Makin banyak orangtua yang memilih mendidik sendiri anak-anaknya. Putra-putri mereka pun lepas dari sekat-sekat ruang kelas. Sebagai ganti mendengarkan tuturan guru, anak belajar mandiri atau dengan bantuan ayah dan ibunya. Ada beragam alasan hingga akhirnya sekolah di rumah alias homeschooling menjadi pilihan.
Setiap pukul 08.00 teng! Yarel Yahu (17) dan Tsefan Yahu (15) naik ke lantai dua rumah, menuju ruang belajar bercat biru. Sebuah meja belajar, lemari kayu berisi buku-buku di sudut ruangan, dan dua buah kursi belajar tersedia di dalamnya.
Hampir sepanjang hari, Yarel dan Tsefan menghabiskan waktu di ruangan itu. Waktu belajar mereka memang tidak ditentukan, bisa saja sepanjang hari atau di sela-sela makan siang dan istirahat sebentar pada sore hari. Dari pukul 17.00 hingga 19.00, mereka boleh menonton film dengan dipantau orangtua mereka, Agustinus D Ndun (50) dan Antoneta Solsepa (46).
Cara belajar kedua bersaudara tersebut berbeda dengan anak sekolah umumnya. Yarel dan Tsefan kadang ditinggalkan untuk belajar sendiri selama Agustinus mengajar di Sekolah Tinggi Teologi Immanuel Nusantara, Jakarta. Sepulang bekerja, Agustinus memeriksa hasil pelajaran mereka dan menguji kepahaman terhadap materi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika ada yang tak dimengerti, mereka mencarinya di internet atau bertanya kepada orangtua. “Biasanya saya mempelajari satu buku sampai selesai. Baru pindah ke pelajaran lain,” kata Yarel yang suka pelajaran Matematika. Pembelajaran Yarel dan Tsefan mengacu pada Kurikulum 2006 di sekolah sehingga semua buku bacaan dan pelajaran sama dengan di sekolah formal.
Antoneta bercerita, sebelum pindah rumah dua bulan lalu, di rumah lamanya ada lapangan basket sehingga anak-anak bisa bermain di rumah. Sekarang, Yarel dan Tsefan akan masuk klub basket di Bekasi, Jawa Barat. Yarel juga ikut les vokal karena ingin menjadi penyanyi.
Yarel dan Tsefan kembali belajar di kelas saat mengikuti kursus bahasa Inggris. “Tetapi, kadang mereka diolok-olok teman di tempat kursus dan dibilang ‘anak mami’. Sampai di rumah, Yarel mengamuk dan tak mau mengerjakan tugas,” kenang Antoneta.
Sejak kecil
Mereka menjalani sekolah di rumah sejak berusia 10 tahun. Yarel sebetulnya pernah mencoba belajar di sekolah dasar swasta di Bekasi hingga kelas III dan Tsefan selama tiga bulan. Namun, Agustinus merasa, di sekolah mereka tak belajar maksimal dan lebih banyak bermain. Lingkungan sekolah juga dirasa kurang aman dari kekerasan dan pelecehan seksual. Akhirnya, ia dan istri memutuskan mengajar sendiri anak di rumah.
Kata Agustinus, saat awal bersekolah di rumah, dia berusaha menciptakan suasana sekolah bagi anak-anaknya. Sebuah ruangan disulap menjadi kelas. Yarel dan Tsefan belajar layaknya anak-anak di sekolah dengan duduk di bangku dan ada meja kayu serta disediakan papan tulis di depan kelas. Mereka belajar memakai seragam. Itu berlangsung sampai kelas IV.
“Biar mereka merasa seperti sekolah sungguhan. Kalau diingat-ingat memang lucu, ha-ha-ha,” ujarnya. Tentu saja, sekarang mereka tidak lagi memakai seragam.
Untuk menjaga tontonan dan pergaulan anak-anaknya, Yarel dan Tsefan belum diberi telepon seluler dan selalu diawasi saat menggunakan internet. Tontonan juga dibatasi untuk film dan acara berita. Jika bosan belajar dan butuh hiburan, mereka diberi waktu untuk menonton bioskop atau bersenang-senang.
“Di rumah, kami bisa memantau anak-anak, sedangkan di sekolah kami tidak bisa terus mengawasi mereka,” ujar Agustinus di Bekasi, Rabu (11/3). Selama di rumah, mereka bisa mengontrol pembelajaran dan melihat langsung perkembangan belajar anak.
Selain itu, Agustinus mengakui, biaya sekolah bisa ditekan dan dia menyimpannya untuk rencana masa depan anak-anak. Dia hanya mengeluarkan uang untuk membeli buku, tanpa harus memikirkan iuran sekolah, jajan, transportasi, dan lain-lain.
“Mereka juga lebih sehat karena makan di rumah,” ujar Agustinus yang yakin orangtua memegang peranan sampai 90 persen dalam mendidik anak.
Sulit cari sekolah
Lain lagi dengan metode pembelajaran yang diterapkan Anastasia Rima (41) kepada kedua putranya, Raka Ibrahim (18) dan Sulaiman Deli Ramadhani (14). Baginya, pendidikan harus bisa membuat anak bahagia.
Awalnya, Anastasia memasukkan Raka ke sekolah alam di Bandung, tetapi setelah dua tahun sekolah itu tutup. Setelah itu, anak-anak Anastasia sempat berganti-ganti sekolah. Namun, Anastasia tidak menemukan sekolah baru yang cocok bagi sang anak sehingga memutuskan menjadi pengajar anak-anaknya.
Dia memilih menerapkan unschooling, yakni anak-anak bebas memilih yang ingin dipelajari tanpa paksaan dan larangan. Tidak ada buku pelajaran, metode pelajaran, tugas, dan ujian.
“Mereka boleh baca buku apa saja, menonton, dan membuat penelitian sendiri. Tetapi, semua yang mereka lakukan harus dibuatkan resume dan dipresentasikan,” ujarnya. Metode ini, menurut dia, paling tepat karena Raka dan Deli belajar berargumentasi dan mengerti konsekuensi dari pilihan mereka.
“Misalnya, mereka ingin tahu cara membuat tempe atau mi. Mereka bisa mencarinya dengan membaca buku, internet, atau menonton televisi,” kata wanita yang bekerja sebagai penerjemah itu.
Untuk sosialisasi, Raka senang berkumpul dengan komunitas-komunitas tertentu untuk berbagi pikiran dan ilmu. Saat berusia 15 tahun, dia sudah magang di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia dan kesetaraan jender. Saat ini, Raka bersiap mencari tempat tinggal baru dan melaksanakan rencana hidupnya. “Saya ingin berkuliah agar dapat pekerjaan dengan gaji menjanjikan,” kata Raka.
Sebagai orangtua tunggal, Anastasia merasa telah memilih jalan benar untuk mendidik anak-anaknya. Dengan menempuh jalan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, dia ingin fokus menyiapkan anak-anaknya meraih mimpi dan tujuan hidupnya sendiri.
Mohammad Siddiq, yang keempat anaknya bersekolah di rumah, berpendapat senada. Baginya, sekolah di rumah merupakan salah satu alternatif pendidikan bagi masyarakat. Selama ini, masyarakat menganggap pendidikan hanya bisa dicapai melalui jalur formal, yaitu sekolah konvensional.
“Padahal, ada berbagai jenis layanan pendidikan, mulai dari sekolah reguler, sekolah fleksibel, sekolah alam, pesantren, hingga sekolah rumah. Semua tinggal disesuaikan dengan kebutuhan anak dan orangtua,” ujarnya. (B06/B05/DNE)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2015, di halaman 12 dengan judul “Pilihan Keluar dari Dinding Kelas”.
————————————
Kumpul-kumpul Menjaring Teman
Bagi anak-anak sekolah rumah, saatnya bermain dan bercengkerama dengan kawan bukan ketika bel istirahat berdering, seperti di sekolah umumnya. Sebagai gantinya, anak-anak sekolah rumah bertandang untuk berinteraksi, berteman, atau berkegiatan ekstrakurikuler di halaman berumput hijau di samping rumah.
Pada suatu pagi, di halaman berumput hijau sebuah rumah di kawasan Cipinang Muara, Jakarta Timur, tujuh anak laki-laki dan perempuan berumur mulai dari 6 tahun hingga 14 tahun berdiri berjajar. Tegap. Mata mereka memicing menatap papan-papan target yang berjarak 5 meter di depan, sementara tangan mereka meregang, merentangkan tali busur panah.
Ketika aba-aba diteriakkan oleh pelatih dari Al-Fath Archery Club, serentak anak-anak panah melesat. Ada yang menancap di target, ada pula yang terbang melewati target dan mendarat di tanah yang ditutupi rerumputan. Setelah itu, setiap anak mengambil anak panah yang diletakkan di sebelah kaki mereka dan bersiap lagi membidik.
Kegiatan memanah itu dilakukan anak-anak yang bersekolah di rumah (homeschooling). Satu kali dalam sepekan, mereka berkumpul di rumah itu untuk beraktivitas bersama, seperti memanah dan pramuka.
“Orangtua anak-anak ini bergabung di dalam Klub Oase, jaringan para orangtua yang menyekolahkan anak-anak mereka di rumah,” kata Mira Julia, sang pemilik rumah sekaligus salah satu pendiri Klub Oase, di Jakarta, Rabu (11/3). Ketiga anak Mira, yakni Yudhis (14), Tata (10), dan Duta (6), juga ikut aktivitas panahan pagi itu.
Hari itu, rumah Mira dan suaminya, Sumardiono yang akrab dipanggil Aar, dipenuhi 30 anak. Kegiatan mereka bermacam-macam. Mereka yang selesai giliran memanah masuk ke rumah dan duduk di lantai.
Di salah satu pojok rumah, empat anak bermain Dungeons and Dragons, sebuah permainan petualangan dari Amerika Serikat.
Seorang anak membaca instruksi permainan dari sebuah sabak elektronik, sementara teman-temannya menulis rumus di atas selembar kertas.
Permainan itu tidak hanya melibatkan Matematika, tetapi juga penalaran berpikir dan kemampuan bernegosiasi. Di ruang tengah, anak-anak balita bermain menyusun papan teka-teki, balok-balok huruf, dan ada pula yang membaca buku cerita bersama orangtua mereka.
Berjejaring
Para orangtua yang mendidik sendiri anak-anak mereka membentuk jaringan, salah satunya ialah Klub Oase. Klub itu beranggotakan 25 keluarga yang berdomisili di Jakarta, Bekasi, hingga Cilegon, Jawa Barat.
Mereka berkumpul sekali dalam sepekan agar anak-anak bertemu untuk belajar dan bermain. Adakalanya, orangtua dengan kelebihan tertentu ikut membimbing anak-anak. Kegiatan pramuka, misalnya, dibina oleh Aar dan orangtua lainnya, Mohammad Siddiq, seorang dosen Bahasa Indonesia di Universitas Ibnu Khaldun yang sekaligus pembina pramuka.
Kesan individualis, pendiam, dan tak pandai bersosialisasi yang selama ini melekat pada anak sekolah rumah berupaya mereka hilangkan. Selagi anak-anak beraktivitas di pekarangan samping rumah Mira dan Aar, para orangtua berbagi cerita dan pengalaman dalam mendidik anak-anak mereka. Tentu tidak untuk menggurui orangtua lain agar mencoba metode yang mereka pakai, tetapi sekadar memberi informasi dan menceritakan keluh kesah.
