagaikan suara dari gurun yang berseru-seru mengingatkan kita akan rumah kita bersama, kosmos yang senantiasa mencari kesetimbangan entropis. Ia bukan pemercaya Tuhan, tetapi bukan pula insan tanpa spiritualitas.
Dalam pandangannya, kosmos tak layak menjadi jagat raya kita bila tak menjadi rumah bagi sesama yang kita cintai. Spiritualitas ”kosmik” yang dihayatinya setidaknya mempertemukan dirinya dengan nasib bersama anak-anak manusia tak jarang terjebak dalam perangkap ambisi dan ilusi yang ditenun dengan mengkhianati kemanusiaan sendiri.
Visi kemanusiaan Hawking pantas dikenang sebagai bagian dari pesan terakhirnya bagi pelakon-pelakon kehidupan dalam meraih mimpi setinggi bintang, termasuk bagi umat beragama yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris nilai-nilai luhur di balik visi etis agamanya. Bukankah para tokoh religius mengajarkan pula betapa rahmat ilahi menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua tanpa memilih-milih?
Hawking wafat pada 14 Maret lalu, tepat pada hari lahir Albert Einstein. Selamat jalan Stephen William Hawking!
Anwar Tjen Rohaniwan, PhD, dari Universitas Cambridge
Sumber: Kompas, 20 Maret 2018