Prof Dr Emil Salim, awal bulan ini, menyatakan keprihatinan mendalam tentang tiadanya ‘good governance’ di Universitas Indonesia. Semangat “menata kembali” jelas terasa dalam ucapannya.
Pesan selanjutnya, kemandirian akademik UI harus tetap terpelihara. Kredibilitas moral UI, yang selama ini turut memberikan sumbangan untuk membangun masyarakat demokratis, merupakan ciri utama yang mewarnai sepanjang sejarahnya. Ibarat cahaya dalam kegelapan, “ruh” ini harus tetap ”menyala”.
“UI bukan sekadar kumpulan gedung di kampus Depok atau Salemba. UI bukan pula kumpulan guru besar, dosen atau orang pintar, serta mahasiswa yang rajin kuliah Senin– Jumat,pagi sore.UI,selama sejarah hidupnya, adalah mercusuar kemandirian moral yang tetap tegak dalam kondisi apa pun,”ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jiwa Kaum Intelektual
Dalam perspektif kebudayaan, UI tak bisa dilihat sekadar sebagai organisasi, tetapi juga harus dipahami sebagai institusi, yaitu himpunan nilai-nilai pokok dalam kehidupan akademik. Institusi seperti ini memiliki konsekuensi khas di dalam corak kepemimpinannya. Kepemimpinan di dalam academic community ini tidak seperti kepemimpinan di dalam suatu bureaucratic community, yang sudah merasa cukup bila pemimpin memiliki sejumlah kompetensi teknis yang diperlukan.
Salah satu keprihatinan Pak Emil, yaitu agar good governance ditegakkan sungguhsungguh di UI, hanya merupakan tuntutan akan kompetensi teknis,yang dibutuhkan semua corak bureaucratic community. Ini tuntutan standar dan elementer. Kepemimpinan dalam academic community, di universitas misalnya, mensyaratkan dimilikinya jiwa kaum intelektual, yang komitmen utamanya jauh melampaui batas-batas kepentingan teknis birokrasi maupun ekonomi dan politik.
Tak dapat dimungkiri, kaum intelektual juga memerlukan sandang, pangan dan perumahan. Beras, sayuran, kopi,teh,merupakan kebutuhan nyata yang tak bisa ditiadakan. Meskipun begitu, perpanjangan jabatan, dukungan partai politik, kemungkinan menjadi gubernur, atau menteri, bagi kaum intelektual sejati, sama sekali tak diperhatikan.
Orang macam itu tak pernah melakukan lobi dan kasak-kusuk untuk meraih suatu jabatan. Di Universitas, seorang intelektual bercita-cita menjadi guru besar, seorang ahli di dalam bidangnya, dan sangat melek akan perlunya memahami disiplin ilmu-ilmu lain,terutama ilmu-ilmu humaniora, sehingga dalam arti tertentu kaum intelektual bukan hanya spesialis, melainkan juga generalis.
Seorang rektor, atau kepala lembaga penelitian, bisa dengan nyaman dan merasa “at home” memimpin para dosen atau para peneliti,yang disiplin akademiknya bervariasi, karena dia bisa berbicara dengan penuh wibawa dalam disiplin ilmu-ilmu lain, di depan orangorang pandai lainnya. Minimal, filsafat ilmunya dipahami, sehingga komunikasi akademik yang bersifat antar bidang,berjalan lancar.
Di dalam lingkungan itu dengan demikian dia bisa membangun tradisi akademik, yang membuat universitas sibuk dengan diskusi mempertanyakankebenaranilmiah. Tak dilupakan perlunya renungan filsafat maupun agama, yang bisa melandasi,sekaligus memberi obor bagi governance di dalamnya.
Filsafat dan agama menjadi penting karena universitas tak sekedar untuk menghasilkan orang pintar, melainkan juga orang bijaksana. Governance dengan hati nurani, yang diinginkan Prof Emil Salim mungkin bertumpu pada kemampuan kreatif merumuskan landasan filsafat dan agama bagi gerak kehidupan birokrasi. Ini kebutuhan mendasar, karena kaum intelektual itu hakikatnya juga kaum rohaniwan.