“Anak saya, Kiran, baru berumur 5 tahun. Kira-kira, apakah saya harus menyuruh dia belajar atau bermain-main dulu? Kalaupun belajar, kurikulumnya harus seperti apa?” tanya Rahdian, seorang guru les bahasa Indonesia untuk ekspatriat.
Kegalauan Rahdian dijawab para orangtua lain. Semuanya bercerita tentang awal-awal mendidik anak mereka. Pada masa awal itu, mereka masih kebingungan. Bahkan, membaca buku dan makalah ilmiah tentang pendidikan di rumah kadang malah membuat mereka semakin bingung karena ada begitu banyak teori dan metode.
“Makanya, setiap pengalaman orangtua dan anak dibagi dengan sesama praktisi sekolah rumah supaya kita semua bisa saling belajar,” ujar Aar.
Tak mudah
Ketiga anak Mira dan Aar, yaitu Yudhis, Tata, dan Duta, bersekolah di rumah sedari usia taman kanak-kanak. “Setelah memperhatikan sistem pendidikan nasional dengan kepribadian anak-anak saya, tampaknya mereka lebih cocok bersekolah di rumah,” ujar Aar yang pernah bekerja sebagai guru SMA.
Menurut Aar, di sekolah konvensional, sulit bagi anak untuk berkembang sesuai bakat dan minat karena ada aturan-aturan sekolah yang mewajibkan anak bertingkah serupa dengan yang lain.
“Keputusan untuk sekolah di rumah itu diambil setelah berembuk dengan anak-anak. Kebetulan mereka setuju dan akhirnya kami merencanakan kurikulum pembelajaran bersama-sama,” jelasnya.
Mira menjelaskan, tidak ada satu pakem baku mengenai cara mendidik anak di sekolah rumah. Kuncinya ialah waktu dan kesepakatan antara orangtua dan anak. Orangtua dan anak mengatur waktu pembelajaran sesuai dengan jadwal kerja ayah dan ibu.
“Kalau pengaturan waktunya baik, orangtua yang keduanya berkarier tetap bisa efektif mendidik anak. Kalau pengaturan waktu sembarangan, meskipun kedua orangtua berada di rumah, pembelajaran tidak optimal,” paparnya.
Setiap target pembelajaran ditentukan keluarga masing-masing. Jika targetnya memasukkan anak ke universitas, kurikulum Kejar Paket A, B, dan C dimasukkan ke dalam materi pembelajaran. Namun, metode pengajaran disesuaikan dengan karakteristik anak, waktu, dan kemampuan orangtua.
“Melakukan sekolah rumah itu sulit sekali. Orangtua harus benar-benar siap. Baik dari segi mental, waktu, pengetahuan, dan ruang. Jadi, melakukannya tidak boleh main-main karena orangtua dituntut terus menambah ilmu dan mengawasi anak,” kata Aar yang sudah menerbitkan tiga buku tentang sekolah rumah, yaitu Apa itu Homeschooling?, Homeschooling Lompatan Cara Belajar, dan Warna-warni Homeschooling.
Aktivitas kelompok
Berbagai les sesuai minat juga menjadi pilihan anak-anak sekolah rumah untuk melengkapi pendidikan yang diberikan orangtua dan menjalin pertemanan. Bagi Noble Diano Rizky Tansri (16), misalnya, aktivitas kelompok menjadi sangat penting. Agar dapat bersosialisasi dengan teman sebayanya, Noble memilih ikut sekolah sepak bola Two Touch Football Academy. Dua kali dalam seminggu Noble rutin hadir di lapangan bola.
“Supaya saya bisa mengembangkan minat sambil bersosialisasi,” ujar Noble.
