Pemerintah berharap agar peredaran hoaks di media sosial bisa berkurang setelah penetapan presiden terpilih. Dengan berkurangnya hoaks, upaya untuk menjalin kembali persatuan bangsa bisa berjalan tanpa hambatan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, puncak peredaran hoaks di media sosial terjadi selama rangkaian Pemilu 2019. Pada saat kerusuhan 21-22 Mei, pemerintah bahkan sampai harus membatasi akses media sosial untuk mencegah peredaran hoaks yang semakin masif.
KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG–Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti bersama Rektor Universitas Indonesia (UI) Muhammad Anis di Kampus UI, Depok, Selasa (2/7/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Kemkominfo mencatat, pada Agustus 2018, hoaks politik yang beredar sebanyak 25 jenis. Kemudian, pada Januari 2019, jumlahnya meningkat menjadi 190 jenis. Puncaknya pada rangkaian pelaksanaan Pemilu 2019, jumlah hoaks politik lebih dari 400 jenis dalam satu bulan,” ujar Rosarita di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa.
Ia menyampaikan, setelah penetapan presiden terpilih, intensitas peredaran hoaks cenderung berkurang. Ia berharap, intensitas berkurangnya hoaks ini bisa terus berlanjut agar upaya menjalin kembali persatuan bangsa segera terwujud.
”Kami belum merekap jumlah pasti pengurangannya. Namun, tren yang terlihat, jumlahnya mulai berkurang. Hal ini merupakan pertanda baik bagi bangsa yang ingin kembali merajut persatuan seusai penetapan presiden terpilih,” ucapnya.
Berdasarkan data Kemkominfo, sekitar 40 juta dari 170 juta pengguna internet di Indonesia telah terpapar hoaks. Sebelum kerusuhan 21-22 Mei, tercatat lebih dari 20 jenis hoaks beredar dalam sehari. Setelah pembatasan, hoaks berkurang menjadi 6-9 jenis per hari.
Dapat dilacak
Untuk mencegah peredaran hoaks, Rosarita mengatakan, Kemkominfo berupaya untuk terus memblokir konten-konten hoaks, baik berdasarkan laporan masyarakat maupun hasil temuan Kemkominfo.
”Dengan teknologi kecerdasan buatan, Kemkominfo dapat melacak siapa saja penyebar hoaks dan melihat jejak digital penyebar hoaks tersebut. Oleh sebab itu, kami juga mengadakan sejumlah kegiatan untuk menyebarkan ilmu kecerdasan buatan kepada mahasiswa agar bisa diterapkan oleh generasi muda,” tuturnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Mural kampanye antihoaks di bawah jembatan layang Rawa Buntu, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (11/3/2019).
Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi Badan Pembina Ideologi Pancasila Rima Agristina mengatakan, hoaks yang beredar di media sosial bisa memperkeruh kondisi bangsa yang saat ini memulai kembali untuk merajut persatuan.
”Seharusnya media sosial bisa dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang masyarakatnya terpisah antarpulau dan bisa dipersatukan melalui dunia digital. Namun, kenyataannya, bangsa ini malah terpecah karena hoaks di media sosial,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Rima berharap agar pemerintah bisa semakin menekan jumlah peredaran hoaks dengan terus mengembangkan inovasi baru. Selain itu, generasi muda juga perlu diajarkan cara untuk membedakan mana berita bohong dan mana berita benar sejak dini.
Sebelumnya, pengajar etika Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, J Haryatmoko SJ, mengatakan, di era post-truth, literasi media dan literasi digital harus mulai diperkenalkan kepada siswa sejak sekolah menengah pertama (Kompas, 11/6/2019).
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengatakan, belajar dari pelaksanaan Pemilu 2019, peredaran hoaks ternyata dipicu tak hanya karena rendahnya literasi digital, tetapi juga karena fanatisme politik berlebihan. ”Hal ini menjelaskan bagaimana orang-orang berpendidikan tinggi ikut menjadi aktor penyebaran hoaks politik,” paparnya.–DHANANG DAVID ARITONANG
Editor HAMZIRWAN HAM
Sumber: Kompas, 2 Juli 2019