Osbert Adrianto, pendiri DreamBox, memulai usaha kecil-kecilannya ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang. Sebagai “branding agency” dan “creative agency”, DreamBox membantu klien mengembangkan “branding” dan memberikan solusi teknologi sesuai keinginan klien.
Saya dan beberapa kawan memulai merintis DreamBox sejak masih kuliah. Awalnya kami sebagai creative agency dengan membuat website-website. Setelah ada dukungan dari para mentor di Skystar Ventures dan mendapatkan berbagai pelatihan, kami menemukan metodologi dalam berbisnis. Kami sudah menjalankan bisnis ini selama lima tahun. Saya lulus kuliah tahun 2013 dan kini DreamBox sudah memiliki belasan karyawan dengan pendapatan ratusan juta rupiah, bahkan mendekati miliaran rupiah,” ungkap Osbert dalam percakapan dengan Kompas, beberapa waktu lalu.
Osbert dan DreamBox hanya salah satu contoh sukses start up (usaha rintisan) yang didirikan mahasiswa UMN setelah mengikuti program inkubasi yang diselenggarakan Skystar Ventures. DreamBox salah satu tenant program inkubasi batch pertama. DreamBox didirikan pada 2014 oleh tiga founder alumni Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang berlatar belakang Desain Grafis, Manajemen Bisnis, dan Akuntansi. DreamBox sudah menangani lebih dari 50 proyek di berbagai bidang, mulai dari logistik, perbankan, ritel, properti, sampai pada bidang pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama
Skystar Ventures adalah wadah wirausaha kreatif berbasis teknologi di Indonesia, yang didirikan UMN dan didukung Kompas Gramedia, untuk menarik minat anak muda di bidang teknologi komunikasi dan informasi. Sejalan dengan misinya, Skystar Ventures bertujuan mengembangkan ekosistem usaha rintisan di Indonesia.
Skystar Ventures UMN merupakan program inkubasi yang pertama dibangun di kampus perguruan tinggi di Indonesia. Kampus lain juga memiliki program inkubasi, tetapi umumnya tidak ada tindak lanjut. Kampus-kampus lain juga baru memulai, tetapi acap kali mismanajemen.
Semua mahasiswa UMN dari lintas program studi (prodi) diwajibkan mengambil kelas entrepreneurship. Mereka diharuskan membangun ide bisnis dan mewujudkannya. Dari dua batch selama dua tahun, sudah terbentuk 15 tim start up, masing-masing beranggotakan 3-5 mahasiswa. Saat ini yang masih berjalan tim-tim lainnya. Apabila mereka kesulitan mengatur waktu, Skystar Ventures memberikan kesempatan kepada mereka untuk lulus terlebih dahulu. Yang penting, mereka sudah paham usaha rintisan.
Program inkubasi Skystar Ventures berupa pelatihan (training), mentorship, penyediaan fasilitas tempat kerja, sampai akses ke jaringan profesional. Intinya, Skystar Ventures membantu para pendiri mengembangkan ide dan kapabilitas di bidang teknologi informasi.
Banyak anak muda yang memulai usaha rintisan tidak mendapatkan pelatihan dan pengetahuan tentang bisnis. Setelah mereka lulus dari UMN, apa yang akan mereka kerjakan?
“Di Indonesia, keterampilan dalam bidang teknologi komunikasi informasi masih relatif rendah, sementara tenaga yang ahli di bidang ini banyak dibutuhkan,” kata Geraldine Oetama, Executive Director Skystar Ventures. Usaha rintisan di Indonesia saat ini jumlahnya masih relatif kecil, padahal pasar Indonesia sangat besar. Inilah saatnya untuk mengedukasi.
Geraldine berpendapat, market di dunia teknologi komunikasi dan informasi sangat besar, tetapi belum banyak yang memulainya dari kurikulum di bidang edukasi, program inkubasi, mentoring, dan foundation. “Melalui SkyStar Ventures di Universitas Multimedia Nusantara, kami membangun ekosistem start up,” katanya.