Noble dan teman-teman kompleksnya sering pula menghabiskan akhir pekan bersama di rumahnya dengan gitar akustik kesayangannya. Ada tiga gitar akustik yang ia miliki, satu di antaranya ialah gitar akustik elektrik yang selalu ia gunakan ketika les musik. “Kalau masih bosan, kami main gim aja di rumah, he-he-he.”
Tak ada jadwal dalam proses belajar Noble selama ini. Dia mengaku belajar dengan waktu tak menentu.
“Kadang pagi dan bisa juga malam. Kadang di ruang belajar, di ruang tamu, bahkan di garasi mobil,” ujar Noble.
Dengan waktu belajar begitu fleksibel, Noble merasa bebas mengekspresikan bakatnya. Selain sepak bola, dia pun gemar bermain gitar dan drum. Dari kegiatan-kegiatan itu, Noble mendapat teman. Kumpul-kumpul teman sebaya tersebut juga dia jadikan momen berbagi pengalaman.
Namun, Noble tak hanya sibuk menjalani hobi dan minatnya. Saat ini, dia sedang mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan ujian nasional. Ada tujuh mata pelajaran yang harus dikuasainya, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, dan Bahasa Inggris.
Noble berencana untuk berkuliah. “Sekalian nyari teman baru saat kuliah nanti,” ujarnya.(DNE/B02)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Maret 2015, di halaman 12 dengan judul “Kumpul-kumpul Menjaring Teman”.
————————
Kelas Komunitas, Sefleksibel di Rumah
Kini, sekolah rumah tak lantas sepenuhnya harus di dalam rumah. Sebagian pembelajaran anak dapat “dititipkan” di kelas-kelas komunitas sekolah rumah. Alhasil, bermunculan wadah pendidikan yang sekilas ada miripnya dengan sekolah formal, tetapi dengan fleksibilitas layaknya belajar di rumah.
Gedung dua lantai di sudut gang di Perumahan Graha Indah II, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, begitu ramai. Di salah satu ruangan, tiga kelompok anak yang terdiri dari 2 hingga 4 anak usia belasan tahun memandang serius layar laptop. Dari komputer itulah terdengar suara yang menjelaskan tulisan di layar.
Seorang wanita berusia 40-an mengawasi mereka dengan berjalan ke setiap kelompok dan berdiskusi. Waktu itu, sekitar pukul 12.30, mereka tetap fokus walaupun setengah jam lagi waktu belajar habis.
Mereka mendiskusikan materi yang tertera di layar sebelum kemudian berkemas membereskan kelas. Para peserta tingkat enam itu akan mengikuti ujian Paket C pada April 2015.
Di lantai atas, anak-anak tingkat dua sedang belajar materi Ilmu Pengetahuan Sosial tentang batas wilayah dan arah mata angin. Sang pengajar mengajak anak-anak menyanyikan bersama-sama lagu yang menyebutkan arah mata angin.
Mereka adalah anak-anak didik Komunitas Sekolah Rumah Pelangi. Anak yang tergabung dalam Pelangi berjumlah 200 orang. Namun, yang datang setiap hari untuk belajar hanya sekitar 80 orang. Selebihnya, memilih belajar dalam jaringan (online). Mereka bisa belajar dengan guru elektronik di komputer masing-masing serta mengirimkan tugas dalam bentuk resume dan video kepada guru. Mereka yang ikut pembelajaran di kelas datang setiap Senin-Jumat pukul 07.00-13.00.
Orume Silvy Nyama (16) mengikuti Sekolah Rumah Pelangi sejak taman kanak-kanak. Gadis keturunan Kamerun ini lahir di Indonesia dan sekarang hidup bersama ketiga kakaknya. Ayah Silvy bekerja di Makassar sebagai pelatih sepak bola dan ibunya dirawat karena sakit sejak Silvy balita.
“Saya sekolah di Pelangi karena sekolahnya dekat dari rumah,” ujar gadis bertinggi 160 sentimeter dan berkulit gelap itu di Tangerang Selatan, Jumat (13/3). Silvy menyukai pelajaran Matematika dan Kimia serta berencana melanjutkan pendidikan di jurusan pertambangan atau perminyakan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, setelah lulus. Di Pelangi, Silvy duduk di tingkat enam.
