Indikasi pemerintah meningkatkan dana riset untuk masa mendatang hingga kini belum terlihat. Kegiatan riset dana rendah yang berbahan murah, tetapi memberi manfaat besar bagi masyarakat, lebih diutamakan.
”Sekarang, ilmuwan, lembaga riset, dan universitas yang harus bertanggung jawab memilah-milah riset dengan anggaran terbatas tetapi berbahan murah dan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat,” kata ahli astronomi dari Institut Teknologi Bandung, Bambang Hidayat (76), sebagai pembicara tamu pada penyerahan ke-17 Penghargaan Sains dan Teknologi oleh Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) di Jakarta, Kamis (10/2).
ITSF dibentuk perusahaan dari Jepang. Penghargaan yang disertai dana riset masing-masing Rp 20 juta diberikan kepada sembilan pengajar pendidikan sains di tingkat SMA. Di antaranya kepada Cece Sutia yang mengajukan judul riset ”Penggunaan Alat dan Bahan dari Dapur untuk Membuktikan Prinsip-prinsip Keilmuan dalam IPA”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hibah dana riset berkisar Rp 36 juta sampai Rp 46 juta diberikan untuk 15 peneliti dari berbagai universitas dan lembaga riset. Penghargaan tertinggi disertai dana riset Rp 75 juta diberikan kepada Suryadi Ismadji dari Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya.
Suryadi mengajukan proposal riset berjudul ”Pemanfaatan Bahan Murah dan Limbah Pertanian untuk Pengelolaan Lingkungan dan Konversi Menjadi Bahan Lain yang Mempunyai Nilai Ekonomis”.
”Salah satunya, riset itu ingin menjadikan limbah kulit ketela pohon (singkong) untuk karbon aktif sebagai bahan superkapasitor,” kata Suryadi.
Superkapasitor dibutuhkan sebagai elemen pembuatan baterai atau penyimpan arus listrik. Limbah gergajian kayu dan limbah jarak juga disebutkan sebagai bahan murah yang dapat dioptimalkan manfaatnya untuk sumber energi.
”Riset ini memanfaatkan secara total sumber daya yang ada di sekitar masyarakat sehingga temuan inovasi bisa diaplikasikan masyarakat dengan bahan baku yang murah dan tersedia sebagai limbah pertanian melimpah,” kata Suryadi. (NAW)
Sumber: Kompas, 11 Februari 2011
——————-
Insentif untuk Riset Pendeteksi Korban Gempa
Insentif dana riset dari Indonesia Toray Science Foundation digunakan antara lain untuk penelitian robot pendeteksi korban bencana gempa. Meski tidak besar, insentif dari perusahaan Jepang itu ikut menggairahkan iklim penelitian di Indonesia.
”Saya menggunakan teknologi robot haptics, dengan metode kontrol bilateral,” kata periset Abdul Muis dari Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Rabu (9/2) di Jakarta. Ia mendapat dana riset Rp 35 juta.
Perusahaan Toray Industries Inc dari Jepang memiliki 10 perusahaan patungan yang beroperasi di Indonesia. Sejak tahun 1993, perusahaan itu membentuk Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) untuk membantu pengembangan riset.
Sebanyak 19 riset periode 2009-2010 dibiayai dengan dana Rp 3 miliar. ”Penelitian itu tidak ada hubungan dengan usaha Toray,” kata Ketua ITSF Soefjan Tsauri.
Abdul Muis mengatakan, robot untuk bencana gempa dengan teknologi haptics lebih akomodatif terhadap kondisi lapangan. Teknologi robot ditujukan untuk mendeteksi keberadaan korban di bawah reruntuhan puing bangunan akibat gempa.
”Dengan kontrol bilateral, maka dibutuhkan master yang menunjang pengendalian robot secara lebih akurat,” kata Abdul Muis.
Menurut Abdul Muis, keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala pengembangan riset di Indonesia. Padahal, kapasitas para ilmuwan cukup memadai untuk menunjang berbagai kebutuhan negara.
Secara terpisah, Amin Soebandrio, Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi, mengatakan, saat ini alokasi anggaran riset baru mencapai 0,04 persen dari produk domestik bruto (PDB). Jumlah ini jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga yang memiliki dana riset mencapai 1 persen dari PDB.
Beberapa periset lain yang menerima dana insentif ITSF 2009-2010 juga menunjukkan keandalannya. Ika Roostika Tambunan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika di bawah Kementerian Pertanian berhasil mengembangkan metode penyimpanan plasma nutfah pisang.
”Peralatan penyimpanan plasma nutfah pisang dengan volume 34 liter bisa untuk menyimpan 2.000 sampai 3.000 kalus (struktur regenerasi pisang) sampai puluhan tahun,” kata Roostika.
Fatimah, periset lain dari lembaga sama dengan Roostika, memanfaatkan dana insentif dari ITSF untuk mengidentifikasi gen penting padi lokal. Tujuannya supaya padi tahan serangan penyakit bacterial leaf blight (BLB) atau penyakit kresek yang mengakibatkan gagal panen karena daun padi mengering. (NAW)
Sumber: Kompas, 10 Februari 2011