Keberhasilan negara-negara maju mengembangkan industri ditopang riset dan inovasi kuat. Indonesia pun pada seabad kemerdekaan tahun 2045 diharapkan mencapai derajat sama. Namun, sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendasari riset dan inovasi masih lemah.
”Pembangunan budaya ilmiah unggul mutlak diperlukan bagi masa depan bangsa. Namun, itu butuh komitmen jangka panjang,” kata Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki, dalam diskusi Kompas dan AIPI tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), di Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Budaya ilmiah itu akan mendorong berkembangnya riset dan inovasi. Dari riset dan inovasi itu, keberlanjutan industri negara-negara maju terjaga. Di sisi lain, banyaknya riset dan inovasi suatu bangsa kerap jadi tolok ukur kemajuan peradaban, budaya, dan ekonomi bangsa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) mengajukan perubahan UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nasional dengan RUU Sisnas Iptek. Itu diharapkan mendorong perkembangan riset dan inovasi di Indonesia.
”RUU itu diajukan Agustus lalu dan diharapkan selesai Agustus nanti,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristek Dikti Muhammad Dimyati. Jika tak segera disahkan, pengesahannya dikhawatirkan kian lama karena tahun depan ada pemilu.
–Penelitian Dengue di Laboratorium Unit Dengue Lembaga Eijkmen, Jakarta, Senin (31/10/2016). Hingga kini, belum ada vaksin atau obat yang efektif dari penyakit akibat virus Dengue, dan pencegahan yang efektif dari gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Sangkot mengingatkan, dalam pengembangan Sisnas Iptek, perlu dijaga keseimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai fondasi inovasi dan pembangunan pengetahuan. Itu berarti, riset ilmu dasar sama penting dengan pengembangan teknologi.
Kompleks
Meski demikian, cita-cita Indonesia jadi negara maju tak mudah. Sistem riset dan inovasi yang ada jauh dari memadai.
Salah satu soal mendasar Sisnas Iptek Indonesia ialah kecilnya anggaran riset yang baru 0,25 persen produk domestik bruto (PDB) dari jumlah ideal 2 persen terhadap PDB. Dari jumlah kecil itu, hanya 30-40 persen anggaran dipakai riset.
”Sebagian besar untuk gaji dan operasional lembaga,” kata Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia Teguh Rahardjo.
Sumber daya riset Indonesia juga amat kurang. Saat ini, jumlah peneliti Indonesia 1.071 orang per sejuta penduduk. Itu sudah menghitung dosen yang ada di perguruan tinggi, tak hanya peneliti murni di lembaga riset.
Pada 2045, Indonesia diharapkan punya peneliti 6.000 orang per sejuta penduduk seperti rasio peneliti di Korea Selatan saat ini. Itu berarti dalam 25 tahun ke depan, Indonesia harus mencetak 1,3 juta peneliti baru. Repotnya, ”Saat ini baru ada tiga world class university (universitas kelas dunia) dan 25 universitas yang memiliki budaya meneliti baik,” kata Dimyati.
Masalah lain Sisnas Iptek Indonesia saat ini ialah tumpang tindih dan tak ada koordinasi antarlembaga penelitian dan perguruan tinggi. Soal kelembagaan dan tata kelola itu membuat anggaran riset kecil tak termanfaatkan optimal. Di sisi lain, relevansi dan produktivitas riset juga amat kurang. Menurut Dimyati, dari sekitar 18.000 riset yang didanai pemerintah, hanya 600- 700 riset yang siap dihilirisasi.
Pendanaan
Masalah Sisnas Iptek lain yang jadi keluhan peneliti adalah pembiayaan riset bertahun tunggal. Akibatnya, peneliti dituntut pertanggungjawaban atas pemakaian anggaran riset beserta hasilnya tiap tahun sesuai sistem anggaran keuangan pemerintah.
Pola pembiayaan tahun tunggal itu hampir tidak mungkin dilakukan untuk riset dasar yang umumnya berlangsung lama. Riset ini juga memiliki ketidakpastian tinggi sehingga belum tentu ada hasil. Padahal dalam riset, hasil salah pun bisa jadi sumber pengetahuan baru.
”Riset tidak harus selalu menghasilkan produk, khususnya riset dasar,” kata Teguh. Namun, itu akan memberi manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan ke depan yang bisa dimanfaatkan untuk membuat produk.
Para peneliti berharap, pembiayaan riset memakai sistem tahun jamak (multiyear). Keinginan itu dijawab pemerintah melalui peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Meski demikian, Wakil Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro mengingatkan, pendanaan riset Indonesia masuk dalam kategori pengadaan barang sehingga peneliti akan selalu dituntut hasilnya. Karena itu, meski bertahun jamak, risiko pelanggaran pidana tetap ada.
Idealnya, pendanaan riset dasar memakai sistem hibah. Untuk menjaga akuntabilitas penggunaan dana, penilaian atas pencapaian riset bisa dilakukan rekan sejawat yang memahami riset bidang itu. Jika ditemukan pelanggaran, peneliti akan dikenai sanksi dengan dimasukkan dalam daftar hitam sehingga tak bisa mencari dana riset berikutnya. ”Dengan hibah utuh atau block grant, peneliti memiliki fleksibilitas berinovasi dan menemukan hal baru,” katanya.
Namun, ke depan, pembiayaan riset Indonesia diharapkan menggunakan dana abadi. Hasil investasi dari dana abadi itu yang digunakan untuk mendanai riset yang ada. Konsep yang diterapkan banyak negara maju itu lebih menjamin keberlangsungan riset. (MZW/ADH/NIK/ISW/YUN)
Sumber: Kompas, 7 April 2018