Menurut Kepala Sekolah Pelangi Erlina, Silvy termasuk anak yang pintar dan pandai bergaul. “Anak seperti Silvy akan rawan perundungan di sekolah formal. Perbedaan warna kulit sering menjadi olok-olok,” ujar Erlina.
Berbeda dengan Silvy, Moris Peuru (14) baru lima bulan bergabung di Pelangi. Moris masuk ke tingkat empat dan juga bersiap untuk mengikuti ujian Paket B pada Mei 2015. Sebelumnya, ia bersekolah di SMP Negeri 9 Tangerang Selatan dan aktif di klub basket.
Namun, tujuh tahun lalu keluarganya tertimpa masalah besar dan Moris pun harus membantu keluarganya sehingga pelajarannya di sekolah tertinggal. Akhirnya, ia memutuskan memilih Pelangi karena dekat dengan rumahnya.
Di sekolah rumah, pelajaran yang diikutinya tidak sepadat pelajaran di sekolah formal. Dia juga tetap bisa aktif bermain basket karena ia bertekad untuk masuk ke klub basket nasional Indonesia setelah lulus sekolah.
“Kalau di sekolah yang dulu, ada 11 mata pelajaran. Di sini hanya enam mata pelajaran jadi lebih fokus,” ujar Moris.
Peserta Komunitas Sekolah Rumah Pelangi program daring berasal dari berbagai daerah di dalam atau di luar negeri, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Yogyakarta, Malaysia, Jepang, Oman, dan Hongaria. Anak-anak dari luar negeri ini biasanya anak Indonesia yang kesulitan menyesuaikan diri sehingga memilih sekolah rumah di Indonesia. Pelajar yang datang juga bervariasi, mulai dari artis, atlet, tetangga, hingga anak dari panti asuhan.
Erlina mengatakan, anak yang belajar di Pelangi membayar biaya pendidikan bervariasi sekitar Rp 100.000 hingga Rp 700.000 per bulan. Saat ini, terdapat 10 pengajar.
“Jika ada materi yang tidak dimengerti, anak bisa bertanya kepada orangtua atau memanggil tutor,” kata Erlina. Untuk mendatangkan tutor, orangtua harus menyiapkan Rp 250.000 untuk mengajar selama 2 jam.
Mirip sekolah formal
Sebuah rumah lain, tepatnya di Jalan Tebet Timur, Jakarta, juga disulap menjadi tempat anak-anak belajar. Ruangan di rumah itu didesain menjadi ruang kelas. Salah satu ruangan kelas diisi enam orang yang salah satunya menjadi guru.
Meski tidak berseragam, kelima anak tersebut sedang bersekolah. Mereka merupakan peserta didik di Homeschooling Primagama (HSPG).
“Di sini enggak semua mata pelajaran harus dipelajari. Jadi, tidak pusing,” kata Obelia, peserta didik HSPG. Sekolah rumah itu hanya memiliki 38 peserta didik. Karena kesibukannya sebagai atlet renang DKI Jakarta, Obelia memilih sekolah rumah.
Manajer HSPG Area Jabodetabek Arif Handono mengatakan, HSPG menyediakan waktu belajar tiga kali seminggu, yang jadwalnya dipilih oleh peserta didik itu sendiri. Tempat belajar disesuaikan keinginan mereka untuk memilih kelas individu, belajar di rumah, atau kelas komunitas, yakni belajar di kelas layaknya sekolah formal. Biaya pendidikan Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. “Sekolah rumah itu menjadi alternatif untuk tetap mendapatkan pendidikan,” ujarnya.
