Perjuangan tenaga medis melawan Covid-19 menempatkan mereka pada risiko kesehatan. Di tengah kerentanan terkena penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu, mereka pun kesulitan mengakses tes swab.
Tri Maharani (48) telah mengabdikan hampir separuh hidupnya sebagai dokter. Jika biasanya berupaya menyelamatkan pasien, sejak divonis positif Covid-19, dia harus berjuang untuk hidupnya. Namun, semangatnya untuk menangani wabah ini tidaklah pupus.
”Teman-teman, saya positif Covid-19,” demikian pesan pendek dari Tri Maharani, biasa dipanggil Maha, dokter spesialis emergensi yang juga Presiden Toksikologi Indonesia, pada Jumat (12/6/2020) sore.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sehari berikutnya, dia mengabarkan sudah diisolasi di salah satu rumah sakit di Kediri, Jawa Timur. ”Ternyata sekarang sudah ada pneunomia (radang paru) dan gula darah meningkat. Mohon doanya,” kata Maha.
Pada Minggu (14/6) pagi, Maha memberi kabar tentang rasa sakit dan nyeri yang mendera. ”Tadi malam badan sakit semua, seperti dipukuli satu orang kampung, dan kepala pusing sekali. Saya belum pernah sesakit ini. Bayangkan baru beberapa hari saja sudah muncul pneumonia. Siapa bilang Covid-19 ini konspirasi, ini bahaya dan menakutkan,” tuturnya.
Maha sebenarnya sosok yang sangat tegar. Dia telah menjadi dokter selama 23 tahun. Selain telah menangani pasien karena gigitan ular di banyak wilayah Indonesia, dia juga kerap turun ke daerah bencana dan krisis.
Dia selalu terpanggil membantu sesama. Bahkan, 90 persen gajinya sebagai pegawai negeri disumbangkan untuk membeli serum anti-bisa ular yang kemudian didonasikan ke berbagai rumah sakit di Indonesia.
”Tiap tahun ada 1.000-2.000 laporan gigitan ular di Indonesia. Namun, rata-rata rumah sakit tidak punya stok serum bisa ular karena tidak jadi prioritas kesehatan kita,” kata Maha, penasihat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk penyusunan pedoman penanganan bisa ular.
Pada pertengahan hingga akhir April 2020, dia dipanggil untuk menjadi sukarelawan di RSPI Sulianti Saroso di Jakarta, rujukan utama pasien Covid-19 dengan kategori sedang hingga berat. ”Kondisi pasien Covid-19 bisa berubah cepat, yang semula baik saja, tiba-tiba memburuk,” kata Maha.
Seperti disaksikannya hari itu. Salah seorang pasiennya mendadak memburuk. Napasnya tersengal-sengal. Dibantu dokter umum dan dua perawat, Maha melakukan intubasi. Di sinilah ujian sesungguhnya bagi dokter emergensi. Maha harus memasukkan selang ke mulut pasien agar udara bisa tetap mengalir ke paru-paru.
Banyak tenaga kesehatan yang tertular ketika melakukan prosedur ini. ”Tetapi, kalau kami tidak melakukan intubasi, pasien bisa meninggal,” kenangnya.
Intubasi baru selesai hampir tiga jam. Dengan tubuh dibalut hazmat dan hidung dibekap masker N95, itu jelas bukan pekerjaan ringan. Sekalipun ruangan ber-AC, terasa gerah. ”Bayangkan sendiri jika pekerjaan itu dilakukan setiap hari, bahkan bisa berkali-kali dalam sehari,” ujarnya.
TRI MAHARANI—Dokter Tri Maharani saat di Hotel Ibis Styles Sunter, Jakarta Utara. Sejumlah tenaga medis yang bertugas di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso tinggal sementara di sana setiap seusai bekerja. Foto dikirimkan Tri pada Minggu (19/4/2020). Dokumen pribadi.
Setelah menangani pasien-pasien Covid-19 di RSPI Sulianti Saroso itu, Maha menjalani tes cepat dan usap dengan hasil negatif. Dia kembali bertugas sebagai Kepala Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Daha Husada, Kediri. Rumah sakit ini bukan rujukan Covid-19. Namun, risiko bisa lebih besar.
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Abraham Andi Padlan Patarai mengatakan, para tenaga kesehatan di rumah sakit rujukan Covid-19 sudah lebih siap dengan alat pengaman diri (APD) lebih lengkap. Tes usap bagi tenaga kesehatannya juga bisa lebih rutin dilakukan.
