Semesta di Tubuh

- Editor

Rabu, 11 Juli 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Tubuh manusia ibarat mikrokosmos yang menyimpan lebih dari 100 triliun sel mikroorganisme. Kumpulan bakteri, jamur, dan virus ini hidup di dalam usus dan membentuk sistem ekologi yang dikenal sebagai mikrobioma saluran pencernaan (gut microbiome). Hidup mereka tergantung pada apa yang kita makan, sebaliknya hidup kita juga ditentukan mereka.

Semesta jasad renik dalam saluran pencernaan manusia ini memberi dua sisi: sebagian merupakan patogen, namun umumnya hanya jadi masalah jika membengkak populasinya. Sebagian justru dibutuhkan, misalnya, membantu memecah susunan gula dari air susu ibu sehingga bisa diserap tubuh bayi.

Beragam penelitian terbaru menemukan, komposisi dan jenis mikrobioma berperan penting terhadap munculnya diabetes, alergi, autisme, hingga obesitas. Secara sederhana, semakin beragam dan berimbang mikrobiomanya, semakin baik bagi tubuh. Penelitian dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Bali misalnya menemukan, orang gemuk memiliki mikrobioma yang lebih sedikit ragamnya dibandingkan yang langsing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bahkan, rahasia umur panjang juga dipengaruhi mikrobioma. Eksperimen peneliti McGill University, Kanada di jurnal Nature (2018) membuktikan, dengan mengubah komposisi mikrobioma melalui pemberian probiotik tertentu bisa memperpanjang usia dan melindungi tubuh dari penyakit kronis terkait penuaan.

Lalu, dari mana datangnya jasad renik ini ke tubuh kita?

Masyarakat Punan Tubu di Desa Respen, Malinau, Kalimantan Utara tengah membuat pati dari bahan singkong, Sabtu (26/5/2018). Dulu bahan utama pati berasal dari tanaman sagu, yang merupakan pangan pokok masyarakat pemburu peramu ini. Perubahan pola makan akan mempengaruhi mikrobioma di tubuh, dan berikutnya berpengaruh terhadap kesehatan kita–KOMPAS/AHMAD ARIF (AIK)–26-05-2018

Kajian Kjersti Aagaard dan tim dari Baylor College of Medicine di jurnal Science of Translational Medicine (2014) menemukan, beragam jenis bakteri dalam plasenta, termasuk di antaranya yang dibutuhkan janin mengurai vitamin dan nutrisi, hingga yang bisa memicu kelahiran prematur.

Hal yang mengejutkan adalah, spesies bakteri ini umumnya mirip dengan yang ditemukan pada mulut orang dewasa. Fakta ini membuktikan, bakteri mampu menyusup ke aliran darah Ibu menuju plasenta, yang menjadi saluran makanan dan oksigen ke bayi.

Dalam eksperimen lain, Aagaard menemukan, dengan memberikan makanan tinggi lemak kepada monyet yang hamil, maka mikrobiomanya akan meningkat signifikan. Ini berarti, jenis makanan Ibu akan sangat mempengaruhi jenis dan konsentrasi mikrobioma pada plasenta dan berikutnya pada janin.

Berikutnya, mikrobioma pencernaan juga didapatkan bayi saat lahir, menyusui, makanan, serta dari lingkungan. Bayi yang lahir di desa memiliki variasi jasad renik atau mikrobioma di saluran pencernaan lebih beragam ketimbang bayi yang lahir di kota. Demikian temuan terbaru Silvia Turroni dari Departemen Farmasi dan Bioteknologi University of Bologna, Italia di jurnal Cell Reports edisi 5 Juni 2018.

Jumlah dan variasi mikrobioma juga berbeda pada etnis berbeda. Riset Yuan Kun Lee dari National University of Singapore dan tim menemukan perbedaan mikrobiota jenis Prevotella dan Bifidobacterium pada anak-anak di Yogyakarta dan Bali dengan Tokyo, Bangkok, Beijing, dan lima kota lain di Asia. Riset ini diterbitkan di jurnal Nature pada 2015.

Kekhasan mikrobioma di suatu populasi tertentu yang kemudian diwariskan bahkan terbukti bisa memicu perubahan mekanisme tubuh. Studi oleh Hehemann (2010) dan tim menemukan, warga Jepang memiliki enzim spesifik yang bisa mengurai porphyran atau karbohidrat sulfat pada rumput laut sehingga bisa diserap tubuh.

Enzim yang tidak dimiliki populasi non-Jepang ini ternyata dipicu oleh keberadaan mikrobioma tertentu yang didapatkan dari leluhur mereka karena proses adaptasi panjang. Temuan ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa serta merta meniru ragam pangan populasi lain, karena bisa jadi tidak cocok dengan mikrobioma dalam tubuh kita.

Dengan kata lain, ragam jenis makanan yang terbaik seharusnya yang bersifat lokal dan yang telah dimakan turun-temurun leluhur kita. Perubahan tiba-tiba pola konsumsi akan mengganggu keseimbangan mikrobioma, dan akhirnya akan memicu beragam masalah kesehatan.

Jika dulu kita mengenal istilah, kamu adalah apa yang kamu makan. Kini kita bisa memperkayanya: kamu adalah apa yang dimakan semesta jasad renik di tubuhmu…–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 11 Juli 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB