Eksploitasi berlebihan, lambatnya regenerasi, dan ketiadaan budidaya membuat populasi siput mata bulan (Turbo chrysostomus) di alam berkurang. Padahal, jenis grastropoda atau hewan bercangkang itu sumber protein tinggi alternatif bagi masyarakat pesisir, selain ikan.
Bentuk siput mata bulan mirip keong sawah atau tutut (Pila ampullacea) yang banyak dikonsumsi masyarakat Jawa. Bedanya, siput mata bulan hidup di air laut, sedangkan keong sawah di air tawar. Cangkang keong sawah juga lebih halus dan tipis dibanding cangkang siput mata bulan.
Cangkang yang keras adalah pelindung utama hewan herbivora ini. Namun, beberapa penyu dan ikan tertentu bisa memecahkan cangkang itu beserta operkulumnya, yakni lapisan pelindung daging siput dari sentuhan lingkungan langsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hewan ini banyak ditemukan di perairan tropis bersuhu 28-30 derajat celsius, di daerah pasang surut berkedalaman kurang dari 20 meter dengan pantainya tak terlalu curam. Arus laut kuat tak masalah, asal tak tercemar aliran sungai tercemar.
Siput ini biasa ditemukan di sela-sela batu karang, tempat menghindari pemangsa. Di batu karang mati dan bebatuan itulah menempel pakannya, seperti mikroalga, diatom, dan formanifera. ”Perubahan suhu dan kadar garam di laut bisa mematikan siput ini,” kata peneliti Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (UPT LPBIL LIPI) Mataram, Dien Arista Anggorowati di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Maret lalu. Siput ini bisa bertahan 3-4 jam tanpa air selama suhu lingkungannya terjaga. Semakin lama dan panas, siput ini akan kian lemas.
Masyarakat di pesisir Pulau Lombok, NTB, biasanya memungut siput ini saat laut surut. Oleh karena tak bisa bergerak cepat, banyak siput diperoleh masyarakat dalam sekali tangkap. Pengambilan siput itu tanpa membedakan siput anakan atau indukan. ”Akibatnya, populasi siput mata bulan terus menurun,” ujar Kepala UPT LPBIL LIPI Hendra Munandar.
Kondisi itu diperparah lambatnya perkembangan siput mata bulan. Dari sekali proses pemijahan yang melibatkan 30 ekor siput—yang 20-22 ekor di antaranya betina—bisa diperoleh 2-10 juta telur. Jumlah telur bergantung pada kondisi induknya. Dari telur sebanyak itu, yang bisa bertahan menjadi anakan siput mata bulan yang bisa menempel di batu karang hanya 2.000-5.000 ekor.
Meski terlihat sedikit, tingkat kemampuan bertahan hidup siput mata bulan itu jauh lebih besar dibandingkan dengan teripang atau abalon. Kedua binatang itu tak punya cangkang seperti siput mata bulan.
Proses perubahan dari telur menjadi anakan siput mata bulan yang bisa menempel di batu karang butuh waktu 4-5 hari. Kecepatan proses itu bergantung ketahanan setiap larva siput mata bulan dan kualitas air. Anakan akan tumbuh besar hingga diameter cangkangnya 3-4 sentimeter dalam waktu satu tahun. Ukuran paling pas untuk dikonsumsi adalah ketika ukuran cangkangnya sekitar 10 cm. Artinya, butuh waktu 2-3 tahun sejak dari telur.
”Pertumbuhan siput mata bulan lambat karena energinya terkuras untuk membangun cangkangnya yang kuat,” tambah Hendra. Energi untuk membangun cangkang empat kali lebih besar dibanding untuk membentuk daging siput.
Budidaya
Turunnya populasi siput mata bulan membuat UPT LPBIL LIPI mengembangkan pembenihan siput mata bulan. Sebagian hasil pembenihan dilepas ke pesisir pertengahan Maret lalu. Menurut rencana, 20.000 ekor siput mata bulan dilepas ke perairan Lombok Utara untuk menambah populasi siput di alam.
Selain itu, benih siput mata bulan itu juga diharapkan bisa dibudidayakan masyarakat langsung, tidak bergantung pada kondisi perairan. ”Siput mata bulan bisa menjadi hidangan laut bernilai menjanjikan, mirip escargot (siput air tawar) yang menjadi makanan mahal di sejumlah negara,” kata peneliti senior UPT LPBIL LIPI Sigit AP Dwiono.
Sebagian besar masyarakat pesisir, termasuk di Lombok, hanya menjadikan siput mata bulan sebagai konsumsi musiman. Mereka mengambil dari alam dan langsung mengolah, tidak memperjualbelikannya. Akibatnya, makanan berprotein tinggi itu sulit masuk daftar menu restoran dan sulit diperoleh masyarakat nonpesisir yang ingin mencicipi karena pasokannya yang tak berkelanjutan.
Jika berhasil dibudidayakan, selain akan menopang kebutuhan pangan masyarakat, siput mata bulan bisa dikembangkan sebagai usaha meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir.
Menurut Hendra, kesulitan terbesar pembudidayaan siput mata bulan adalah fase awal yaitu pembenihan. Tahap yang dimulai proses pemijahan hingga menghasilkan larva siput mata bulan itu butuh kecermatan dan peralatan memadai agar lingkungan tempat pemijahan senantiasa mirip kondisi di alam. ”Ukuran larva yang sangat kecil membuatnya rentan perubahan kondisi lingkungan,” ujarnya.
Saat siput mata bulan berukuran sekitar 2 cm, barulah anakan itu bisa dilepas atau dibudidayakan di laut. Siput bisa saja dibudidayakan di darat hingga berukuran 4-5 cm atau siap dikonsumsi. Namun, itu butuh biaya tinggi untuk pakan. Jika dibudidayakan di laut, menggunakan sejenis keranjang atau keramba, siput bisa mencari makan sendiri.
Meskipun demikian, proses budidaya itu belum ada kajian kelayakan secara ekonomi. Menurut Sigit, untuk menggerakkan masyarakat agar mau membudidayakan siput mata bulan butuh keterlibatan pemerintah daerah. Demikian pula bagi industri yang ingin melakukan pembenihan sendiri.
Oleh: M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 5 Mei 2014