“Kami lebih fokus pada internet dan mobile base. Tahap dini, re-engine dari ide ke prototipe. Tujuannya untuk meningkatkan skill dan kapabilitas. Kenapa? Banyak kualitas pendidikan perguruan tinggi di bidang teknologi informasi masih teori,” kata Geraldine.
Enam bulan
Para peserta program inkubasi di Skystar Ventures dibantu para profesional yang sudah sukses dalam bidangnya. Mereka mulai mengerjakan bisnis kecil-kecilan. Adapun Skystar Capital membantu dalam pendanaan awal dan keahlian bisnis. Delapan puluh persen para mentor adalah pendiri usaha rintisan yang berhasil dan pernah gagal. Dengan demikian, para peserta program inkubasi mendapatkan pengalaman yang nyata.
Program ini dimulai dengan business competition pada akhir 2013. Peserta kompetisi ini di antaranya DreamBox dan IniGame, yang sampai sekarang bisnisnya berjalan dengan lancar.
Yovita Surianto, Program Manager Skystar Ventures UMN, menjelaskan, program inkubasi itu berdurasi enam bulan. “Kami fokus membantu mahasiswa UMN dan juga dari luar UMN, mulai dari proses pengembangan ide, validasi, sampai mengembangkan produk-produk yang diinginkan customer. Program mentoring dan coaching ini dilakukan satu atau dua minggu sekali selama dua-tiga jam dengan mempertemukan start up dengan entrepreneur. Kami membantu mahasiswa agar mereka punya kapasitas.” ujarnya.
Topik workshop yang dilakukan Skystar Ventures secara intensif setiap minggu beragam, mulai dari marketing, business development, sampai cara membangun tim. Semua topik ini relevan dengan bisnis usaha rintisan yang dibangun.
Workshop dilakukan mentor-mentor Skystar yang jumlahnya 60 orang. Sebagian besar adalah pendiri usaha rintisan yang pernah gagal dan kini berhasil serta praktisi yang terlibat program inkubasi Skystar Ventures.
Kurikulum yang diterapkan dalam program ini dibangun menggunakan metodologi lean start up. Para peserta belajar bagaimana memvalidasi ide, mewawancarai customer, dan bagaimana mendapatkan customer. Di sinilah, pengelola Skystar melihat bagaimana usaha rintisan bisa berkembang. Mereka belajar mencari solusi dari berbagai masalah yang ada, dari hal logistik, komunikasi, media, sampai pada inefisiensi anggaran.
Dengan mentorship, fasilitas kerja, dan network yang diberikan, Skystar Ventures berharap lebih banyak pendiri muda mengembangkan usaha rintisannya lebih baik dan lebih profesional. “Itu berarti kami menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan sumber daya manusia. Di emerging country seperti Indonesia, lulusan perguruan tinggi banyak memilih menjadi PNS. Melalui program ini, kami mempromosikan mahasiswa untuk menjadi wirausaha, entrepreneur. Kami ingin memajukan start up Indonesia melalui edukasi,” kata Geraldine Oetama.
William Eka, Associate Director Skystar Capital, yang juga salah satu mentor Skystar Ventures, mengatakan, di kampus lain, mahasiswa masih berkutat pada teori dari profesor dan pengajar. Namun, di UMN, peserta inkubasi di Skystar Ventures langsung “dicempulingin”. Mereka didampingi 60 mentor yang ahli dalam teori dan praktisi bisnis. Bantuan praktisi bisnis itu sangat membantu. Inilah yang membedakan Skystar Ventures dengan program inkubasi lainnya.–ROBERT ADHI KSP
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul “Skystar UMN Cetak “Technopreneur” Muda”.
——-
Tak Perlu Menunggu Sempurna
Produk yang dikeluarkan para start up (usaha rintisan) tak perlu harus menunggu sempurna dahulu. Melalui metode Lean dan Javaline Board yang diterapkan dalam program inkubasi, usaha rintisan mampu berkembang secara cepat.
“Saat mahasiswa punya ide dengan idealisme tinggi, mereka langsung terjun dan dapat mengetahui keinginan customer,” ujar Yovita Surianto, Program Manager Skystar Ventures, dalam percakapan dengan Kompas.
