Universitas Gadjah Mada mengkaji pemberian sanksi terhadap dua dosennya, yakni Eko Haryono dan Heru Hendrayana, terkait kesaksian dalam sidang gugatan penerbitan izin lingkungan pendirian pabrik semen di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kesaksian mereka dinilai melanggar asas kepatutan.
“Keputusan memberi sanksi administratif itu berdasar kajian tim independen UGM untuk meneliti kesaksian kedua dosen itu,” kata Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni, Paripurna, dalam konferensi pers, Rabu (15/4), di Yogyakarta.
Pada 19 Maret 2015, dosen Jurusan Geografi dan Ilmu Lingkungan UGM Eko Haryono dan dosen Jurusan Teknik Geologi UGM Heru Hendrayana, menjadi saksi ahli untuk PT Semen Indonesia (PTSI) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Mereka bersaksi dalam perkara gugatan penerbitan izin lingkungan pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesaksian Eko dan Heru itu lalu diprotes warga Rembang yang menolak pendirian pabrik semen, karena dianggap bertentangan fakta lapangan. Kesaksian keduanya juga dinilai melegitimasi penambangan gamping di Pegunungan Kendeng Utara. Pada 20 Maret 2015, ratusan warga dan mahasiswa berunjuk rasa memprotes kesaksian Eko dan Heru di Kampus UGM.
Melanggar
Paripurna mengatakan, menindaklanjuti pengaduan masyarakat, UGM membentuk tim independen beranggotakan sejumlah dosen dan mahasiswa. Tim yang bekerja 1-10 April 2015 itu mengkaji apakah kesaksian Eko dan Heru melanggar aturan atau tidak. “Dosen dalam tim itu dipilih berdasar keahlian, berasal dari berbagai disiplin, misalnya ilmu geografi, hukum, antropologi, dan kehutanan,” ujarnya.
Berdasar kajian tim, menurut Paripurna, kehadiran Eko dan Heru dalam sidang sebenarnya sah dan sesuai keahlian. “Namun, dalam komunikasi selanjutnya (di sidang), muncul kesaksian yang tak sesuai asas kepatutan saksi ahli, antara lain memberi kesaksian yang dapat mengarahkan satu kesimpulan tertentu. Padahal, kedua pakar itu tidak melakukan penelitian langsung di wilayah Rembang,” katanya.
Dihubungi Rabu malam, Heru membantah penilaian kesaksiannya mengarahkan pada kesimpulan tertentu. Saat bersaksi dalam sidang, ia menyatakan tak memberi penjelasan spesifik lokasi karst di Rembang yang akan ditambang PT Semen Indonesia.
“Saya memang menjelaskan soal kondisi geologi kawasan regional Rembang. Dalam ilmu geologi, regional Rembang itu mencakup wilayah sangat luas, tidak spesifik pada lokasi yang menjadi obyek perkara,” katanya.
Ia menilai ada kesalahan persepsi tentang kesaksiannya dalam sidang di PTUN Semarang. Itu muncul karena keterangannya yang berdasar ilmu geologi dinilai pakar disiplin ilmu lain.
Sementara, Eko mengatakan, kesaksiannya sesuai kaidah disiplin ilmunya. Saat menjawab pertanyaan dalam sidang, ia tak bermaksud mengarahkan pada kesimpulan tertentu. “Hanya menjawab pertanyaan,” ujarnya.
Belum diputuskan
Bentuk sanksi administratif kepada Eko dan Heru belum diputuskan. Rektor UGM akan berkomunikasi dengan anggota senat universitas sebelum memutuskan. “Sanksi administratif macam-macam, dari peringatan hingga pemberhentian. Bentuk sanksi untuk keduanya saya belum bisa menyatakan,” katanya.
Ketua tim kajian independen UGM, Pujo Semedi, mengatakan, UGM berpendapat saat ini tak ada kebutuhan mendesak bagi industri semen meningkatkan produksi. “Tapi, UGM tidak dalam posisi menerima atau menolak,” katanya.
Terkait pemberian sanksi, Joko Prianto, warga Rembang yang berunjuk rasa ke UGM beberapa waktu lalu, mengatakan, kedua dosen melukai rakyat. “Bagaimana bisa ilmuwan tanpa penelitian ke lapangan mengatakan di sana layak di tambang dan tidak ada air. Kalau mau ke lapangan dan jujur, mereka akan menemukan fakta yang benar,” ujar Joko.
Riwanto, ahli demografi sosial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meneliti Pegunungan Kendeng, mengatakan, ilmuwan wajib berbicara berdasar data. Ilmuwan juga harus memperhatikan kepentingan publik.(HRS/AIK)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 April 2015, di halaman 13 dengan judul “UGM Kaji Sanksi bagi Dua Dosen”.