Komaruddin Hidayat (64) bertutur tentang rumahnya yang ada di tengah kampung penuh kos-kosan mahasiswa dan dekat pula dengan tempat kerjanya sebagai akademisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di situlah ia mencipta kendali sosialnya secara sadar. Di rumah itu pula Komaruddin menyemai nilai kehidupan.
Rumah adalah tempat di mana kita bermula dan berakhir. Ini home, bukan house,” kata Komaruddin, Kamis (25/5), di rumahnya di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Nilai home dan house dipandang beda oleh Komaruddin. Home tidak sekadar house yang berupa bangunan mati. Home itu spirit dan nilai yang menghidupkan kita, ditunjang dengan faith atau keyakinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Lebih bernilai jika di rumah itu damai. Sukses di luar rumah menjadi tidak baik kalau di rumah tidak damai, ada kepalsuan,” kata Komaruddin.
Kepalsuan sebagai sikap tidak jujur. Kepalsuan sebagai sikap tidak berani terbuka. Di rumah, Komaruddin mengedepankan keterbukaan.
“Saya suka memajang guci,” ujarnya sembari menunjuk salah satu guci yang ditaruh di dekat pintu masuk ruang tamu.
Guci yang dipajang itu tidak berpenutup. Ukurannya tidak terlampau besar. Asalnya, dari luar negeri. Guci seperti itu disukainya karena guci yang terbuka melambangkan jiwa yang terbuka sekaligus melambangkan rumah yang selalu diwarnai sikap terbuka penghuninya.
Masih terdapat beberapa pasang guci lainnya. Di antaranya sepasang guci berukuran besar lainnya dipajang di ruang tengah. Guci itu tidak berpenutup. Tingginya mencapai 180 sentimeter. Guci itu dibeli di China.
“Kami bukan kolektor. Namun, memajang guci sebagai ornamen sekaligus memberikan koneksitas atau keterhubungan dengan tempat asalnya yang jauh,” ujar Komaruddin.
Komaruddin menempatkan guci besar di ruang tengah yang terbuka untuk memberikan fungsi sebagai tempat istirahat mata. Ruang tengah terhubung dengan ruang tamu dan bar di dekat dapur, menuju taman di belakang rumah. Dari ruang tamu ke ruang tengah hingga pintu menuju taman di belakang rumah itu tanpa penyekat.
Ketika melayangkan pandangan mata di ruang terbuka itu, mata kita bisa sejenak terhenti di ornamen guci besar tadi. Itulah yang dimaksud Komaruddin, guci besarnya menjadi tempat istirahat mata.
“Bayangkan, ketika rumah tanpa ornamen atau hiasan. Mata akan mudah lelah,” ujar cendekiawan yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode, 2006-2010 dan 2010-2015.
Komaruddin berasal dari Muntilan, Jawa Tengah. Ia lahir tahun 1953, selesai menjalani studi di Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, tahun 1969. Kemudian ia melanjutkan di Pesantren Al-Iman di Muntilan tahun 1971, lulus Sarjana Muda Pendidikan Islam tahun 1977 dan lulus Sarjana Pendidikan Islam pada tahun 1981 di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta, sebelum diganti namanya menjadi UIN Syarif Hidayatullah.
Sejak 2001 hingga sekarang, Komaruddin menjadi Direktur Eksekutif Pendidikan Madania yang mengelola suatu lembaga pendidikan inklusif di wilayah Bogor, Jawa Barat.
Komunal dan transparan
Rumah Komaruddin dengan dua lantai itu berdiri di atas tanah seluas 550 meter persegi. Lantai dua untuk kamar dua putrinya, masing-masing sudah menikah dan sekarang sudah berpindah rumah. Lantai satu didominasi ruang terbuka yang terpengaruh sikap hidup keluarga tersebut yang terbiasa komunal dan transparan.
“Kami, terutama istri bersama saudara-saudara, sering reriung (berkumpul) di sini. Di ruang yang terbuka, secara psikologis berdampak menyatukan dan transparan,” ujar Komaruddin.
Di sekeliling ruang yang terbuka, Komaruddin meletakkan berbagai suvenir dari sekitar 40 negara yang pernah dikunjunginya. Suvenir-suvenir untuk pengingat terhadap kota di negara-negara lain. Pengingat suatu kota dinilainya sebagai deposito mental.
FOTO-FOTO: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Ruang belakang rumah mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Prof Komarudin Hidayat di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (25/5).
