Secara statistik, tiap tahun terjadi 10 kali gempa yang bersifat merusak di Indonesia. Karena umumnya terjadi di daerah yang belum berkembang, masalah ini belum mendapat perhatian memadai.
”Akan tetapi, bagaimana jika seiring pesatnya pembangunan fisik, daerah-daerah lintasan gempa itu akhirnya turut dikembangkan. Berapa kerugian sosial ekonomi yang bisa terjadi?”
Begitulah bentuk keprihatinan, yang kemudian mendorong Dr Ir Sigit Sukmono MSc (33) meneliti masalah gempa. Ia menggunakan metoda fraktal yang dikenalnya sejak tahun 1988 dari pakar fraktal geologi Prof J Dubois.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Pada kejadian gempa biasanya yang jadi korban rakyat kecil. Mereka kurang akses informasi, sehingga tak membangun rumah dengan konstruksi tahan gempa,” kata Sigit, yang mengambil program S2-nya di Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand
Pada peristiwa gempa di Sulawesi Selatan, akhir September lalu misalnya, ratusan bangunan hancur dan belasan korban jiwa jatuh di Pare-pare dan Pinrang. Namun Bendungan Benteng di Sungai Sadang tetap utuh. Bendungan itu dibuat dengan konstruksi tahan gempa. Karenanya, Sigit melihat pentingnya peta daerah lintasan gempa yang rinci untuk diintegrasikan dalam rencana pembangunan wilayah.
PENELITIAN Sigit dimulai dengan salah satu sistem sesar yang paling aktif atau terbesar di dunia yang telah banyak menimbulkan bencana gempa, yaitu Sistem Sesar Sumatera. Alasan lain pemilihan daerah itu, Sumatera merupakan alternatif kedua untuk pengembangan wilayah setelah Jawa, Madura, dan Bali. Sekarang pun sudah banyak pemukiman padat di sepanjang sesar itu seperti Aceh, Padangsidempuan, Singkarak, Bukittinggi, Liwa, dan sebagainya.
Dipandang dari segi nilai sosial ekonominya, daerah itu harus diprioritaskan. Katanya,”kami membuat penelitian kalau bisa yang bermanfaat bagi masyarakat.”
Penelitian itu dilakukan Sigit dalam rangka menulis disertasi doktor di ITB di bawah bimbingan Prof MT Zen, Prof Liliek Hendrajaya dan Dr Oerip Santoso. Untuk membiayai penelitian yang sangat mahal itu, secara paralel Sigit mengajukan proposal Riset Unggulan Terpadu (RUT) ke Dewan Riset Nasional dengan tema sama.
Penelitian dilakukan tim yang terdiri dari lima orang dengan Sigit sebagai peneliti utama. Peneliti lain adalah Prof MT Zen dan Dr Wawan Gunawan. Keduanya dari ITB. Dr Heri Haryono dan Dr Fred Hehuwat, ahli peneliti utama dari LIPI.
Dari penelitian selama tahun 1994-1996, Sigit dan tim berhasil memetakan Sesar Sumatera dan membagi menjadi 11 segmen berdasarkan dimensi fraktalnya. Peta itu bisa dijadikan acuan untuk memperkirakan daerah bahaya dan daerah yang aman. Hal ini berguna untuk keperluan mitigasi atau penanggulangan bencana gempa.
Selain itu dengan memplot dimensi fraktal terhadap tahun terjadinya gempa, dapat diketahui pola pengulangan gempa sehingga kejadian gempa yang akan datang bisa diramalkan. Tiga gempa terakhir di Sumatera berhasil diperkirakan, yaitu gempa Kerinci (Oktober 1995), Toru/Karo (September 1996), dan Aceh (Agustus 1997).
Januari 1997 Sigit mempertahankan disertasinya dan lulus dengan predikat cum laude. Namun Sigit tak puas. Ia menganggap ada dua kelemahan dari penelitian itu.
Pertama, metoda itu baru diuji di satu kasus sesar, sehingga tak bisa disimpulkan apakah hasilnya bisa universal, mengingat proses geologi sangat tergantung pada kondisi geologi lokal.
Kedua, prediksi gempa baru mencapai skala tahunan. Diinginkan prediksi sampai skala bulanan.
Kelemahan pertama ditutupi dengan menguji metoda ini ke sistem sesar yang lain. Dengan biaya RUT lain Sigit dan tim sedang meneliti Sistem Sesar Palu-Matano, yang sangat aktif di Sulawesi. Baru berlangsung satu tahun dari rencana penelitian tiga tahun, hasil sementara cukup menjanjikan. Tim itu sedang menyusun proposal kepada Torai Foundation Jepang untuk meneliti sejumlah sesar di Jawa.
