Ia menciptakan kincir penghasil listrik dari tenaga angin berkecepatan rendah.
Di pedalaman Tasikmalaya, di Lentera Bumi Nusantara yang dipimpin Ricky Elson, Sony Dwi Setiawan asyik berdiskusi dengan 12 orang kawannya. Komputer menyala di depan mereka. Sony, mahasiswa berusia 20 tahun, mengajak teman-temannya membicarakan generator dan baterai. Istilah kelistrikan mendominasi perbincangan. Mereka berdiskusi di ruangan berukuran 2 x 3 meter.
Sejumlah orang mengenakan sarung dan kaus, sementara beberapa lainnya bercelana pendek. Membentuk lingkaran, mereka berlesehan. “Kami praktik kerja dua bulan,”kata Sony, Jumat pekan lalu. Mahasiswa semester V Politeknik Negeri Jakarta itu datang ke Lentera Bumi Nusantara di Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, untuk mempelajari pembangkit listrik dari kincir angin karya Ricky Elson, 37 Tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sony mengatakan tim nya menganalisis angin yang dihasilkan instalasi kincir angin yang berdiri 10 meter arah selatan dari tempat mereka berdiskusi. Selain Sony dan kawan-kawannya, pada hari itu ada 10 guru Sekolah Menengah Kejuruan Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan, yang sedang belajar di sana untuk masa tiga bulan.
Ricky sesekali memantau dan menanyakan perkembangan penelitian sejumlah orang di sana. Lentera Bumi Nusantara merupakan pusat studi dan pengembangan teknologi energi terbarukan yang didirikan Ricky pada 2014. Setidaknya 80 pelajar, mahasiswa, guru, dan peneliti pernah belajar di situ. “Semua yang berniat belajar di sini, silakan. Gratis,” ucap Ricky.
Ada tujuh kincir angin berukuran 4-11 meter di Ciheras. Sebelum datang ke Ciheras, Ricky sudah mengembangkan kincir angin Penari Langit di tiga desa di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, sejak 2012. Kini, 100 kincir angin dengan tinggi 4 meter terpasang di tiga desa di sana: Kalihi, Palindi, dan Tanarara. Tiap-tiap kincir menghasilkan setrum 500 watt. “Kami menyebut kincir itu sebagai Penari Langit,” katanya.
Fakta bahwa Indonesia baru bisa memproduksi listrik 65 megawatt dari kebutuhan 100 ribu megawatt membuat Ricky miris. Saat ini, konsumsi energi terbarukan di Indonesia baru 11,9 persen. Penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia tergolong tinggi, padahal hal itu merusak lingkungan. “Kita harus memikirkan energi terbarukan, dan memiliki kemandirian energi.”
Penggerak energi rakyat, Tri Mumpuni, menga takan teknologi kincir angin karya Ricky itu bisa menjadi salah satu solusi energi bagi Indonesia. Ia mengungkapkan, kincir Penari Langit hanya membutuhkan angin berkecepatan 2-4 meter per detik, jauh lebih kecil dibanding turbin angin asing yang baru bisa menghasilkan listrik bila kecepatan anginnya 7-10 meter per detik.
Teknologi karya Ricky ini telah dilirik Jepang. Tri Mumpuni, yang sekarang berada di Ramallah, Palestina, sedang memproses penerapan teknologi karya Ricky di negeri Timur Tengah itu atas permintaan Jepang. “Mesin listrik buatan Ricky itu murah, mudah, dan berdampak pada masyarakat sekitar. Temuan Ricky perlu dikembangkan di berbagai daerah terpencil di Indonesia,” katanya.
Sumber: Koran Tempo, edisi kemerdekaan, 16 Agustus 2017
—————-
Ricky Elson: Tenaga Angin, Mobil Listrik, dan Nasionalime
Siang itu cuaca sangat bersahabat. Cerah dan sejuk. Angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela mobil lembut membelai kulit. Pemandangan pesisir pantai berpasir putih berhias pohon kelapa di pesisir pantai Cipatujah begitu mempesona. Sesekali, gundukan pasir menghiasi sebagai tanda bahwa pernah ada penambangan pasir besi di sana.
Setelah sekian lama, ada pemandangan tak biasa. Tiga kincir angin berwarna putih yang didirikan di tiang besi tampak berputar cepat. Kincir-kincir itu lalu tertutup oleh rumah-rumah warga seiring jauhnya mobil melaju.
