Konservasi tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sektoral, melainkan harus dipandang dalam suatu bentangan ekosistem lanskap. Karena ruang lingkupnya yang luas, dibutuhkan lembaga payung dalam tata kelola konservasi pada masa depan.
Masukan tersebut mengemuka dalam Audiensi RUU Konservasi dan Keanekaragaman Hayati antara Kelompok Kerja Kebijakan Konservasi yang beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan Foretika, Senin (18/9), di Kompleks DPR. Pertemuan dipimpin anggota Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi, dari Fraksi PAN. Foretika merupakan lembaga pendidikan tinggi kehutanan yang beranggotakan 45 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia.
Dari rangkaian usulan yang disampaikan, usulan tentang adanya lembaga payung menguat seiring dengan keinginan menjadikan UU Konservasi sebagai payung dari berbagai kebijakan terkait ekosistem, tata ruang, dan lingkungan. Selain itu, diusulkan perubahan paradigma dalam memandang konservasi, yaitu konservasi berbasis ekosistem suatu lanskap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Melihat kelemahan dalam tata kelola konservasi akibat konsep konservasi yang sektoral, muncul usulan agar masalah konservasi diurus dalam suatu lembaga sendiri yang bersifat koordinatif. “Bicara konservasi ini krusial karena sebenarnya berbicara ekosistem yang lebih luas. Harus didekati secara holistik dan komprehensif sehingga pembagian kewenangan menjadi amat penting. Kalau soal teknis konservasi itu menyangkut banyak lembaga,” ujar Henri Subagijo dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), juru bicara Pokja Kebijakan Konservasi.
Koordinasi
Menurut Henri, bisa dibuat suatu kelembagaan yang menjadi payung, yang bisa masuk ke semua lini pemerintahan. Operasional (konservasi)-nya bisa diberikan kepada kementerian teknis. Sebab, lingkungan adalah sebuah norma standar kebijakan dari undang-undang ini. Ini perlu untuk koordinasi dan harmonisasi. Kalau diberikan ke kementerian teknis, tidak akan jalan.
Senada dengan itu, Haryanto dari IPB menyatakan, “Pada masa depan bisa dibentuk Menko Konservasi dan Lingkungan,” ujarnya.
Dalam dengar pendapat tersebut banyak dibahas tentang perbedaan paradigma konservasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan. KLHK berpandangan, konservasi adalah bagian dari urusan lingkungan. Adapun KKP berpendapat, konservasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dan laut adalah domainnya. Preseden yang ada, yaitu pelimpahan tujuh taman nasional ke KKP kemudian dikembalikan kepada KLHK karena pelimpahan tidak disertai dengan pelimpahan sumber daya manusia dan perangkat lainnya.
Dalam dengar pendapat juga disebutkan bahwa masyarakat adat dan masyarakat lokal seharusnya mendapatkan manfaat tertinggi dari sumber daya keanekaragaman hayati (kehati) di daerahnya. Selain itu juga dibahas tentang pemanfaatan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang diakui belum ada regulasi tentang hal itu.
Dalam pengelolaan sumber daya kehati, kata Didik, masyarakat adat harus menjadi pihak pertama yang mendapatkan manfaat. Untuk itu disyaratkan ada penguatan institusi desa dan adat.
Dalam kesempatan itu juga muncul pertanyaan kritis tentang peluang izin pengelolaan wilayah konservasi oleh masyarakat adat, pihak swasta nasional atau negara (BUMN). (ISW)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 September 2017, di halaman 14 dengan judul “Diusulkan Ada Lembaga Payung”.