Intelektual/rohaniwan yang berpegang pada kesadaran tentang ‘innerworldly ascetism’ yang diperkenalkan Weber—mungkin sejalan dengan gagasan Ali Shariati tentang “membacakan kitab” bukan bagi yang mati melainkan bagi yang hidup—telah memberi kita gairah bahwa dunia harus lebih dulu ditata, bukan dengan semangat “mabok duniawi”,
melainkan dengan “strategi perencanaan “masa depan” yang sangat jauh, agar kita bisa melintasi dunia fana ini menuju sebuah keabadian yang tak perlu diragukan. Dalam semangat itu,universitas secara fisik tak wajib gemerlap dan megah karena tak memanggul misi menawarkan daya tarik turisme. Akan tetapi,gairah intelektual harus dipompakan oleh para pejabat dan para dosen.
Motivator dari Luar?
Kita berasumsi,di mana pun universitas berisi orang-orang pintar. Bahkan siapa tahu, ada banyak pula orang bijaksana. Berbagai disiplin ilmu ditawarkan di fakultas-fakultas. Persoalan apa pun yang muncul, universitas punya jawabnya. Banyak dosen yang bisa dijadikan role model bagi para mahasiswa. Bahkan bagi para alumni. Tapi beberapa universitas terkagum-kagum pada suatu lembaga luar, dan dikontrak untuk memotivasi mahasiswa baru sebelum secara resmi mereka memasuki perkuliahan.
Kalau kantor polisi, pabrikpabrik mengundang motivator dari luar,saya paham alasannya. Tapi universitas, yang di dalamnya berisi orang-orang pandai, orang-orang bijak, orang-orang kreatif, bahkan ada psikolog yang mahir dalam ilmu motivasi, mengapa menjadi “lumpuh”tak berdaya memotivasi mahasiswa baru mereka sendiri?
Motivator dari luar mengajari kesadaran diri, lalu memancing emosi menangis dan orang pun tersedusedu. Target apa yang hendak dicapai? Kemandirian akademik? Kredibilitas moral? Cara menyikapi dan membangun moral politik dan kekuasaan yang sehat? Lembaga itu tak akan mampu melakukannya. Apa jiwa para dosen dan pimpinan sudah kandas sedemikian parahnya?
Simbol Keagamaan
Kenapa simbol-simbol akademik, dan warna-warni kegiatan ilmiah, kesenian dan kemanusiaan pada umumnya,cenderung meredup di universitas? Mengapa warna politik keagamaan yang terbiasa berargumen dengan kekerasan, atau bersikap tanpa argumen dibiarkan mendominasi kehidupan kampus? Kebebasan akademik macam apa yang kita bangun, ketika agama, yang sudah dibikin teknis, dan hanya dianggap aturan yang bisa dipermudah atau diper-sulit,berkembang biak melawan nalar akademik?
Mengapa kita bangga terhadap keyakinan prematur yang dicekokkan pada “bocahbocah” yang belum bernalar secara lengkap? Menteri pendidikan, dan semua bawahannya, tidur nyenyak selama bertahuntahun, membiarkan wilayah “kedaulatannya” diacak-acak orang. Kelihatannya mereka tak punya pemikiran dan sikap. Universitas itu komunitas multikultural, yang harus dijaga agar hidup di dalamnya tidak menodai keluhuran semangat itu.
Memang tak mungkin ruh akademik berkembang tanpa agama.Tapi jangan lupa,dunia akademik itu tempat menanam kejujuran ilmiah yang menjadi modal kejujuran sosial.Ini sudah agama.Dan Ini juga “ruh”Islam. Agama itu memancarkan rasa “adem” dan membikin “ayem”. Pemeluk yang serbamarah dan “panas”,mungkin belum melihat oase di balik “padang pasir” kehidupan dunia yang kejam ini.Jadi,apa gunanya simbol, yang tak menawarkan isi? ?
M SOBARY, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
Sumber: Koran Sindo, 19 September 2011