Riset dan inovasi merupakan syarat utama meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa. Saat semua negara berlomba meningkatkan anggaran riset, Indonesia justru memangkas anggarannya yang sudah kecil. Keberlanjutan pembangunan ekonomi dan kemandirian bangsa terancam.
Di antara negara-negara dengan ekonomi tangguh anggota G-20, hanya Indonesia dan Arab Saudi yang anggaran risetnya kecil, yaitu 0,1 persen dari produk domestik bruto (data UNESCO 2016). Tanpa riset, tak ada inovasi. Tanpa inovasi, bangsa akan sangat bergantung pada produk teknologi bangsa-bangsa lain.
Lihat saja, betapa teknologi negara lain menguasai Indonesia, mulai dari telepon seluler, otomotif, hingga teknologi tinggi. Padahal, peneliti, perekayasa, dan industri Indonesia mampu membuat sebagian besar produk tersebut. ”Butuh perubahan sistem yang signifikan dalam pengembangan riset di Indonesia,” kata Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi ”Masa Kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Rabu (14/9).
Diskusi diadakan dua kali. Diskusi pertama menghadirkan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S Wisnubroto, dan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Diskusi kedua menghadirkan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) Muhammad Dimyati, serta Satryo Soemantri Brodjonegoro dari AIPI.
Meskipun anggaran riset kecil, 74 persennya masih terkumpul dari pemerintah dan perguruan tinggi. Hanya 26 persen dari sektor bisnis. Itu berbanding terbalik dengan situasi negara maju, seperti Korea Selatan yang 78 persen anggaran risetnya ditopang industri. ”Artinya, riset di negara maju berbasis kebutuhan industri,” kata Satryo.
Indonesia sebenarnya mampu membuat produk-produk teknologi meski pada fase awal kualitasnya belum sepadan produk negara maju. Namun, keberpihakan negara untuk memberdayakan produksi bangsa sendiri diperlukan guna memicu riset dan inovasi baru hingga mampu menghasilkan produk unggul.
”Inovasi anak bangsa belum menjadi tuan di negerinya sendiri karena 58 persen sumber teknologi Indonesia dari luar negeri,” kata Dimyati.
Bambang mengingatkan, yang ditakuti negara lain dari Indonesia bukanlah jumlah publikasi atau doktor. ”Mereka takut jika Indonesia berkomitmen menggunakan hasil risetnya,” katanya.
Anggaran riset kecil tecermin dari keterbatasan sarana dan prasarana riset di sejumlah lembaga. Keterbatasan itu bukan hanya pada peralatan penelitian yang mahal dan berteknologi tinggi, melainkan juga pada infrastruktur dasar seperti listrik.
Di Pusat Penelitian (Puslit) Biomaterial LIPI, daya listrik yang terpasang hanya 144 kilowatt (kW). Jika ada peneliti yang mengoperasikan alat hot press yang butuh daya 30-40 kW, peralatan riset lain distop operasi.
Jika daya listrik dinaikkan, Puslit Biomaterial LIPI tidak akan sanggup membayar tagihan listrik yang saat ini berkisar Rp 25 juta hingga Rp 30 juta per bulan. Padahal, 80 persen proses riset di sana sangat bergantung pada pasokan listrik.
”Untuk memberi hasil riset maksimal, pemerintah selayaknya mengupayakan dulu penyempurnaan fasilitas riset, bukan menuntut hasil,” kata peneliti biokomposit Puslit Biomaterial LIPI, Ismadi.
Pemotongan
Meski anggaran riset sekarang kecil, pemerintah masih memangkas demi keseimbangan anggaran negara. Selama 2016, pemerintah sudah dua kali memotong anggaran lembaga negara, yaitu sebelum APBN Perubahan 2016 ditetapkan dan akhir Agustus. Kini, muncul wacana pemotongan ketiga.
Pemotongan membuat lembaga riset memangkas dana riset karena tak mungkin mengurangi anggaran gaji pegawai dan operasional lembaga. Akibatnya, lembaga riset mengubah rencana dan menjadwal ulang agenda riset.
Menurut Thomas, anggaran Lapan 2016 setelah dua kali dipangkas susut 15 persen dari Rp 777,5 miliar menjadi Rp 664 miliar. Itu membuat Lapan menunda pembelian citra satelit resolusi tinggi untuk pemetaan kawasan dan perencanaan tata ruang wilayah. Pengembangan roket sonda untuk penelitian juga dihentikan sementara.
Sementara anggaran Batan terpangkas 8 persen dari Rp 814,9 miliar jadi Rp 748,7 miliar. ”Meski kecil, dampaknya tetap signifikan karena dana riset murni Batan hanya 11 persen dari total anggaran Batan,” ujar Djarot.
Pemotongan dana riset di tengah tahun anggaran, kata Unggul, memperumit pertanggungjawaban anggaran riset. Proyek riset yang sudah dalam tahap belanja bahan dan tak bisa dilanjutkan karena kekurangan dana justru bisa dianggap sebagai pemborosan. ”Itu bisa jadi temuan kasus korupsi oleh Badan Pemeriksa Keuangan,” katanya.
Pemangkasan anggaran lembaga riset itu menunjukkan kebijakan anggaran riset disamakan dengan anggaran lembaga atau kementerian lain. Itu menunjukkan pemerintah kurang peduli pada riset.
Tertundanya sejumlah rencana riset membuat Indonesia masih akan lebih lama mencapai kemandirian teknologi. Tanpa riset, tidak akan ada inovasi dan tanpa inovasi, tidak mungkin daya saing bangsa terbangun.
”Padahal, peningkatan daya saing dan produktivitas sumber daya manusia merupakan salah satu program Nawacita Presiden Joko Widodo,” ujar Bambang.
Tak terkoordinasi
Selain terkendala anggaran, koordinasi antarlembaga riset di Indonesia hingga kini masih jadi persoalan yang sulit dipecahkan. Egosektoral masih menjadi kendala yang membuat banyak hasil penelitian tidak tersosialisasikan dan termanfaatkan baik.
Sebagai contoh, Batan memiliki penelitian benih padi varietas unggul, tetapi tak termanfaatkan karena Kementan lebih memprioritaskan varietas padi unggul hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementan.
Karena itu, Iskandar mengusulkan agar balitbang di kementerian teknis dilebur dengan lembaga riset pemerintah. Selain mengurangi egosektoral dan meningkatkan kemanfaatan hasil riset, upaya itu akan membuat pemanfaatan dana riset yang kecil lebih fokus dan efisien sesuai agenda nasional.
Sejumlah persoalan yang mengimpit dunia riset Indonesia itu diakui Dimyati. Namun, pemerintah sudah berusaha membuat sejumlah kebijakan baru untuk memperbaiki iklim riset, seperti pertanggungjawaban anggaran riset yang didanai Kemen- ristek dan Dikti tak lagi berbasis kegiatan, tetapi hasil atau keluaran mulai tahun 2017.
Meski demikian, upaya yang dilakukan pemerintah belum optimal sehingga suasana riset Indonesia masih terlihat suram dibandingkan dengan negara lain. Persoalan riset Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya oleh Kemristek dan Dikti karena masalah yang membelit tersebar lintas kementerian dan lembaga.
Saat ini, komunitas riset Indonesia berharap ada visi kuat dan kepemimpinan nyata dari Presiden Joko Widodo untuk pengembangan riset dan inovasi di Indonesia. Hanya dengan keberpihakan semacam itu, Indonesia bisameningkatkan daya saingnya dan sejajar dengan bangsa maju. (JOG/AIK/YUN/MZW)
Sumber: Kompas, 19 September 2016