Selamat Datang Spesies Baru Orangutan

- Editor

Minggu, 5 November 2017 - 13:50 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) dinobatkan sebagai spesies ketiga dari kelompok genus orangutan, seiring dengan dilaporkannya hasil penelitian bersama terkait spesies itu ke jurnal internasional Current Biology. Upaya menjaga habitat spesies itu penting karena saat ini berada dalam status kritis dan terancam punah sebab hanya ada 800 individu.

Penelitian yang melibatkan sejumlah perguruaan tinggi di Indonesia dan internasional, seperti Universitas Nasional, Institut Pertanian Bogor (IPB), University of Zurich, dan lembaga Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Programme, itu dimulai pada 1997. Riset tersebut didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Riset itu diawali informasi adanya sejumlah orangutan yang tinggal di selatan Danau Toba. Para peneliti, baik asal Indonesia maupun luar negeri, kemudian masuk ke wilayah konservasi Batang Toru, yang terletak di tiga kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Barat, dan Tapanuli Selatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penelitian besar di bidang genetika itu terus berkembang. ”Hingga kami simpulkan, ada populasi orangutan sumatera yang terletak di habitat terisolir di Batang Toru. Ini kategori spesies baru di luar spesies yang ada, orangutan sumatera (Pongo abelli) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus),” kata peneliti dari IPB, Puji Rianti, pada jumpa pers di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian KLHK, Jakarta, Jumat (3/11).

Ini kategori spesies baru di luar spesies yang ada, orangutan sumatera (Pongo abelli) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).

Puji menambahkan, penobatan orangutan tapanuli sebagai spesies baru orangutan menyusul terpaparkannya perbedaan genetik orangutan itu dengan orangutan sumatera dan orangutan kalimantan. Spesies tersebut juga diduga merupakan keturunan dari nenek moyang mereka yang bermigrasi dari dataran Asia pada masa Pleistosen, sekitar 3,4 juta tahun yang lalu.

Menurut Puji, pihaknya juga menambah data untuk memperkuat dugaan, bekerja sama dengan Anton Nurcahyo, yang mengukur tengkorak dan tulang belakang sebagai bagian dari studi doktoralnya di Australian National University. Kerja sama tersebut juga melibatkan pakar taksonomi primata dari Australia, Colin Groves.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, diperkenalkan sebagai spesies baru dari kelompok genus orangutan, di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Jumat (3/11).

Sejumlah perbedaan fisik yang dimiliki orangutan tapanuli dengan dua spesies lainnya adalah tengkorak dan tulang rahang yang lebih halus. Rambutnya pun lebih tebal dan keriting. Orangutan tapanuli jantan juga memiliki kumis dan jenggot yang menonjol, dengan bantalan pipi berbentuk datar yang dipenuhi rambut halus berwarna pirang.

Sementara itu, dari perilaku, panggilan jarak jauh (long call) jantan dewasa orangutan tapanuli berbeda dengan panggilan dari kedua jenis lainnya. Mereka juga memakan tumbuhan yang belum pernah tercatat sebagai jenis pakan, termasuk biji aturmangan (Casuarinaceae), buah sampinur tali/bunga (Podocarpaceae), dan agatis (Araucariaceae).

Peneliti dari Universitas Nasional, Sri Suci Utami Atmoko, menuturkan, yang perlu digarisbawahi, ini bukanlah penemuan spesies baru, melainkan pengategorian atau penyimpulan hasil penelitian jangka panjang di Batang Toru karena, sebenarnya, populasi itu sudah ada sejak lama.

Suci menambahkan, tantangan ke depan ialah bagaimana menjaga habitat orangutan tapanuli, yang tersisa sekitar 800 individu. Sebagai perbandingan, saat ini ada sekitar 13.000 individu orangutan sumatera dan 50.000-60.000 individu orangutan kalimantan. Ketiga spesies orangutan tersebut berstatus kritis atau terancam punah.

”Sekarang (orangutan tapanuli) sudah menjadi sorotan dunia. Ada tantangan baru untuk Sumatera karena di sana masih ada APL (area penggunaan lain). Selain dijadikan hutan lindung, banyak jalan untuk menyambung fragmen habitat, seperti cagar alam dan suaka margasatwa. Habitat harus dimantapkan serta dijaga dengan baik,” tutur Suci.