Lean Methodology merupakan konsep yang populer di Silicon Valley. Intinya adalah deliver product, memberikan produk yang diinginkan customer. Intinya, produk dikeluarkan, menerima feedback dari masyarakat, sampai akhirnya tiba di titik produk yang pas. Produk dikeluarkan setiap dua bulan, sampai akhirnya konsumen mendapatkan produk yang diinginkan.
“Metodologi ini terbukti sangat sukses diterapkan start up-start up di seluruh dunia. Uber, Dropbox, Airbnb adalah beberapa contoh. Mereka tidak menunggu sukses dulu. Itu inti lean start up,” kata William Eka, Associate Director Skystar Capital.
William berpendapat, karakter founder yang sukses adalah mereka lebih gigih, tak mudah menyerah, lebih fokus, dan mau belajar. “Kalau dapat feedback, mereka tidak emosional,” kata William.
Ketika membangun ide, peserta inkubasi di Skystar Ventures jangan hanya terpukau melihat usaha rintisan yang sudah sukses di luar negeri. Persoalan yang dihadapi usaha rintisan di luar negeri berbeda dengan di Indonesia. “Etobee dan Go-Jek, misalnya, adalah jawaban kebutuhan di Indonesia. Itu solusi lokal. Sementara 3D Glass, mobil terbang, tidak terlalu penting bagi Indonesia,” kata William.
NimoArt
Salah satu usaha rintisan yang berhasil menyerap ilmu di Skystar Ventures adalah NimoArt yang menjual kerajinan tangan (handmade) secara daring. Founder NimoArt adalah Sherlein, Irine Natalia, dan Randy D’nata Prayogo. Usia mereka rata-rata 18 tahun. Anak-anak muda ini mengambil barang-barang kerajinan tangan dari penyuplai dan menjualnya melalui website dan Instagram. NimoArt mendapatkan omzet per bulan sekitar Rp 10 juta. Untuk usaha rintisan yang baru didirikan, jumlah itu cukup baik.
NimoArt salah satu tenant yang menjalankan program inkubasi batch kedua di Skystar Ventures. NimoArt adalah e-commerce platform produk arts and crafts. Konsumen dapat menemukan ragam kerajinan terbaik mulai dari produk Do-It-Yourself (DIY) yang dikemas dalam satu paket dan produk kerajinan tangan berkualitas tinggi dari perajin lokal yang tergabung menjadi penyuplai NimoArt.
Melalui NimoArt, konsumen dapat dengan mudah memilih dan membeli produk kerajinan tangan dan Paket DIY untuk diri sendiri ataupun sebagai hadiah yang unik untuk keluarga dan kerabat terdekat. Dalam proses pengembangan produknya, NimoArt membuktikan sektor art and craft memiliki potensi pasar yang besar baik di Indonesia maupun mancanegara.
Belum lama ini Sherlein diundang ke Korea Selatan mewakili Indonesia, menghadiri Entrepreneurship Global Competition Programme yang diadakan World Bank. Sherlein mengikuti pelatihan selama dua minggu dan di sana dia mendapatkan investor.
Acara itu diikuti open application di negara berkembang. Dari 5.000 application, dipilih 500 finalis. Yang ikut program itu hanya 30 orang. Dari Indonesia, pesertanya dua, di antaranya dari UMN, yaitu Sherlein dan Abraham Ryan (community coordinator di Skystar), sementara satu lagi usaha rintisan lokal.
“Kami mendorong mahasiswa bisa apply di kompetisi internasional dan mengembangkan kapasitas mereka sebagai start up yang punya kompetensi,” kata William.
IniGame
Usaha rintisan lainnya adalah IniGame, portal game yang dikembangkan mahasiswa UMN yang membahas game dan trennya. Usaha rintisan ini didirikan founder Alvian Dimas (CEO), Vincent Suryaputra (COO), Fabianto (CDO), Andreas Angga (CCO), dan Alfin Josef (CRO), mahasiswa dan alumni UMN dengan kompetensi yang berbeda, yaitu Teknik Informatika, Manajemen, Desain Grafis, dan Animasi. Tujuannya membangun ekosistem gamer yang terintegrasi, terdiri dari publisher, developer, vendor, dan para pemain game di mana para pelaku industri game bisa berinteraksi satu dengan lainnya tanpa memiliki batasan.
