Bau apak tiba-tiba menyergap begitu pintu sebuah perpustakaan milik yayasan dibuka. Sudah lama listrik dan telepon di situ tidak menyala. Lemari-lemari buku tampak berdebu dan buku-buku yang usianya ratusan tahun sudah melapuk. Sebuah peradaban yang perlahan hancur….
Jelas sekali perpustakaan milik Yayasan Budaya Sulawesi Selatan (YBSS) yang berdiri sejak tahun 1949 di Makassar terbengkalai. Hanya tertinggal Muhamad Salim, ahli bahasa Bugis, dan seorang pembantu bernama Ikhsan yang setia datang.
Sampai tiga tahun terakhir hanya bisa didata 2.809 buku penelitian berbahasa Belanda dan 100 lontarak (naskah di daun lontar) asal Sulsel. Masih begitu banyak koleksi yang belum terdata sehingga jumlah pastinya juga tidak pernah diketahui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak Ketua Yayasan YBSS Fachruddin Ambo Enre meninggal tahun 2008, kata Salim, yayasan seperti tanpa nakhoda. Tidak ada lagi kepengurusan. Salim bahkan bekerja tanpa honor selama tiga tahun terakhir. Di tempat berdebu dan usang itu sesungguhnya masih tersimpan terjemahan Alkitab dari bahasa Jerman ke bahasa Makassar yang terbit tahun 1892. Ada juga Injil Matius berbahasa Makassar cetakan tahun 1863! Bahkan seorang Belanda bernama Benjamin Frederik Matthes membawa karya sastra terpanjang di dunia, I La Galigo, ke Belanda setelah mendapatkannya dari seseorang.
Terbengkalai
Deretan daftar situs pendokumentasian dan perpustakaan yang notabene menyimpan pengetahuan dan jejak peradaban yang terbengkalai bisa cukup panjang. Belum hilang dari ingatan kita bagaimana Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin harus tertatih-tatih menjalani hari-harinya yang berat. Ketua Dewan Pembina Yayasan PDS HB Jassin Ajip Rosidi bahkan sudah melansir pernyataan akan menutup gudang sejarah itu.
Nasib Perpustakaan Bung Hatta di Jalan Adisutjipto, Yogyakarta, bahkan lebih memilukan. Perpustakaan yang berdiri sejak 1953 itu sudah ditutup tahun 2006. Gedungnya kini bocor di sana-sini, seperti rumah hantu. Menurut Ketua Dewan Pembina Yayasan Hatta Sri Edi Swasono, setidaknya Perpustakaan Hatta menyimpan lebih dari 40.000 buku. Kini buku-buku itu dititipkan di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada. ”Semua buku diikat, entah bagaimana perawatannya,” ujar Edi Swasono.
UGM kemudian membuka Hatta Corner di perpustakaan universitas untuk menyelamatkan koleksi buku-buku Bung Hatta. Padahal, di salah satu koleksi buku Hatta ada Asia karya Alonso Viloa yang diterbitkan tahun 1561.
PDS HB Jassin yang di pelupuk mata saja bernasib mencemaskan, apalagi tempat seperti Museum Negeri Sulawesi Tenggara di Kendari. Sekitar 5.000 koleksi benda kuno, termasuk di antaranya 100 naskah tua, boleh dikata sudah rusak karena tak terurus. Sudah sekitar satu dekade museum tidak lagi dapat anggaran perawatan dan pemeliharaan. ”Sejak otonomi daerah tahun 2001, baru sekali dapat anggaran,” kata Kepala Seksi Bimbingan Edukasi Museum Negeri Sultra Rustam Tombili.
Bali yang begitu dikenal dengan perawatan tradisi karena dianggap memiliki nilai ekonomis juga tidak terhindar dari sikap menyepelekan peninggalan peradaban masa lalu. Banyak naskah tua yang tertulis di atas daun lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, Bali, pelan-pelan menuju kehancuran. Rayap-rayap bahkan mulai menggerogoti sebagian naskah.
Sastrawan Dewa Gede Windhu Sancaya yang pernah mendata naskah-naskah di situ menemukan kenyataan ada koleksi yang hilang. ”Koleksi yang hilang itu sulit sekali dilacak,” ujarnya.
Dalam kondisi begitu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng Putu Tastra Wijaya mengatakan, semua koleksi Gedong Kirtya sudah terawat baik. Tastra membantah bahwa ada naskah tua yang dimakan rayap. ”Itu cuma isu. Koleksi kami terawat dengan baik,” katanya.
Perlu komitmen
Menurut Doktor Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Padjadjaran, Bandung, Ninis Agustini Damayanti, perpustakaan dan dokumentasi harus ditangani ahli. Selama ini ada kesan pengelola perpustakaan disamakan dengan penjaga buku. ”Itu persepsi yang sangat keliru,” kata Ninis.
Komitmen pemerintah untuk mendanai kegiatan perpustakaan, katanya, belum kuat. Dananya belum menjadi prioritas. Dokumen dan naskah tua membutuhkan perawatan dan tempat penyimpanan yang layak. ”AC harus dinyalakan tujuh hari seminggu dan 24 jam sehari, tidak boleh mati,” tuturnya.
Di daerah tropis, suhu ruangan dipatok pada angka 20 plus minus 3 derajat celsius. Sementara kelembaban udara pada angka 50 plus minus 3 rh (relative humidity).
Menyaksikan pembiaran terhadap nasib peradaban ini, sekelompok anak muda bergerak cepat lewat jejaring sosial Twitter dan Facebook untuk menggalang solidaritas. Mereka membentuk tim #koinsastra yang dalam waktu cepat memobilisasi kepedulian ke berbagai daerah. Salah satu pencetus #koinsastra, Khrisna Pabhicara, mengatakan, kelompok ini tidak sabar menunggu kehancuran. ”Karena itu, lebih baik kita bergerak menyongsong badai,” katanya.
Setelah melakukan audiensi dengan pengurus Yayasan PDS HB Jassin, mereka sepakat melakukan digitalisasi naskah serta menggalang donasi dari para simpatisan. ”Kami sudah mengumpulkan enam komputer dan dua scanner dari para donatur. Masih kurang empat lagi,” tutur Ahmad Makki, pencetus #koinsastra lain.
Pertanyaannya, apakah dokumen-dokumen tua yang menyimpan peradaban masa lalu harus selalu meruapkan bau apak hingga napas kita sesak? Bukankah di situ dipertaruhkan identitas dan martabat bangsa? Mau apa dan ke mana sebenarnya kita ini…. N(SIN/RIZ/WKM/TOP/DEN/ENG/IND/BSW/CAN)
Sumber: Kompas, 28 Maret 2011