Radya Wafi Adyatma (14), siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kota Semarang, Jawa Tengah, tak mengira keikutsertaannya dalam Workshop Guru dan Kemah Sains Pelajar Ke-6 tingkat ASEAN+3 (Korea Selatan, Taiwan, dan Tiongkok) untuk pertama kali membawa berkah. Ia meraih penghargaan pelajar terbaik dan penghargaan spesial Da Vinci Science Prize, beasiswa kuliah di universitas yang ada di 13 negara itu.
Wafi mewakili Indonesia bersama sembilan pelajar lain mengikuti kegiatan di Changwon City, Korea Selatan, 11-18 Januari 2015. Wafi bersama putra Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Muhammad Zinedine Alam Ganjar (13, SMPN 2 Semarang), dan Bthari Parahita Putri Firmandjaja (13, SMPN 5 Semarang) meraih nilai tertinggi dalam kegiatan itu dan mendapat medali emas. Siswa yang lain mendapat medali perak dan perunggu.
”Temanya waktu itu rumah pintar dan hijau (smart and green house). Kami dibagi dalam kelompok dengan peserta dari negara lain dan membuat bagaimana konsep rumah yang ramah lingkungan,” ujar anak dari pasangan Hesti Puji Lestari dan Mujiono itu, Kamis (22/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia membuat konsep rumah hijau yang memanfaatkan panas yang dihasilkan oleh kondensor pengatur suhu udara (air conditioner) untuk menghangatkan lantai saat musim dingin. Untuk daerah yang tidak mempunyai musim dingin, panas dari kondensor digunakan untuk menghangatkan air untuk mandi.
”Suka saja bikin percobaan. Saya baca teori untuk tahu prinsip dan caranya, lalu lebih suka utak-atik. Pengaruh guru besar sekali, kalau gurunya asyik, jadinya suka,” ungkap Wafi. Ia juga pernah ikut kompetisi robot.
Bthari juga bercerita tentang pengalaman yang menyenangkan dalam kegiatan yang diadakan oleh ASEAN+3 Centre for The Gifted in Science (ACGS) itu. Ia dan kelompoknya membuat rumah yang memanfaatkan tenaga angin dan surya untuk menghasilkan energi listrik.
Bthari dan 77 anak dari 13 negara mendapat berbagai materi tentang sains, seperti energi, panel surya, DNA (deoxyribose nucleic acid), dan melakukan berbagai percobaan sains dengan metode yang menyenangkan. ”Kami diminta membuat kuteks (pewarna kuku) dengan mencampur berbagai bahan kimia. Hasilnya, saya mendapat kuteks yang warnanya bisa berubah saat dingin,” ujarnya.
Baru pertama kali
Guru pendamping siswa dari SMPN 2 Semarang, Sudaryono, mengatakan, empat siswa dari sekolahnya kebetulan baru pertama kali mengikuti ajang internasional. ”Tidak seperti seleksi olimpiade, setelah mendapat undangan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Duniaku Pintar, kami memilih anak-anak yang menonjol dan menyukai sains dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Lalu mereka didampingi mentor untuk persiapan,” tuturnya.
Di Semarang, Wahana Duniaku Pintar didirikan oleh Dolly Andrian Firmandjaja, yang juga ayah dari Bthari, bekerja sama dengan Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) Jateng membuka wahana itu sejak tahun 2012. Di wahana itu, anak-anak dapat belajar mengenai sains dengan metode yang menyenangkan. Duniaku Pintar juga yang selama ini mengadakan kompetisi roket air, lokakarya sains, dan memfasilitasi anak-anak mengikuti kompetisi yang diadakan ACGS atau APEC Future Scientist Conference (ASFC) dengan bekerja sama dengan BPPT.
”Kompetisi ini tidak seperti olimpiade, di mana anak-anak bekerja secara individual. AMGS membuat kompetisi sains dalam kelompok sehingga anak-anak mengerti, ke depan mereka harus bekerja dalam tim. Tak ada penghakiman bagi anak yang melakukan kesalahan. Anak dipantau hingga kuliah,” ujarnya.
Sayangnya, kompetisi ini hanya bisa diikuti oleh mereka yang berprestasi dan juga mampu secara ekonomi karena semua harus dibiayai secara mandiri. Untuk berangkat ke Korsel, misalnya, pemberangkatan seorang siswa membutuhkan biaya hingga Rp 25 juta. Selain itu, anak-anak di Jateng mungkin kesulitan mengikuti ajang serupa pada tahun mendatang karena Duniaku Pintar segera ditutup. (Amanda Putri N)
Sumber: Kompas, 24 Januari 2015