Di komunitas sekolah rumah Vickery Christian Academy (VCA), para peserta didik tetap bersekolah di kelas dan berseragam layaknya sekolah formal. Namun, anak didik hanya datang ke sekolah tiga kali seminggu, selebihnya orangtua harus membantu anak dalam belajar.
Principal VCA Helen Ongko mengatakan, orangtua harus berperan 50 persen dalam pendidikan. Sebelum anak menjadi peserta didik di VCA, orangtua harus menandatangani surat pernyataan untuk mendampingi pembelajaran anak di rumah dan tak memberikan bimbingan belajar terkait mata pelajaran.
“Ini cara kami untuk ‘memaksa’ orangtua mendampingi anaknya,” katanya. Bahkan, 90 persen dari 40 guru di sekolah rumah itu juga orangtua.
VCA menggunakan Kurikulum Alpha Omega Academy, suatu komunitas sekolah rumah di Amerika Serikat. Ketika lulus, peserta didik mendapat ijazah VCA dan nasional dengan syarat mengikuti ujian nasional Paket A, B, atau C. Biaya pendidikan Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta.
Mata pelajaran di sekolah rumah itu pun didesain berbeda daripada sekolah umumnya. Sejak usia dini, anak sudah mendapatkan pelajaran logika, debat, dan pidato. Simak saja aksi salah satu murid.
Seperti Jordan yang sudah mahir berpidato di hadapan belasan temannya.
“Selamat siang, saya akan bercerita tentang hujan asam,” ujar Jordan (12). (B05/B06)
——–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 12 dengan judul “Kelas Komunitas, Sefleksibel di Rumah”.
———————-
Sekolah Rumah Jadi Alternatif
Sekolah rumah menjadi alternatif dari sekolah formal yang tidak mampu mengakomodasi sepenuhnya kebutuhan anak dan keinginan tertentu orangtua. Namun, harus ada pedoman untuk setiap rumah sekolah agar potensi anak berkembang dengan baik.
Hal tersebut dikemukakan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Sofia Hartati, akhir pekan lalu. Pedoman itu berisi antara lain kondisi lingkungan dan fasilitas sekolah rumah, guru atau orangtua yang berpendidikan, dan konten pengajaran yang dapat mengembangkan bakat tertentu anak.
“Pemerintah juga harus mengawasi sekolah rumah jangan sampai metode mengajarnya salah,” ujar Sofia.
Sofia menambahkan, sekolah rumah harus mengembangkan potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. “Kalau membatasi gerak sosialisasi anak, berarti sekolah rumah itu bermasalah,” katanya.
Pindah ke sekolah formal
Di samping itu, pemerintah di berbagai level juga mesti mempermudah pelaku sekolah rumah yang ingin pindah ke jalur pendidikan formal. Selama ini, peserta sekolah rumah memiliki kesulitan saat ingin berpindah ke sekolah formal dan ketika akan mengikuti ujian nasional (UN).
Hal senada diungkapkan Ketua I Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Budi Trikorayanto di Jakarta, Senin (9/3). Pendidikan sekolah rumah merujuk pada standar nilai dan kompetensi pemerintah sehingga anak berkesempatan ikut ujian kesetaraan dengan ujian paket atau ujian nasional.
Namun, prosedur mendaftar UN sering terkendala di pemerintahan, “Banyak sekolah yang menolak anak untuk menumpang UN karena kebijakan dari sekolah atau dinas pendidikan di daerah tersebut,” ujar Budi. Anak sekolah rumah juga tidak memiliki nomor induk siswa sehingga sering dianggap anak putus sekolah.
Peraturan Menteri Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolah Rumah menjadi payung hukum bagi eksistensi sekolah rumah yang sering didiskriminasi. Dengan aturan ini, hak pendidikan anak-anak sekolah rumah diakui setara dan difasilitasi berpindah jalur serta ikut ujian nasional atau ujian nasional kesetaraan. (B05)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2015, di halaman 12 dengan judul “Sekolah Rumah Jadi Alternatif”.