IniGame salah satu tenant dari program batch pertama di Skystar Ventures, Universitas Multimedia Nusantara, dan resmi berdiri pada tahun 2013 lewat ajang Business Idea Competition yang dimenangkan pada 2012. Lulus dari batch pertama program Skystar Ventures berbekal komunitas, tim IniGame terus mengembangkan fitur-fitur baru untuk mencapai visinya. Setelah lulus dari program inkubasi Skystar Ventures pada September 2014, platform media IniGame resmi dirilis dan disambut positif para gamer. Ini terlihat dari posisi Alexa di mana ranking IniGame di posisi ke-4.
Pada 2015, IniGame mendapatkan dana hibah Rp 250 juta dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi setelah memenangi kompetisi nasional untuk seluruh universitas pada 2015.
“IniGame bercita-cita menjadi portal game yang dikenal di Asia Tenggara agar dapat memberikan kontribusi kepada para gamer. Mereka menjual semua hal yang berkaitan dengan game melalui website IniGame. Platformnya dalam bentuk website dan peralatan game,” kata CEO IniGame Alvian Dimas.
Usaha rintisan lainnya, Batik Kultur, dikembangkan alumnus UMN, Dea Valencia. Semua pekerjanya orang-orang cacat. Dea melakukannya di sela-sela kuliahnya di UMN. Dia kuliah Senin sampai Kamis. Dan, hari Jumat sampai Minggu, Dea ke Semarang membangun bisnisnya. Senin pagi dia kembali kuliah di UMN. Dea salah satu wirausaha binaan Bank Mandiri.
Dukung start up Indonesia
Motivasi Geraldine Oetama, Executive Director Skystar Ventures, mengembangkan program ini karena dia melihat banyak masalah di Indonesia. Kapabilitas tenaga di bidang teknologi informasi di Indonesia masih sangat rendah. Skystar Ventures ingin mencetak lulusan perguruan tinggi yang menguasai teknologi dan bisnis, sebagai entrepreneur dan technopreneur.
“Banyak orang Indonesia dieksploitasi. Banyak start up hanya menjadi consumer. Hal ini justru menjadi motivasi saya membangun Skystar. Kapan lagi? Kami harus mendukung start up-start up lokal,” katanya.
Dari sisi edukasi, menurut Geraldine, Indonesia sangat terbelakang. Kondisi ini sangat berbeda dengan Singapura dan Malaysia. Pemerintah Singapura dan Malaysia sangat peduli dengan pertumbuhan usaha rintisan. Start up mendapat subsidi dua gedung besar. Lima ratus usaha rintisan berkantor di sana. Semua dibikin murah. Investor yang membangun investasi usaha rintisan di Singapura mendapat cashback. Semua universitas di Singapura mempunyai program inkubasi dan semua mentornya memiliki pengalaman inkubasi. Mereka umumnya berasal dari Silicon Valley. Kondisi inilah yang membangun ekosistem usaha rintisan di Singapura.
Di Malaysia, pemerintah memiliki program empat bulan dan mendanai usaha rintisan. Ada 70 perusahaan dari seluruh dunia diminta datang ke Malaysia untuk menjalankan program edukasi. Para start up mendapatkan kantor dan pelatihan.
“Sementara Indonesia masih terbelakang dalam program edukasi bagi para start up. Karena inisiatif pemerintah masih kurang, kami harus membangunnya dari UMN melalui Skystar Ventures,” tutur Geraldine.
Bagaimana dengan di Indonesia? Pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai mendukung start up-start up negeri sendiri. Saatnya start up-start up Indonesia maju. (ROBERT ADHI KSP)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juni 2016, di halaman 24 dengan judul “Tak Perlu Menunggu Sempurna”.