Gempa yang kerap terjadi di Indonesia umumnya disebabkan tumbukan tiga lempeng Bumi di dasar laut, yakni Indoaustralia, Eurasia, dan Pasifik. Gempa tektonik itu tak pernah berhenti selama Bumi berputar. Interaksi antarlempeng itu memicu munculnya jajaran pulau di Indonesia beberapa juta tahun lalu.
Aktivitas lempeng itu menimbulkan sesar atau patahan di darat. Banyak sesar aktif ditemukan di Indonesia akibat interaksi tiga lempeng itu. Di Pulau Jawa, menurut Pusat Studi Gempa Nasional, ditemukan 31 sesar yang berpotensi memicu gempa, tiga di antaranya berada di Jawa Barat, yakni Cimandiri, Lembang, dan Baribis.
–Panorama indah dan udara sejuk merupakan daya tarik bagi Lembang. Namun diperbukitannya terentang sesar yang berpotensi gempa. Kebijakan penataan ulang wilayah ini diperlukan segera untuk mencegahnya menjadi bencana.–Yuni Ikawati
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aktivitas sesar itu dipengaruhi desakan Lempeng Indoaustralia pada Eurasia di Samudra Hindia yang bergeser 11 sentimeter per tahun. Karena lempeng menekan, sesar bergeser. Laju pergeseran Sesar Lembang 2-5 milimeter per tahun.
Akibat subduksi, lempeng pada salah satu blok di Sesar Lembang meninggi membentuk bukit. Bukit itu menghalangi aliran air permukaan sampai menimbulkan genangan (ngalembang dalam bahasa Sunda). Itulah asal nama Lembang.
”Mekanisme pergerakan lempeng dan sesar itu memicu gempa periodik di zona sesar,” kata pakar paleoseismologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto. Dari riset seismik pada 2010-2013 oleh LIPI dan Institut Teknologi Bandung, terekam 10 gempa kecil di sesar itu yang berkekuatan kurang dari magnitudo 2.
Kegempaan sesar di bagian barat Jawa sebagai area terpadat di Indonesia banyak diteliti. Eko Yulianto yang juga Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mengemukakan hasil riset bersama timnya. Sesar Lembang yang berada 10 kilometer di utara Bandung bisa memicu gempa besar.
Melalui penggalian parit kedalaman 4,5 meter seluas 30 meter persegi dan pengeboran sedalam 30 meter di Lembang ditemukan tiga lapisan sedimen. Lapisan itu antara lain berupa endapan gambut dan batang-batang kayu yang terkubur akibat pergeseran sesar 500 tahun lalu dan menghasilkan gempa.
Analisis pola dan uji material mengungkap tiga endapan usia lebih dari 19.600 tahun, 4.300 tahun, dan 1.400 tahun akibat gempa magnitudo 6,5 hingga 7. Periode perulangan kejadian 170-670 tahun.
Karena jarak sesar itu dengan zona subduksi Lempeng Indoaustralia jauh, akumulasi energi di Sesar Lembang lambat sebelum dilepaskan bebatuan. ”Perulangan gempa panjang periodenya,” kata Eko.
Menurut Akhmad Solikhin, Kepala Subbidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Wilayah Barat, potensi besarnya gempa bisa diperkirakan dari panjang dan luasan atau geometri zona sesar itu. Gempa sampai magnitudo 7 kemungkinan dari pergerakan semua segmen di Sesar Lembang dengan panjang 29 kilometer. Hal itu butuh kajian lebih lanjut.
Kekuatan gempa dipengaruhi geometri serta tekanan yang dialaminya, karakteristik sesar, dan jenis batuan. Batuan lunak mengamplifikasi guncangan gempa bumi.
Karena Bandung tersusun dari tanah lunak berupa endapan sungai dan cekungan, getaran dipantulkan ke segala arah sehingga gempa terjadi lama.
”Bangunan harus tahan gempa agar tak menimbulkan korban jiwa,” urai Eko.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada 2017, kawasan itu dihuni 196.690 jiwa. Berdasarkan survei oleh LIPI, lebih dari 9 juta jiwa terpapar ancaman gempa di jalur sesar itu. Jalur Sesar Lembang memanjang dari kaki Gunung Manglayang sampai Cimeta Padalarang melintasi pusat Kota Lembang.
Banyak bangunan penting berada di zona sesar, antara lain Sekolah Komando Angkatan Udara, Seskowad dan Sespim Polri, Observatorium Bosscha, SD Pancasila, dan SD Merdeka. Ada juga sejumlah penginapan dan ribuan rumah penduduk.
Mitigasi bencana
Serangkaian hasil riset yang dilakukan LIPI, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta ITB perlu dituangkan dalam kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Data riset itu mesti menjadi acuan perencanaan pembangunan dan mengurangi risiko bencana di kawasan itu.
Hal itu terkait penataan lingkungan fisik, penyadaran, dan peningkatan kemampuan warga menghadapi bencana. Gempa di zona Sesar Lembang diharapkan tak menimbulkan kerugian dan korban jiwa.
Penataan ulang ruang wilayah mesti diawali penyusunan peta zonasi baru yang menunjukkan daerah rawan dan aman dari gempa merusak. Di jalur sesar yang teridentifikasi, perlu relokasi bangunan yang ada di atas garis sesar dan menetapkan zona aman sejauh 20 meter. Daerah sekitar patahan itu harus dijadikan jalur hijau yang bebas dari permukiman.
Berdasarkan peta itu lalu ditetapkan standar dan kode bangunan tahan gempa bagi tiap zona. Penetapan standar bangunan tahan gempa diperlukan mengingat ada potensi amplifikasi dan pemantulan energi gempa di daerah itu.
”Penguatan struktur bangunan di permukiman di Lembang diperlukan karena kondisi rumah warga umumnya buruk,” kata Eko. Hal itu dibuktikan saat gempa Tasikmalaya pada 2 Desember 2009 dengan sumber gempa 400 kilometer dari Bandung. Guncangannya mengakibatkan ratusan rumah rusak di Ciwidey dan Lembang. Saat gempa magnitudo 3,3 melanda kawasan itu tahun 2011, 385 rumah rusak.
Sosialisasi jadi kunci membangun kesiapsiagaan bencana. Beberapa tahun lalu penemuan jalur Sesar Lembang disampaikan LIPI pada pemda setempat. Papan peringatan di jalan rute Bandung-Lembang yang memotong sesar diusulkan dipasang. Papan itu menyebut ”50 meter lagi Anda melalui garis Sesar Lembang”.
Pemberian tanda peringatan menjadi bagian penyadaran kepada warga dan pemda agar tahu posisi Sesar Lembang sehingga melaksanakan mitigasi dan antisipasi. Usulan itu tak ditindaklanjuti karena terbentur masalah birokrasi.
Pengungkapan sesar di Lembang akan memancing penolakan dari warga seperti dihadapi peneliti LIPI saat meneliti Sesar Lembang di dekat perumahan Graha Puspa. Meski demikian, LIPI terus melakukan sosialisasi hasil riset demi membangun kesadaran warga terhadap dampak gempa jika bermukim di garis sesar.
” Pemantauan pergeseran bebatuan di zona sesar dengan jejaring antena GPS perlu berkelanjutan. Sebab, munculnya gempa besar dalam siklus kegempaan tak bisa diprediksi,” kata Hasanuddin Z Abidin, pakar geodesi yang juga Kepala Badan Informasi Geospasial.
Oleh YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 7 Februari 2019