Namun, di layanan kesehatan primer dan rumah sakit non-rujukan bisa lebih berisiko. Selain APD biasanya kurang, pasien yang dihadapi lebih beragam.
”Kalau tidak ada gejala, harus bayar sendiri untuk tes. Itu pun tidak mudah kalau di daerah. Saya selalu ingatkan, kita harus berhati-hati, pakai APD standar. Tetapi, risiko pasti tetap ada,” kata Abraham.
Maha sebenarnya selalu tertib memakai APD. Bahkan, dia menggalang APD untuk tenaga kesehatan lain. Dia juga berkreasi membuat stetoskop jarak jauh dan kotak aerosol buatan sendiri untuk membantu pengamanan saat intubasi. ”Di rumah sakit daerah memang penuh keterbatasan, termasuk masker N95 yang harus daur ulang,” katanya.
Keterbatasan itu mungkin juga yang menjadi celah penularan. ”Dua minggu lalu, saya banyak menangani pasien dengan gejala Covid-19, sebagian meninggal tanpa dites. Tetapi, terakhir saya menangani staf laundry rumah sakit kami yang juga sakit gejala Covid-19,” kata Maha.
Karena kesulitan mendapatkan tes usap di Kediri, Maha kemudian membawa staf tersebut dengan mobil ke RSUD dr Iskak Tulungagung, sekitar sejam perjalanan. Saat itu juga Maha memakai APD lengkap. ”Kebetulan kepala IGD di sana teman saya dan dia memang positif. Setelah di-swab dia dirawat di sana karena kondisinya memburuk,” ungkapnya.
Sesuai prosedur, Maha dan para tenaga kesehatan lain di rumah sakit rutin menjalani tes cepat (rapid test), dan hasilnya negatif. ”Namun, saya mulai ragu dengan rapid test,” katanya.
Maha yang aktif di Laporcovid19.org berkonsultasi dengan sesama ahli lain. Dia menjadi yakin bahwa tes cepat seharusnya tidak bisa menjadi patokan untuk diagnosis. Maha kemudian mengajukan tes usap.
”Tetapi, mendapatkan tes swab ternyata tidak mudah, termasuk bagi dokter. Sesuai protokol yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas, yang bisa diambil swab kalau rapid test reaktif dan yang punya riwayat kontak,” katanya.
Maha kembali ke RSUD dr Iskak Tulungagung dan di-swab pada 6 Juni 2020. Seminggu kemudian, dia dinyatakan positif, demikian juga staf laundry di rumah sakitnya.
”Saya tidak menyesal telah membantunya. Saya kenal baik, dia juga sepuh dan punya riwayat stroke. Kalau tidak saya bawa ke Tulungagung pasti tak tertangani. Sudah jadi rahasia umum, banyak pasien diduga Covid-19 meninggal tanpa sempat dites,” kisah Maha.
Maha mengaku terpukul dengan hasil tes. ”Kalau tidak khawatir, pasti bohong. Saya takut, tapi sadar betul risikonya. Namun, yang membuat lebih sedih adalah stigma terhadap keluarga, salah satunya dari pejabat di sini yang cenderung menyalahkan dan menyebut kasus impor. Seolah-olah tidak ingin ada kasus di Kediri. Rumah kakak, tempat saya tinggal, harus dijaga polisi,” ujarnya.
Dalam masa isolasinya kini, dokter Maha tidak tinggal diam. ”Saat ini, IGD RS saya ditutup dan tenaga kesehatan dirumahkan. Tetapi, tidak ada satu pun yang di-swab karena rapid test mereka negatif. Alasan lainnya, katrid untuk PCR habis. Bagaimana kalau seperti saya, rapid test negatif, tetapi swab positif?” kata Maha.
Dia mencoba menghubungi para pejabat yang dikenalnya, termasuk juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, yang dikenalnya secara pribadi, bahkan juga kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. ”Saya sudah kirim pesan ke Pak Terawan. Kami kenal karena urusan bisa ular,” katanya.
Dia menunjukkan balasan dari Achmad dan Terawan, yang memberikan dukungan. Namun, Maha tidak meminta bantuan untuk dirinya, ”Saya hanya ingin prosedur tes dibenahi. Saya ingin rapid test tidak lagi dipakai untuk diagnosis dan agar tes PCR diperbanyak. Saya tidak akan diam, sekalipun sakit, saya berharap bisa tetap berguna untuk Indonesia,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 15 Juni 2020