Untuk kelemahan kedua, tim mengirim proposal ke Natural Science Foundation (NSF), AS. Mereka akan memetakan daerah gempa dengan menggunakan foto udara dan pengukuran lapangan yang lebih detil.
SEJAUH ini Indonesia belum memiliki peta zonasi daerah gempa yang rinci. Yang ada hanya peta zonasi gempa umum yang terbit tahun 1977 hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan Selandia Baru. Peta ini menurut Sigit perlu direvisi. Sesar Sumatera misalnya, dalam peta itu dibuat garis lurus. Padahal kenyataannya terbagi dalam segmen-segmen.
Peta Sigit pun sifatnya masih regional. Kalau untuk keperluan pembangunan harus lebih rinci. Sebagai gambaran, peta tahun 1977 skalanya 1:7,5 juta. Peta yang dibuat Sigit 1:250.000. Untuk pengembangan daerah, katakan Aceh atau Jakarta. skalanya harus lebih detil, yaitu 1:50.000 atau 1:25.000.
Dalam menangani masalah gempa, yang terutama adalah mitigasi.
”Untuk mengurangi dampak gempa, kita tidak harus mampu memprediksi gempa. Dari segi sosial ekonomi yang lebih penting adalah memetakan secara rinci lintasan gempa dan kondisi geologi lokal daerah potensi bahaya,”ujarnya.
Peta itu menjadi acuan pengembangan wilayah untuk meminimalkan kerugian akibat gempa. Katanya, ”daerah lintasan gempa sebaiknya tidak dibangun. Kalau terpaksa dibangun, harus menggunakan konstruksi tahan gempa. Diprediksi atau tidak, gempa tetap akan terjadi.”
Sigit melihat Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukan pemetaan zonasi daerah gempa. Dana, peralatan, dan sumber daya manusia, ada. Hanya saja sampai saat ini belum dilakukan.
”Semakin besar perkembangan daerah lintasan gempa semakin besar risikonya. Gempa di Kerinci dan Liwa, kerugiannya sekitar Rp 50 milyar- Rp 100 milyar, karena terjadi di daerah yang relatif belum berkembang. Bagaimana kalau terjadi di kota besar. Di Kobe (Jepang) saja perhitungan kerugian akibat gempa terakhir Rp 200 trilyun. Bisa satu APBN untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi,” kata Sigit.
Sigit berpendapat, pemerintah perlu memperhatikan masalah ini dan menentukan secara jelas instansi yang menangani. Di AS, ada NEIC (National Earthquake Information Center), terdiri dari gabungan sejumlah institusi seperti perguruan tinggi, USGS (US Geological Survey), dan departemen yang terkait dalam evakuasi korban gempa. Kalau terjadi gempa, lembaga ini yang mengeluarkan pengumuman ke masyarakat.
SIGIT lahir di Wilayah yang akrab dengan gempa, Banyuwangi, Jawa Timur, 15 Juli 1964. Ayahnya, Soerjamin, petani, sederhana di Desa Tojo, Kecamatan Genteng, daerah perkebunan cokelat dan kopi di kaki Gunung Raung yang sampai sekarang belum mengenal listrik, bahkan jalannya pun belum diaspal.
”Termasuk desa IDT,” akunya sambil tertawa.
Sampai SMP ia bersekolah di tempat kelahirannya. Sedang SMA ditempuh bungsu dari delapan bersaudara ini di Bandung, mengikuti jejak kakak-kakaknya yang kuliah di Unpad dan ITB. Sigit masuk Jurusan Geologi ITB tahun 1982,lulus tahun 1987.
Ia sempat bekerja di sebuah perusahaan minyak asing di Jakarta, dan hanya betah satu bulan. Ternyata minatnya lebih ke penelitian, sementara di perusahaan minyak sifatnya lebih terapan.
Karenanya Sigit ”pulang kandang”. Apalagi Prof MT Zen, dosen pembimbingnya, sejak ia lulus memang hendak menariknya.
”Setelah orang tua, Pak Zenlah yang banyak mempengaruhi pilihan hidup saya,” tutur Sekretaris Program Studi Teknik Geofisika Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral ITB ini.
Ayah dua anak, Krisna Adi Sukmono (6) dan Widhia Kurnia Sukmono (4 bulan), hasil pernikahannya dengan Riauli Susilawaty, pengajar Politeknik ITB, ini tak menyesali keputusan melepaskan pekerjaan yang menjaajikan di perusahaan asing.
”Saya ingin menyebarkan ilmu pengetahuan,mungkin dianggap omong kosong, tapi saya serius mengenai hal ini,” kata Sigit.(Atika Walujani)
Sumber: Kompas, Kamis, 23 Oktober 1997