Peredaran rokok elektronik di sejumlah negara di dunia terus terjadi. Tanpa ada aturan yang ketat, pemakaian produk yang mengandung nikotin itu bisa menjadi tak terkendali dan berdampak buruk bagi kesehatan.
Hal itu terungkap dalam Forum Nikotin Global bertema “Mengurangi Dampak Buruk, Menyelamatkan Nyawa”, seperti dilaporkan wartawan Kompas,Evy Rachmawati, Jumat (16/6), dari Warsawa, Polandia. Konferensi internasional itu membahas strategi pengurangan dampak buruk nikotin.
Di sejumlah negara, peredaran produk turunan tembakau, yakni rokok elektronik, termasuk rokok elektronik melalui pengasapan dan snus atau tembakau bubuk tanpa asap, diatur ketat. Sesuai regulasi, snus dilarang dijual di negara-negara Uni Eropa kecuali Swedia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski diatur ketat, konsumsi rokok elektronik terus meningkat. Di Inggris, misalnya, menurut Deborah Arnott, Chief Executive of Action on Smoking and Health (ASH) Inggris, ada 9 juta perokok di Inggris. Sementara jumlah pengguna rokok elektronik naik dari 2,8 juta tahun 2016 menjadi 2,9 juta orang pada 2017 ini.
Pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Ardini S Raksanagara, menegaskan, harus ada regulasi ketat untuk mengendalikan dampak buruk rokok elektronik bagi kesehatan.
Saat ini belum ada regulasi yang jelas tentang peredaran rokok elektronik di Indonesia. “Kalau tidak ada aturannya, penjual bisa seenaknya meracik nikotin cair dan bahan kimia lain sehingga melebihi standar toksisitas,” ujarnya.
Peraturan itu diperlukan untuk mengatur tata niaga dan standardisasi produk serta konsistensi racikan dalam mencampur nikotin. “Harus diatur bahwa rokok elektronik hanya boleh dijual kepada orang dewasa dan perokok berat, bukan untuk perokok pemula,” kata Ardini.
Mengurangi risiko
Menurut Jeannie Cameron, Direktur Pengelola JCIC International, konsultan kebijakan internasional, dalam konvensi kerangka kerja pengendalian tembakau (FCTC) disebutkan, strategi pengurangan dampak buruk tembakau jadi bagian pengendalian tembakau.
Dengan demikian, negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang meratifikasi FCTC tak hanya mengizinkan produk yang bisa mengurangi dampak buruk nikotin. Mereka juga berkewajiban untuk menerapkan hal itu sebagai bagian kebijakan pengendalian tembakau.
Gerry Stimson, Ketua Aliansi Nikotin Baru (The New Nicotine Alliance), menyatakan, merokok merupakan penggunaan tembakau yang paling berdampak buruk bagi kesehatan. Banyak orang sulit berhenti merokok karena kecanduan nikotin.
Terkait hal itu, berbagai produk nikotin berisiko lebih rendah dikembangkan untuk membantu orang beralih dari merokok. Menurut dia, penggunaan produk nikotin yang diklaim lebih aman, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan snus, terus meluas.
Dalam riset yang dipaparkan Peter Lee, ahli epidemiologi dan statistik medik, ada indikasi snus lebih aman 95 persen dibandingkan dengan rokok konvensional. Namun, itu perlu riset lebih lanjut dan subyek penelitian lebih luas.
Ardini menilai, perlu uji klinis lebih lanjut untuk memastikan keamanan produk nikotin atau produk turunan tembakau itu. Meski demikian, pemakaian rokok elektronik berpotensi jadi terapi alternatif agar berhenti merokok.
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juni 2017, di halaman 14 dengan judul “Rokok Elektronik Perlu Dikontrol”.