Gerhana Matahari Total 2016
Meski gerhana matahari total beberapa kali hadir di wilayah Indonesia, gerhana pada 9 Maret 2016 tetaplah terasa istimewa. Bukan hanya karena fenomena langka, melainkan juga gerhana kali ini bisa menjadi momentum membangun rasionalitas dan keilmuan bangsa.
Sambutan pemerintah dan masyarakat dalam menyambut gerhana matahari total (GMT) kali ini jauh berbeda dibandingkan gerhana-gerhana sebelumnya, khususnya GMT pada 11 Juni 1983. Gerhana tak lagi dipandang sebagai peristiwa alam menakutkan. Kegelapan yang menyertai tertutupnya Matahari oleh piringan Bulan itu justru dimaknai sebagai kegembiraan.
“Cuaca kultural dalam menyikapi gerhana sudah berubah,” kata Karlina Supelli, astronom sekaligus filsuf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Kamis (25/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada GMT 1983, Karlina yang ketika itu bertugas di Planetarium dan Observatorium Jakarta mengingat larangan pemerintah kepada masyarakat melihat langsung gerhana karena bisa menimbulkan kebutaan. Padahal, larangan itu tidak sepenuhnya benar dan pemerintah tidak seharusnya melarang karena risiko itu bisa disiasati.
“Pelarangan waktu itu menjadi alat bagi Presiden Soeharto untuk menguji kepatuhan rakyat di Jawa terhadap pemerintah. Terbukti, rakyat memang tunduk dan patuh,” katanya.
GMT 1983 berpuncak di Laut Jawa di utara Pulau Madura selama 5 menit 11 detik. Jalur totalitas gerhana melintasi wilayah tengah Jawa, daerah dengan konsentrasi penduduk terbesar di Indonesia, selama 3-5 menit.
Ketakutan yang muncul saat gerhana masa itu direkam Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam tulisannya, “Akhirnya Batara Kala Muncul Juga” dan YB Mangunwijaya atau Romo Mangun dalam “Pikiran-pikiran tentang Suatu Gerhana” di Kompas, 16 Juni 1983.
Ketakutan terhadap gerhana itu dinilai Gus Dur bukan kepada probabilitas akibat yang ditimbulkannya, tetapi muncul karena adanya kemungkinan bahaya yang jauh lebih besar. Gus Dur mencontohkan sikap seorang lurah yang memerintahkan anak-anak diikat agar tak keluar rumah saat gerhana, dan adanya seorang dokter yang menganjurkan mata kambing dan hewan ternak lainnya ditutup agar tidak buta.
Kondisi itu menunjukkan adanya ketakutan lebih besar yang dialami pejabat dan profesional hingga tingkat terendah yang diberi wewenang kekuasaan oleh pemerintah. Gus Dur mengibaratkan ketakutan itu sebagai kemunculan Batara Kala di bidang hukum dan politik.
Sementara Romo Mangun mengingatkan, ketakutan sering menelurkan kejahatan. Karena itu, sebelum pencerdasan dilakukan, rasa atau suasana takut itu harus dihilangkan dulu.
Kegembiraan
Kini, pemerintah justru mengajak masyarakat merayakan bersama gerhana. GMT 2016 yang melintasi selatan Sumatera, selatan Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara itu justru menjadi “undangan” bagi 100.000 turis asing dan 5 juta turis Nusantara untuk menikmati kegelapan sekejap nan eksotis di pagi hari.
Dengan “cuaca” kultural yang membaik itu, Karlina berharap masyarakat mulai diajak mengubah perilakunya agar semakin mengedepankan rasionalitas dan keilmuan. “Cuaca kultural sudah berubah, tetapi perilaku-perilaku kultural kita belum berubah,” katanya.
Salah satu contoh perilaku kultural yang tidak berubah itu adalah cara masyarakat dalam menyikapi bencana. Banjir, longsor, atau gempa masih dianggap sebagai peristiwa alam yang memberikan bencana. Padahal, alam hanya menjalankan konsekuensi perubahan yang dipicu ulah manusia.
“Peristiwa alam bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dipahami. Alam memiliki sifat tersendiri yang harus terus dipahami manusia,” tambahnya.
Karena itu, gerhana kali ini bisa dijadikan sebagai kesempatan untuk mencerdaskan masyarakat guna terus memahami sifat alam. Alam berubah karena manusia yang mengubahnya.
Meski upaya pencerdasan lebih tertuju pada rasionalitas, Karlina menilai, mitologi tak bisa ditinggalkan begitu saja. Justru itu menjadi tugas manusia saat ini untuk menafsirkan mitologi menjadi nilai-nilai yang relevan. Upaya pencerdasan itu harus dilakukan dengan tetap menjaga tradisi agar bermakna dan dibingkai menjadi sebuah gerak kebudayaan.
Selama ini, kebudayaan menjadi bidang perhatian yang dilemahkan. Kebudayaan tidak pernah ditafsir dan dikodifikasi. Namun, demi tujuan tertentu, kebudayaan sering kali diagung-agungkan dan sekadar jadi panggung.
Kodifikasi kebudayaan menjadi tugas awal yang sangat penting sehingga data basis kebudayaan di berbagai tempat akan terdokumentasikan. Melalui kodifikasi, kebudayaan bisa ditafsir untuk menghadirkan nilai-nilai yang relevan sesuai zaman, seperti menunjang kepentingan lingkungan hidup, ekonomi adil, atau ekonomi yang ekologis.
Budaya kerja
Pegiat kebudayaan Radhar Panca Dahana melihat fenomena gerhana kali ini sebagai peristiwa jagat besar (makrokosmos) yang bakal memengaruhi jagat kecil (mikrokosmos). Pengaruh itu bisa memunculkan hal-hal baik bagi manusia yang besarannya sangat bergantung pada tingkat kemampuan manusia menyatukan dirinya dengan alam.
Radhar tidak merinci pengaruh yang bakal ditimbulkan dari peristiwa langit atau jagat besar seperti GMT nanti terhadap kehidupan manusia di Bumi sebagai jagat kecil. Namun, ia mengingatkan peristiwa apa pun di langit akan memberikan pengaruh pada kehidupan di Bumi.
Meski demikian, apa pun pengaruhnya, Radhar berulang kali mengingatkan pentingnya membangkitkan kembali budaya bahari bangsa. Jika budaya bahari itu dihidupkan lagi dan nilai-nilainya terus-menerus digali, hal itu diyakini akan membawa perubahan besar bagi bangsa.
“Dalam budaya bahari, agama tidak akan saling berkelahi,” katanya.
Budaya bahari yang dimiliki bangsa Indonesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi itu menunjukkan penyatuan manusia dengan alam yang diistilahkan Radhar sebagai manunggaling kawula lan gusti atau menyatunya rakyat dengan penguasa. Meski demikian, Radhar mengingatkan, ngomong dan pidato bukan bagian kerja dari budaya bahari.
Karena itu, GMT kali ini semestinya menjadi momentum bagi penguasa untuk mulai menyatu dengan rakyat dan bekerja bersama rakyat. “Ada falsafah hidup dalam bahasa Jawa, rame ing gawe, sepi ing pamrih (giat bekerja tanpa pamrih). Seperti itulah semestinya budaya negeri bahari kita,” katanya.–NAWA TUNGGAL
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Maret 2016, di halaman 1 dengan judul “Selamat Jalan Mitos, Selamat Datang Nalar”.