Mutu politeknik harus diperbaiki untuk memenuhi pekerja pelaksana yang mencapai 85-90 persen kebutuhan tenaga kerja.
Kesenjangan kebutuhan tenaga kerja antara yang diharapkan industri dengan lulusan perguruan tinggi membuat revitalisasi politeknik mendesak dilakukan. Namun, hal itu butuh dukungan dana yang tidak kecil.
Direktur Jenderal Kelembagaan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Patdono Suwignjo di sela-sela Pameran Riset, Inovasi, dan Teknologi (Ritech Expo) 2019 di Denpasar, Minggu (25/8/2019), mengatakan, 85-90 persen tenaga kerja yang dibutuhkan industri berkarakter sebagai pekerja pelaksana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tenaga kerja dengan karakter pekerja pelaksana itu bias dipenuhi politeknik,” katanya.
Nyatanya, sebagian besar lulusan perguruan tinggi justru berkarakter pemikir atau perencana. Jumlah politeknik di Indonesia juga hanya 300-an, jauh lebih kecil dari 4.700-an universitas yang ada. Karena itu, revitalisasi pendidikan vokasi mendesak dilakukan meski tidak murah.
Presiden Joko Widodo, lanjut Patdono, menargetkan lulusan politeknik maksimal tiga bulan sesudah diwisuda harus bekerja. Target itu bisa dicapai dengan menyaratkan mahasiwa politeknik hanya bisa diwisuda jika memiliki minimal satu sertifikat kompetensi.
Nyatanya, banyak mahasiswa politeknik yang gagal saat mengikuti uji kompetensi. Untuk itu, mutu politeknik harus diperbaiki yang dananya diperkirakan Rp 4 triliun-Rp 5 triliun per tahun pada 2020-2024.
Dana itu diperlukan untuk memperbaiki laboratorium dan melatih ulang dosen politeknik yang 90 persen bukan lulusan politeknik sehingga tidak punya kemampuan praktis. Kurikulum politeknik juga perlu diperbaiki yang disusun bersama industri. Politeknik juga butuh dilengkapi lembaga sertifikasi profesi, tempat uji kompetensi, hingga pembangunan teaching factory yang menjadi model industri di kampus.
Lebih mahal
Untuk mendongkrak jumlah lulusan politeknik, pemerintah ingin membangun 150 politeknik baru hingga 2024 dengan anggaran Rp 126 triliun. Jika itu terlalu besar, pilihan lebih murah yang bisa diambil antara
lain memaksa politeknik bekerja dua kali lipat dengan membuka kelas malam, meningkatkan kapasitas politeknik dengan menambah laboratorium dan dosen, serta membuat politeknik satelit atau cabang,
“Pendidikan vokasi memang lebih mahal dibanding universitas karena 70 persen materi adalah praktik kerja. Tanpa investasi memadai, lulusan perguruan tinggi yang punya kompetensi sesuai kebutuhan dunia kerja dan industri sulit diharapkan,” kata Patdono.
Secara terpisah, Manajer Revitalisasi Politeknik Negeri Jember (Polije) Dadik Pantaya mengatakan, perbaikan kurikulum Polije dengan sistem ganda (dual system) yang disusun bersama industri membuat lulusan Polije bisa langsung diserap industri. Bahkan, sebagian besar lulusan Program Studi Produksi
Ternak sudah ikut tes masuk kerja sebelum lulus.
Bahkan, sejumlah perusahaan mau memberikan beasiswa bagi mahasiswa Polije untuk studi banding atau ikut pelatihan di Thailand. Setelah selesai, mereka direkrut jadi karyawan. “Lulusan politeknik punya gaya dan kegigihan kerja tersendiri,” tambahnya.
Sementara itu, Menristek dan Dikti Mohamad Nasir saat membuka Ritech Expo 2019 mengatakan, perguruan tinggi berperan membangun ekonomi rakyat dengan mengembangkan inovasi berbasis teknologi. Karena itu, pemerintah mendorong terus tumbuhnyainovasi dan penerapan hasil riset yang inovatif di sejumlah daerah. (COK/MZW)
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2019