Namun, Suci mengingatkan, upaya menjaga habitat orangutan tapanuli jangan sampai menimbulkan kecemburuan dengan masyarakat. Salah satunya, karena spesies itu merupakan penyuka durian sehingga jangan sampai ada konflik dengan masyarakat.

Upaya menjaga habitat orangutan tapanuli jangan sampai menimbulkan kecemburuan

Adapun ekosistem Batang Toru seluas 150.000 hektar. Namun, wilayah yang didiami orangutan tapanuli kurang dari 110.000 hektar. Sebanyak 85 persen dari wilayah persebaran merupakan hutan lindung, sedangkan 15 persen berstatus APL. Sebagian besar habitat orangutan tapanuli berada 850 meter di atas permukaan laut.

Menurut Suci, di Indonesia, ada 58-59 spesies primata (satu masih dipertanyakan) atau tertinggi di Asia. Dengan dinobatkannya orangutan tapanuli sebagai spesies baru, ada 59-60 spesies primata di Indonesia.

Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme Ian Singleton mengemukakan, sebelumnya, hanya Republik Demokratik Kongo yang memiliki tiga spesies kera besar, yakni simpanse, gorila, dan bonobo. Namun, kini, dengan dinobatkannya spesies orangutan tapanuli, Indonesia menyamai Republik Demokratik Kongo.

”Lebih hebat lagi, di dunia ini, hanya di Sumut ada dua spesies orangutan dalam satu provinsi. Warga Sumut harus berbangga,” katanya.

Indonesia menyamai Republik Demokratik Kongo sebagai negara yang memiliki tiga spesies kera besar.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Sejumlah pembicara di antaranya Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno, peneliti Institut Pertanian Bogor Puji Rianti, dan peneliti Universitas Nasional Sri Suci Utami Atmoko menunjukkan foto Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) dalam jumpa pers di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Jumat (3/11). Jumlah orangutan tapanuli yakni sekitar 800 individu, dengan status kritis.

Ian menekankan, saat ini, jumlah orangutan tapanuli sangat sedikit dan terpisah dalam tiga blok. Karena itu, penting membuat koridor yang menyambungkan blok-blok tersebut dalam upaya menjaga habitat. Juga masih ada habitat yang belum aman karena masih ada APL. ”Setiap hektar dan setiap individu sangat penting,” ucapnya.

Ke depan, Ian pun berharap dapat berdialog dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mewujudkan sistem pengelolaan yang baik. Nantinya diharapkan ada sistem yang akan didukung semua pemangku kepentingan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno menuturkan, dalam waktu dekat, pihaknya akan meninjau langsung ke lapangan. ”Ini tantangan bagaimana kita mengelola bersama, baik masyarakat, sektor privat, maupun para peneliti. Nantinya, manajemen pengelolaannya harus efektif,” ujarnya.

Wiratno mengatakan, cara-cara baru dalam konservasi antara lain scientific base dan community base. Pihaknya menyetujui bahwa yang harus benar-benar dibangun ialah patroling system yang efektif.–ADITYA PUTRA PERDANA

Sumber: Kompas, 3 November 2017

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum
3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum
Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023
Tiga Ilmuwan Penemu Quantum Dots Raih Nobel Kimia 2023
Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023
Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023
Berita ini 0 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Senin, 13 November 2023 - 13:46 WIB

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 November 2023 - 13:42 WIB

3 Ilmuwan Menang Nobel Kimia 2023 Berkat Penemuan Titik Kuantum

Senin, 13 November 2023 - 13:37 WIB

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 November 2023 - 05:01 WIB

Penghargaan Nobel Fisika: Para Peneliti Pionir, di antaranya Dua Orang Perancis, Dianugerahi Penghargaan Tahun 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:52 WIB

Dua Penemu Vaksin mRNA Raih Nobel Kedokteran 2023

Senin, 13 November 2023 - 04:42 WIB

Teliti Dinamika Elektron, Trio Ilmuwan Menang Hadiah Nobel Fisika

Berita Terbaru

Berita

UII Tambah Jumlah Profesor Bidang Ilmu Hukum

Senin, 13 Nov 2023 - 13:46 WIB

Berita

Profil Claudia Goldin, Sang Peraih Nobel Ekonomi 2023

Senin, 13 Nov 2023 - 13:37 WIB