Indonesia belum terlalu tertinggal untuk rancang bangun kendaraan bermotor listrik. Peraturan pendorong inovasi dan produksi perlu segera diluncurkan. Jangan sampai Indonesia sekadar menjadi konsumen pasar kendaraan bermotor listrik.
Presiden Joko Widodo telah menunjuk lima kampus terkemuka untuk rancang bangun mobil listrik nasional (molina) dan sepeda listrik nasional (selina). UI, ITB, UGM, ITS, dan UNS diberi tugas berbeda untuk penelitian dan pengembangan baterai, mekanik, kontrol, desain, atau mesin. Hasil dari setiap kampus diharapkan dapat disinergikan, disatukan, dan diwujudkan dalam prototipe yang siap diproduksi secara massal paling cepat pada 2020.
Di sisi lain, Jokowi, panggilan akrab Presiden, diharapkan segera meluncurkan perpres tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik untuk Transportasi Jalan. Aturan ini dikabarkan sudah selesai dan siap ditandatangani untuk melengkapi Perpres No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang mencantumkan bahwa pada 2025 di Indonesia paling sedikit sudah ada 2.200 molina dan 2,1 juta selina. Dengan regulasi, kampus, industri, dan komunitas peneliti seakan mau berlomba untuk pengembangan kendaraan bermotor listrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Mobil dan sepeda motor elektrik rancang bangun ITS dipamerkan saat simposium nasional kendaraan bermotor listrik, Minggu (25/3) di Gedung Robotika ITS, Surabaya. Indonesia masih berpotensi untuk secara mandiri dalam hal rancang bangun dan produksi kendaraan bermotor listrik.
”Regulasi itu amat ditunggu agar pengembangan bisa fokus,” ujar Kepala Tim Pengembangan Kendaraan Listrik ITS Muhammad Nur Yuniarto dalam simposium nasional bertajuk Cerita Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia, Minggu (25/3) di Gedung Robotika ITS, Surabaya. Kampus harus tetap menjadi inovator baru untuk membuat berbagai prototipe molina dan selina yang aman sekaligus hemat energi.
Dengan kemampuan dana terbatas, kampus tidak akan mampu memproduksi komponen, onderdil, bahkan unit utuh. Berikan ranah itu kepada UMKM, usaha rintisan, dan atau industri besar dan pendukung.
Jika selina dan molina sudah diproduksi, dorong masyarakat untuk memakainya antara lain dengan kebijakan subsidi harga, potongan pajak, atau regulasi lalu lintas baru. Indonesia juga harus terus meneliti serta mengembangkan baterai, sistem, dan stasiun pengisian daya listrik.
Yuniarto mengatakan, ITS telah menyelesaikan pembuatan prototipe molina dan selina. Mobil listrik Ezzy ITS II dan Blits akan diuji dalam ekspedisi Sabang-Merauke tahun ini bersama dengan mobil hibrida (listrik dan BBM) dan mobil berbahan bakar bio.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Suasana saat simposium nasional kendaraan bermotor listrik, Minggu (25/3) di Gedung Robotika ITS, Surabaya. Indonesia masih berpotensi untuk secara mandiri dalam hal rancang bangun dan produksi kendaraan bermotor listrik.
Di simposium, mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan belum terlalu terlambat bagi Indonesia untuk membuat kendaraan listrik sendiri. Mengembangkan kendaraan hemat energi berbasis teknologi pembakaran mesin dalam atau internal combustion engine (ICE) BBM mustahil mengalahkan Jepang, Eropa, dan Amerika.
Itulah alasan China mengembangkan kendaraan listrik agar terlepas dari dominasi kendaraan ICE Jepang, Eropa, dan Amerika. ”Jika Indonesia tak mampu membuat kendaraan listrik seakan jatuh ke lubang yang sama; di masa lalu tidak bisa mengembangkan kendaraan berbasis teknologi combustion,” ujarnya.
Dahlan mengaku baru pulang dari China untuk berobat sekaligus mencari informasi terkini tentang kondisi kendaraan listrik di sana. Di ”Negeri Tirai Bambu”, kendaraan listrik diberi pelat nomor hijau untuk membedakan dengan yang nonelektrik.
Sepeda dan mobil listrik berkecepatan kurang dari 60 km/jam dan tidak masuk jalan tol dibebaskan dari surat dan pajak sehingga harganya amat terjangkau dan laku bagi lulusan baru kampus (40 persen), ibu rumah tangga (40 persen), dan publik (20 persen).
Salah satu perintis molina, Ricky Elson, mengatakan, proyek selo sedang dalam pengembangan ke generasi dua. Mobil itu terus dikembangkan agar menyamai atau melebihi capaian kendaraan berbasis ICE dalam hal keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.
Jika diproduksi massal, harganya harus realistis dan perlu digaungkan agar populer digunakan masyarakat. ”Hasrat berinovasi itu harus dipelihara agar program kendaraan listrik tidak pernah mati,” katanya.–AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Sumber: Kompas, 26 Maret 2018
——————-
Peraturan Presiden tentang Kendaraan Listrik Dinanti
KOMPAS/IQBAL BASYARI–Presiden Joko Widodo melihat mesin dari mobil listrik Ezzy II seusai mencoba Tol Surabaya-Mojokerto di Gerbang Tol Warugunung, Surabaya, Jawa Timur, 19 Desember 2017.