Mobil lalu masuk ke halaman rumah, lalu berbelok dan melewati sebuah jalan yang hanya muat satu mobil. Di kedua sisinya ada pohon pepaya yang memang dibudidayakan. Tak jauh dari sana, sekitar dua puluh meter, pagar bambu membatas tanah depan dan belakang. Mobil terus masuk melalui lahan berpagar bambu tersebut. Di sisi kiri kanannya, terdapat rumah panggung dari kayu. Sederhana, namun tidak untuk apa yang ada tepat dihadapan. Delapan kincir angin yang berputar cepat seiring dengan angin yang berhembus dari selatan. Di sisi kanan, ada rumah berdinding triplek dan berlantai semen. Pada dinding luar yang bercat putih itu tertulis LAN dengan logonya dan tulisan LITBANG research institute.
Di komplek itulah, Ricky Elson (35 tahun) beserta tim dari LAN melakukan riset tentang tenaga angin untuk dijadikan sumber listrik. Ricky adalah anak bangsa yang membuat prototype mobil listrik yang pernah dicoba oleh Dahlan Iskan, menteri BUMN pada masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. “Selo”, mobil listrik yang awalnya ingin dikembangkan di dalam negeri tersebut, seolah tak kunjung dimulai.
Lantas pemilik 14 paten penemuan di Jepang tersebut mendirikan pusat riset untuk pengembangan tenaga angin bernama Lentera Angin Nusantara (LAN) yang bertempat di Dusun Lembur Tengah, Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sinilah Ricky bersama timnya meneliti tenaga angin untuk dijadikan sumber listrik. Tujuannya sederhana, agar seluruh bagian Indonesia terang benderang pada malam hari.
Selama beberapa tahun terakhir, Ricky yang empat belas tahun tinggal di Jepang untuk kuliah dan bekerja ini serius mengembangkan micro wind turbin atau pembangkit listrik tenaga angin berskala mikro. Skala mikro sengaja dipilih karena cocok untuk kondisi geografis dan angin di Indonesia. Selain itu juga mudah dipasang di berbagai pelosok tanah air yang belum tersentuh listrik.
Kincir angin yang diteliti oleh LAN sudah diaplikasikan di empat daerah di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur yaitu Kamanggi, Kaligi, Palihi, dan Tanah Rara. Tentu saja, cita-cita Ricky dan teman-teman dari LAN untuk menerangi seluruh pelosok nusantara dengan kincir angin buatan bangsa sendiri belum berakhir.
Atas dasar itulah Dompet Dhuafa memilih Ricky Elson untuk mendapat penghargaan Dompet Dhuafa Award 2015 bidang sains dan teknologi serta bantuan dana penelitian.
“Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas penghargaan Dompet Dhuafa Award di bidang sains dan teknologi tahun 2015. Dan saya juga berharap bahwa dengan adanya apresiasi seperti ini maka teman-teman yang bergerak di bidang sains dan teknologi juga ikut terpacu. Mari bersama-sama kita membangun negeri ini”, ucap Ricky Elson dalam sambutannya.
Masih banyak tempat di bumi pertiwi untuk menanti giliran agar bisa bercahaya di malam hari. Semoga semangat Ricky Elson bersama teman-teman LAN untuk menerangi seluruh nusantara dapat segera tercapai.
‘Selo’ dan Investor Malaysia
Lama tak ada kabar tentang Selo. Kepala Sub Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejagung memutuskan mobil ini tidak lolos uji emisi sehingga tidak dapat dibuat massal. Lantas belakangan muncul berita bahwa Malaysia tertarik berinvestasi pada pengembangan mobil ramah listrik ini. Dengan demikian, hasil dari peneltian ini sebagaian besar akan dinikmati oleh masyarakat Negeri Jiran tersebut.
Berita ini tentu merupakan prestasi bagi peraih Dompet Dhuafa Award 2015 tersebut. Saat pemerintah sendiri tidak mengapresiasi hasil karya anak bangsa, negara lain justru memberi lampu hijau unutk riset lebih lanjut. Walaupun terkesan tidak nasionalis, Namun Ricky Elson menganggap ini hanya “jalan memutar” agar kelak suatu saat Indonesia dapat mengembangkan sendiri mobil listrik ini. (Dompet Dhuafa/Erni)
Sumber:www.dompetdhuafa.org, Thu 09/2015