Deposito mental menjadi kekayaan batin. Kekayaan batin pada akhirnya menunjang kepercayaan diri dan spirit dalam berkarya.
Suvenir-suvenir dari sejumlah kota di dunia, disebut Komaruddin, juga sebagai meterai, bukan sebagai bukti. Sebab, ia tidak ingin membuktikan kepada siapa-siapa bahwa pernah menapakkan kaki di belahan bumi lain.
“Melalui suvenir-suvenir dari sejumlah kota di dunia itu, saya ingin menyampaikan, pendidikan mampu memperluas jangkauan kita,” kata Komaruddin.
Kepergian Komaruddin ke sejumlah negara pada umumnya untuk menjalankan tugas sebagai tokoh intelektual pendidikan Islam. Ia menjadi anggota Dewan Editor dalam penulisan Encyclopedia of Islamic World. Ia juga menjabat Direktur Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1995. Pada 1995, Komaruddin telah menyelesaikan studi master dan doktoralnya di Bidang Filsafat di Middle East Technical University, Ankara, Turki.
Pendidikan yang tinggi memungkinkannya berkeliling ke sejumlah negara di dunia. Bermula dari rumah, berakhir di rumah. Namun, baginya, rumah bukanlah ruang hampa tak berjiwa. Dari sejumlah kota di dunia yang disinggahinya, Komaruddin menyuguhkan suvenir-suvenir yang menjadi spirit dan nilai bagi rumah yang makin menghidupkan.
Suvenir pertama kali yang dibeli dari luar negeri berupa lonceng kecil dari Malaysia. Komaruddin tidak ingat kapan tahun persisnya. Dari pengalaman pertama membeli suvenir lonceng kecil di Malaysia, akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Setiap kali ia dan istrinya bepergian ke luar negeri, suvenir yang diincar pertama kali berupa lonceng yang berukuran kecil.
Di ruang tengah, sebuah lemari kaca sekarang tampak puluhan hingga ratusan lonceng kecil dari sejumlah negara. Suvenir-suvenir berbahan kaca dan berukuran kecil terdapat di sebuah lemari lainnya di dekat kamar tamu.
Di antara ruang tamu dan ruang tengah atau ruang keluarga itu terdapat perpustakaan dan mushala. Ia menyimpan berbagai kitab suci Al Quran dari sejumlah negara, termasuk kitab yang berhuruf dan berbahasa China. Sebuah lemari berukuran besar terdapat di teras belakang rumah. Di lemari itu pula tersimpan berbagai suvenir penghargaan sebagai narasumber atau kepesertaan Komaruddin dalam berbagai kegiatan intelektual di dalam ataupun luar negeri.
“Melalui suvenir-suvenir yang saya kumpulkan di rumah ini, saya ingin menyampaikan, dunia itu luas,” kata Komaruddin.
Dari dunia yang mahaluas, rumah tetaplah sebagai terminal akhir. Bagi Komaruddin, dunia yang luas ada di dalam rumah dalam wujudnya sebagai pengetahuan.
Pengetahuan-pengetahuan itu “tersimpan” di dalam setiap suvenir atau berbagai macam pengingat lainnya. Komaruddin juga mewujudkan pengetahuannya menjadi tulisan di buku.
Komaruddin banyak menulis buku intelektualitas Islam. Namun, ada di antaranya yang terkait dengan olahraga golf, yakni buku Spiritual Side of Golf-Menjaga Konsistensi dan Kejujuran (cetakan pertama 2010).
Dari lingkungan sekitar rumah, Komaruddin bisa meraup keakraban dari sebuah kampung. Dari lingkungan masyarakat yang dipenuhi kos-kosan mahasiswa, terutama mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin mampu merawat emosional intelektualnya.
Sebanyak tiga elemen paling penting untuk mewujudkan kebahagiaan di rumah sudah direngkuhnya. Ketiga elemen itu meliputi punya keluarga yang baik, punya pekerjaan yang baik, dan punya pertemanan yang baik.
Komaruddin berhasil menjadi rumah sebagai tempat bermula sekaligus tempat berakhir. Rumah yang menjadi wadah pengetahuan dunia yang luas. Rumah yang senantiasa disemai dengan nilai-nilai kehidupan.–NAWA TUNGGAL
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2017, di halaman 22 dengan judul “Tempat Bermula dan Berakhir”.