Indonesia belum terlalu tertinggal untuk rancang bangun kendaraan bermotor listrik. Untuk itu, peraturan pendorong inovasi dan produksi perlu segera diluncurkan agar Indonesia tak sekadar menjadi pasar kendaraan listrik.
Presiden Joko Widodo telah menunjuk lima kampus terkemuka untuk rancang bangun mobil listrik nasional (molina) dan sepeda listrik nasional (selina). Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Sebelas Maret (UNS) diberi tugas berbeda untuk penelitian dan pengembangan baterai, mekanik, kontrol, desain, atau mesin. Hasil dari tiap kampus diharapkan dapat disinergikan dan diwujudkan dalam prototipe yang siap diproduksi secara massal paling cepat pada 2020.
Di sisi lain, Presiden Joko Widodo diharapkan segera meluncurkan perpres tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik untuk Transportasi Jalan. Aturan ini untuk melengkapi Perpres No 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional yang mencantumkan pada 2025 di Indonesia setidaknya ada 2.200 molina dan 2,1 juta selina.
Dengan regulasi, kampus, industri, dan komunitas peneliti seakan mau berlomba untuk pengembangan kendaraan bermotor listrik. ”Regulasi itu amat ditunggu agar pengembangan bisa fokus,” ujar Kepala Tim Pengembangan Kendaraan Listrik ITS Muhammad Nur Yuniarto dalam simposium nasional bertajuk Cerita Pengembangan Kendaraan Listrik di Indonesia, Minggu (25/3), di Gedung Robotika ITS, Surabaya.
Kampus harus tetap jadi inovator baru untuk membuat berbagai prototipe molina dan selina yang aman sekaligus hemat energi. Namun, dengan kemampuan dana terbatas, kampus tidak akan mampu memproduksi komponen, onderdil, bahkan unit utuh.
Untuk itu, ranah tersebut sebaiknya diberikan kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), usaha rintisan, dan industri besar atau pendukung. Jika selina dan molina sudah diproduksi, dorongan masyarakat untuk memakainya antara lain dengan kebijakan subsidi harga, potongan pajak, atau regulasi lalu lintas baru. Indonesia juga harus terus meneliti, mengembangkan, serta mengembangkan baterai, sistem dan stasiun pengisian daya listrik.
Yuniarto mengatakan, ITS telah menyelesaikan pembuatan prototipe molina dan selina. Mobil listrik Ezzy ITS II dan Blits akan diuji dalam ekspedisi Sabang-Merauke tahun ini bersama dengan mobil hibrida (listrik dan BBM) dan mobil berbahan bakar bio.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS–Mobil listrik yang dikembangkan Fakultas Teknik UGM mengikuti acara Parade Kendaraan Listrik yang digelar fakultas tersebut, Minggu (18/2) di Yogyakarta. Parade yang diikuti 4 mobil listrik, 1 sepeda motor listrik, 1 becak listrik, dan 2 sepeda listrik buatan Fakultas Teknik UGM itu digelar untuk memperingati Hari Pendidikan Tinggi Teknik ke-72.
Belum terlambat
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengatakan, belum terlalu terlambat bagi Indonesia untuk membuat kendaraan listrik sendiri. Mengembangkan kendaraan hemat energi berbasis teknologi pembakaran mesin dalam atau internal combustion engine BBM mustahil mengalahkan Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat.
Hal itu menjadi alasan China mengembangkan kendaraan listrik agar terlepas dari dominasi kendaraan ICE Jepang, Eropa, dan Amerika. ”Jika Indonesia tak mampu membuat kendaraan listrik seakan jatuh ke lubang sama. Di masa lalu tidak bisa mengembangkan kendaraan berbasis teknologi combustion,” ujarnya.
Dahlan mengaku baru pulang dari China untuk berobat sekaligus mencari informasi terkini tentang kondisi kendaraan listrik di sana. Di ”Negeri Tirai Bambu” itu, kendaraan listrik diberi pelat nomor hijau untuk membedakan dengan yang non-elektrik. Sepeda dan mobil listrik berkecepatan kurang dari 60 kilometer per jam dan tidak masuk jalan tol dibebaskan dari surat dan pajak sehingga berharga amat terjangkau dan laku bagi lulusan baru kampus (40 persen), ibu rumah tangga (40 persen), dan publik (20 persen).
Salah satu perintis molina, Ricky Elson, mengatakan, proyek Selo sedang dalam pengembangan ke generasi dua. Mobil itu terus dikembangkan agar menyamai atau melebihi capaian kendaraan berbasis ICE dalam hal keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Jika diproduksi secara massal, harganya harus realistis dan perlu digaungkan agar populer digunakan masyarakat. ”Hasrat untuk berinovasi itu harus dipelihara agar program kendaraan listrik tidak pernah mati,” ujarnya.–AMBROSIUS HARTO
Sumber: Kompas, 26 Maret 2018