Pembangunan yang mengandalkan sumber daya alam sudah usang. Kini saatnya Indonesia mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia agar menjadi motor penggerak pembangunan.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum untuk mengubah orientasi pembangunan ekonomi. Pembangunan yang selama ini cenderung bertolak dari industri ekstraktif mesti diganti dengan pembangunan berorientasi sumber daya manusia. Generasi kompeten akan meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam. Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Adaptasi Kebijakan Baru, Membangun Ekonomi tanpa Merusak Lingkungan” yang digagas oleh Yayasan Madani Berkelanjutan, Kamis (9/7/2020).
Tokoh ekonomi lingkungan Emil Salim yang menjadi penanggap dalam diskusi itu menjelaskan, Indonesia memiliki generasi usia produktif dalam jumlah besar. Akibat pandemi Covid-19, mereka harus belajar secara virtual dan minim metode tatap muka. Ini membutuhkan fasilitas listrik dan internet memadai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, kecakapan dalam menggunakan aplikasi daring, seperti Zoom, pun dibutuhkan. Fasilitas ini dinilai belum merata di seluruh Indonesia. Jika generasi ini tidak terdidik dengan benar, Indonesia kehilangan kesempatan untuk ”tinggal landas” di tahun 2045.
”Ada perubahan yang saya kira belum dipahami oleh pemerintah, yakni belum menanggapi pentingnya mengubah pembangunan ekonomi menjadi pembangunan manusia yang menjadi kunci bonus demografi. Inti dari pembangunan manusia adalah memungkinkan adanya nilai tambah dari sumber daya alam yang tersedia,” jelasnya.
Diskusi ini menghadirkan tiga panelis, yakni Ketua Dewan Pembina Yayasan Kehati Ismid Hadad, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Rimawan Pradiptyo, dan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya.
Ismid menjelaskan, pembangunan dengan orientasi ekonomi yang dimulai sejak tahun 1960-an dianggap mujarab untuk memberantas kemiskinan dan keterbelakangan di negara yang baru lepas dari belenggu kolonialisme. Negara-negara yang baru merdeka itu dipacu untuk meningkatkan perekonomian agar bergerak maju. Era dekade pembangunan pertama (1960-1970) dianggap sukses menaikkan laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara dunia ketiga.
Ironisnya, lanjut Ismid, kesuksesan itu harus dibayar mahal dengan kian meluasnya kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan kerusakan sumber daya alam. Ini tak lepas dari sudut pandang pembangunan ekonomi yang hanya menganggap lingkungan sebagai faktor eksternal. SDA tak lebih dari sekadar bahan baku atau sarana untuk memproduksi barang dan jasa.
”Pelestarian lingkungan hidup pun dianggap urusan ribet, kompleks, berjangka panjang dan butuh biaya besar. Jadi, diurus nanti saja sesudah urusan ekonomi beres,” lanjutnya.
Padahal, dia melanjutkan, lingkungan dan ekonomi tidak mesti berada dalam posisi trade-off atau saling mengorbankan. Kerusakan lingkungan tidak harus dianggap sebagai biaya yang harus dibayar agar mendapat manfaat dari pembangunan ekonomi. Keduanya bisa bersinergi dengan mengeluarkan kebijakan yang saling mendukung.
Rimawan menambahkan, kita terjebak dengan kutukan keberlimpahan SDA. Dengan demikian, ekspor bahan baku (raw material) masih tinggi. Ini, lanjutnya, membuktikan bahwa Indonesia gagal dalam proses industrialisasi. ”Sebagai gambaran, Malaysia punya 100 industri turunan minyak sawit mentah (CPO), sementara kita hanya punya 40 industri turunan,” jelasnya
Ini, katanya, merupakan akibat dari kebijakan ekonomi yang belum memprioritaskan human capital dan aspek kelembagaan sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Penataan aspek kelembagaan, baik formal maupun informal, akan berdampak pada pembangunan suatu negara.
Kelembagaan dan korupsi
Di Indonesia, aspek kelembagaan ini belum diperhatikan benar. Akibatnya, kasus korupsi masih marak. Tidak aneh jika banyak orang berlomba-lomba untuk membuka kafe karena perizinannya mudah. ”Akan sangat berisiko membuka usaha yang membutuhkan perizinan yang lebih kompleks karena risiko korupsi dari setiap pos perizinan masih terbuka,” ujarnya.
Teguh Surya menambahkan, pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi SDA sudah mencapai titik jenuh. Sedikit saja terjadi perubahan iklim dan cuaca, Indonesia menjadi rentan terhadap bencana. Forum ini, lanjutnya, ingin menghimpun gagasan-gagasan pembangunan alternatif yang tidak hanya bertolak pada ekonomi, tetapi juga sosial dan lingkungan.
Oleh INSAN ALFAJRI
Editor: AGNES RITA
Sumber: Kompas, 9 Juli 2020