Anggaran riset Indonesia ada di posisi Paling rendah di antara negara anggota G-20. Banyak soal mendasar membelit dunia riset Tanah Air, mulai dari rendahnya kualitas periset, peneliti yang menua, tidak menriknya dunia riset, hingga sistem pendidikan yang tidak mendukung. Menambah anggaran hingga 2 persen dari produk domestik bruto pun tidak otomatis akan menyelesaikan masalah.
Dari sisi jumlah pegawai, ada ribuan orang bekerja di beberapa lembaga riset. Namun, yang melakukan riset sangat terbatas. Lebih dari separuh pegawai adalah tenaga pendukung, Akibatnya, meskipun ditambah besar-besaran, dana riset tak akan banyak terserap dan mampu menarik banyak peneliti.
Di perguruan tinggi, kondisinya relatif sama. Banyak dosen terfokus pada pengajaran atau sibuk menjadi konsultan sejumlah proyek. Meski pemerintah sudah menyediakan dana riset memadai, tetap saja tak termanfaatkan semua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Indonesia kekurangan peneliti,” kata Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam diskuai ”Masa Kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diadakan Kompas di Jakarta, Rabu (14/9).
Lihat saja posisi Indonesia di antara negara anggota G-20. Jumlah peneliti di Indonesia paling kecil, hanya 89 orang per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Korea Selatan dengan 6.899 peneliti per 1 juta penduduk. Di ASEAN, Indonesia juga jauh tertinggal dibandingkan jawara riset ASEAN, Singapura, yang punya 6.658 peneliti per 1 juta penduduk (UNESCO, 2016).
Selain Jumlahnya kecil, kualitasnya pun relatif rendah. Di antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), hanya BPPT yang 10 persen pegawainya berpendidikan doktor, sedangkan di Lapan hanya 2 persen.
Di sejumlah negara maju hanya peneliti berkualifikasi doktor yang meneliti, lalu dibantu peneliti berpendidikan magister dan sarjana. ”Di Indonesia, sarjana sudah meneliti,” kata Kepala BPPT Unggul Priyanto.
Pentingnya peneliti berkualifikasi doktor juga diungkapkan Kepala Bidang Teknologi Radiofarmaka Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Batan Rohadi Awaludin. Pendidikan strata tiga merupakan landasan untuk membentuk kematangan intelektual dan memperluas jejaring dengan ilmuwan dunia.
”Periset butuh kematangan intelektual agar mampu menemukan dan menyelesaikan masalah dengan kaidah ilmiah yang benar, ” katanya.
Minat meniadi peneliti
Sejumlah kondisi yang ada saat ini diperparah kualitas sebagian besar pelamar di lembaga riset. Mereka bukan yang berkualitas terunggul. Di BPPT, kata Unggul, sangat sulit mendapatkan pelamar lulusan Institut Teknologi Bandung yang masih dianggap sebagai perguruan tinggi teknik terbaik di Indonesia. Jika ada, biasanya tak bertahan lama.
Banyak lulusan terbaik perguruan tinggi Indonesia memilih bekerja di sektor industri. Keberadaan mereka sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mendukung riset. Masalahnya, sangat jarang industri Indonesia mau melakukan riset dan lebih memilih membeli teknologi.
Sementara itu, banyak pula pelamar di lembaga riset dengan minat meriset rendah. Tak jarang, mereka hanya mencari pekerjaan sebagai PNS. Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain menilai salah satu pemicu rendahnya kualitas peneliti adalah kurang kenalnya siswa dengan dunia riset sehingga minat jadi peneliti rendah. Mahasiswa baru mengenal riset saat skripsi, itu pun untuk memenuhi syarat kelulusan. ”Tak ada informasi jelas dan komprehensif tentang dunia penelitian,” katanya.
Menua
Tenaga peneliti di sejumlah lembaga riset juga menua. Sekitar separuh tenaga di LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan berumur lebih dari 45 tahun. Bahkan, di Batan hampir 70 persennya. Moratorium perekrutan pegawai yang juga berlaku di lembaga riset mengancam regenerasi periset sehingga membuat rencana riset tidak berkelanjutan. Kepala Batan Djarot S Wisnubroto mengatakan, umur rata-rata pegawai Batan saat ini 48 tahun. Bahkan, di Batan Yogyakarta, 44 persen pegawainya berumur lebih dari 56 tahun. Dalam tiga tahun mendatang, sekitar 600 orang atau 22 persen pegawai Batan akan pensiun.
”Usia menua berdampak pada rendahnya inovasi. Itu hukum alam,” katanya. Menyekolahkan pun sulit karena melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua dan strata tiga dibatasi umur. Untuk saat ini, regenerasi peneliti di lembaga riset mendesak, selain membangun budaya riset bangsa sejak dini. (JOG/MZW)
Sumber: Kompas, 20 September 2016