Transfer Teknologi Menjembatani Dua Pihak
Riset obat dan alat kesehatan hasil kolaborasi perguruan tinggi, industri, dan pemerintah berorientasi produk bisa jadi langkah awal mengurangi ketergantungan pada obat dan alat kesehatan impor. Untuk menjembatani peneliti dan industri perlu ada transfer teknologi.
Menurut Kepala Laboratorium Riset Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Amarila Malik, Selasa (8/12), di Jakarta, Indonesia punya sumber daya riset obat dan alat kesehatan. Namun, ketergantungan terhadap obat dan alat kesehatan impor tinggi.
Padahal, untuk melepas ketergantungan terhadap obat dan alat kesehatan impor tak perlu inovasi teknologi mutakhir. Dengan mengembangkan sendiri produk serupa dengan produk impor, itu sudah memadai. Harapannya, produk dalam negeri bisa menggantikan produk impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Populasi, terutama pada kelompok lanjut usia, dan perubahan gaya hidup memengaruhi epidemiologi penyakit. Akibatnya, kebutuhan obat dan alat kesehatan inovatif meningkat.
“Melalui riset di dalam negeri, kita bisa membuat sendiri obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan masyarakat, misalnya insulin rekombinan melalui riset bioteknologi,” kata Amarila.
Untuk itu, dukungan pemerintah terhadap riset berorientasi produk untuk masyarakat perlu ditingkatkan. Sebenarnya pemerintah punya daftar topik riset prioritas yang bisa dipilih para peneliti. Topik itu ditetapkan sesuai kebutuhan masyarakat.
Tiga pilar
Manajer Riset dan Pelayanan Masyarakat FKUI Budi Wiweko memaparkan, ada tiga pilar penting riset kesehatan, yakni universitas, rumah sakit, dan pusat riset. Dari tiga itu, harus ada transfer teknologi yang menawarkan hasil riset ke industri.
“Karakter peneliti dan industri berbeda. Tugas bagian transfer teknologi ialah menjembatani dua pihak ini, misalnya membuat rencana bisnis produk hasil penelitian agar industri mau melirik,” kata Wiweko.
Beberapa riset dilakukan FKUI dan industri, antara lain tele-ultrasonografi (tele-USG), implan mata bagi penderita glaukoma, antivirus dengue, dan vaksin HIV dan flu burung. “Sistem tele-USG memudahkan komunikasi ibu hamil dengan dokter di rumah sakit agar risiko gangguan terdeteksi awal,” ucapnya.
Selain itu, ada riset yang butuh kajian ilmiah secara benar. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Untung Suseno Sutarjo, penerapan teknologi dan produk teknologi pada manusia harus lewat tahap riset yang benar, mencakup uji manfaat dan keamanan, uji diagnostik, dan studi kasus.
“WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) punya standar emas riset obat atau alat kesehatan sebelum penerapan pada manusia,” kata Staf Ahli Menkes Bidang Medikolegal Tri Tarayati, kemarin. Hal itu disampaikan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sebagai acuan pembinaan pencipta inovasi kesehatan.
Sejumlah tahap wajib dilalui sebelum obat atau alat kesehatan diterapkan pada manusia, antara lain pengujian pada hewan dan manusia. Pengujian pada manusia terdiri dari fase penelitian keamanan dan toleransi pengobatan, pengkajian dosis terapi, evaluasi, dan pemantauan.
Baku emas riset diterapkan pada diagnosis kanker, yakni metode biopsi, pemeriksaan sampel jaringan pasien. Karena itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes meminta PT Edwar Technology menghentikan pengoperasian electro capacitive cancer treatment(ECCT) dan electrical capacitance volume tomography (ECVT) untuk diagnosis dan terapi kanker. Warsito Purwo Taruno ialah penemu teknologi itu.
Kemenkes mengevaluasi teknologi itu sebulan. Pada 2012, Balitbang Kemenkes dan Edwar Technology menandatangani nota kesepahaman riset pemanfaatan ECCT dan ECVT, tetapi Edwar Technology tak mau memakai metode biopsi. Meski riset belum jalan, Edwar Technology menerima ribuan pasien. Warsito berharap Kemenristekdikti menjembatani soal itu.(ADH/YUN/JOG)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Desember 2015, di halaman 14 dengan judul “Riset Kesehatan untuk Kemandirian Bangsa”.