Kecilnya anggaran, regulasi yang tak mendukung, dan kesenjangan antara dunia riset dan industri masih jadi persoalan mendasar pengembangan riset dan inovasi di Indonesia. Meski pemerintah berganti, masalah itu tak pernah tuntas. Akibatnya, kemandirian teknologi sekadar ilusi.
”Dari tahun ke tahun, rasio anggaran riset Indonesia pada produk domestik bruto nyaris tak beranjak dari 0,08 persen,” kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lukman Hakim, Minggu (22/6), di Jakarta.
Peningkatan pendapatan dan belanja negara tiap tahun tak turut mengerek anggaran riset. Namun saat APBN 2014 dipangkas, anggaran riset ikut terpotong. Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menginisiasi kenaikan anggaran riset hingga 1 persen dari PDB pun belum terealisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Pengembangan riset dan inovasi belum jadi prioritas pemerintah,” kata Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Institut Teknologi Bandung Wawan Gunawan A Kadir.
Hal itu mengakibatkan kemandirian teknologi yang memengaruhi ketahanan nasional jauh dari harapan. Sebagai contoh, hampir semua gawai buatan mancanegara, semua mobil yang lalu lalang buatan negara lain.
Terabaikannya riset dan lemahnya aplikasi hasil riset membuat Indonesia tak mampu memenuhi segala kebutuhan hidup. Aneka bahan pangan, tekstil, obat-obatan, hingga jepit rambut harus diimpor. Dengan 252 juta penduduk, Indonesia adalah pasar besar produk negara lain.
Tak menarik
Rendahnya anggaran riset berdampak rendahnya minat orang menekuni sains dan teknologi serta jadi periset atau perekayasa. Menurut Wawan, hanya 9-10 persen lulusan perguruan tinggi Indonesia per tahun berlatar belakang sains dan teknologi. Idealnya, negara punya 30 persen sarjana sains dan teknologi.
Di antara lulusan bidang sains dan teknologi itu, hanya sedikit yang bekerja di bidang riset. Sebagian memilih jadi peneliti di negara lain yang punya infrastruktur riset dan memberi penghargaan lebih baik.
Menurut Bank Dunia, dibandingkan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (BRICS) dan negara di kawasan ASEAN, jumlah peneliti Indonesia paling kecil. Hal itu membuat daya saing Indonesia rendah. ”Pemerintah ke depan harus menumbuhkan iklim kondusif bagi dunia riset dan inovasi,” kata Wawan.
Buah investasi riset pemerintah baru akan dirasakan pada dekade mendatang, tak bisa dinikmati dalam 5 tahun seperti umur pemerintah. Satu periode pemerintah abai, akan berdampak besar bagi bangsa. (MZW)
Sumber: Kompas, 23 Juni 2014