Tanggung jawab moral keilmuan bukan untuk meraih puncak-puncak reputasi yang disediakan oleh rezim jurnal tetapi demi peningkatan manfaat penelitian bagi manusia dan pengembangan ilmu itu sendiri.
Tujuan publikasi adalah agar hasil penelitian dibaca orang sebanyak-banyaknya dan memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Jurnal menjadi sebuah tempat untuk mempublikasikan hasil riset agar temuan berupa “data baru” dan “formulasi argumen baru” dari penelitian dapat dibaca, dijadikan rujukan, dan mungkin dibantah.
Mutu jurnal akademik ditentukan oleh beberapa hal. Substansi ditinjau dalam proses peer-review, yaitu telaah yang dilakukan oleh sejawat atau relawan akademisi satu bidang keilmuan yang memahami artikel yang akan diterbitkan. Tugas peer-reviewer memberikan penilaian dan evaluasi terhadap naskah, dan menentukan apakah layak atau tidak dipublikasikan pada jurnal akademik bersangkutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Layak atau tidak (memang) bergantung pada siapa “pembaca ahli” naskah. “Kekuatan” naskah artikel berbeda satu sama lain. Ada naskah yang memiliki kekuatan pada datanya, pada metodologinya, pada eksplorasi teoretisnya, atau pada ketajaman analisisnya.
Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan administrasi akademik dan munculnya “rezim scopus”, kini jurnal terindeks scopus dan lain-lain, menjadi primadona di kalangan akademisi.
Dulu, sebelum lahirnya rezim-rezim jurnal hanya sedikit akademisi yang mempublikasi artikel penelitian mereka di jurnal. Publikasi di jurnal memang lebih longgar ketimbang di media umum. Jurnal sengaja disiapkan untuk mewadahi karya penelitian. Kini kondisi sudah berbalik. Para akademisi dipaksa untuk melakukan publikasi dan telah ditentukan di jurnal-jurnal apa saja. Reputasi internasional atau nasional peneliti ditopang oleh publikasi di jurnal yang mana.
Rezim jurnal menara gading telah mengubah satu paradigma dasar dunia ilmu bahwa tugas atau tanggung jawab moral ilmuwan adalah menyebarkan temuan-temuan untuk dipersembahkan kepada kemanusiaan. Jadi, tidak harus dipaksa untuk publikasi, apalagi ditentukan dimana publikasi itu mesti dilakukan.
Alfred Russel Wallace misalnya, menuliskan temuan-temuan awal lewat surat-suratnya yang dikirim dari Malaya kepada Darwin di Inggris, dengan satu harapan, mungkin temuan-temuannya bermanfaat bagi penyelidikan yang sedang dilakukan sahabatnya.
Ketika Darwin selesai mengumpulkan specimen dan fosil-fosil di Galapagos, melakukan serangkaian analisis data untuk menguji sederet hipotesis, maka manuskrip The Origin of Species pun tamat. Tanggung jawab moral mengharuskan Darwin untuk mencari penerbit sehingga temuan-temuan terbaru dalam penciptaan dan evolusi, menyebar luas di masyarakat dan mendapat berbagai sanggahan.
Penerbitan apapun selalu dijaga oleh editor atau tim yang kredibel untuk menyaring. Mereka adalah para ahli terhormat di bidang ilmu masing-masing dan berpengalaman luas. Di tangannya garansi kualitas satu artikel dipertaruhkan.
Kualitas jurnal ditentukan oleh kualitas artikel (substansi, data terbaru, akurasi metodologi, analisis) yang melewati saringan tim pengkaji atau pembahas. Kualitas artikel ditentukan oleh kerja tim pembahas. Beranalogi dengan dunia seni, pembahas atau reviewer adalah para kritikus atau kurator yang menjamin mutu karya.
Rezim jurnal global telah membentuk semangat kerja keilmuan para peneliti dengan memposisikan publikasi artikel penelitian di jurnal menara gading sebagai tujuan akhir. Artikel jurnal hanya sebagian kecil dari kerja panjang proses penelitian, dari studi pendahuluan, kajian pustaka, penyusunan proposal, uji proposal, pengumpulan data, analisis, dan menulis laporan. Tujuan publikasi artikel di jurnal menara gading menyebabkan para peneliti menghabiskan jauh lebih banyak energi untuk publikasi.
Kenikmatan atau ekstase dan petualangan sunyi dalam belantara untuk mengungkap kebenaran, sebagaimana hening dunia Gregor Mendel ketika menyelenggarakan serangkaian panjang penyelidikan di kebun anggur biara untuk merumuskan teori keturunan; tidak lagi penting bagi kalangan peneliti.
Belum apa-apa, yang ada di benak peneliti adalah publikasi. Publikasi kini menjadi tujuan utama riset. Penemuan kebenaran baru, berkah-berkah yang dipersembahkan bagi kemuliaan harkat dan martabat manusia, pengembangan suatu teori, semakin terdesak oleh niat terindeks. Identitas-identitas baru yang disediakan dalam sistem mesin indeks atau mesin pencatat itu lebih penting ketimbang sebuah penelitian yang memberi sumbangan nyata kepada sekelompok masyarakat.
Di tengah kuasa rezim jurnal menara gading, para peneliti seyogyanya tetap pada kesuntukan menjalani proses riset, untuk mengalami rasa puas dalam petualangan akademik menyingkap kebenaran yang dipersembahkan kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Rezim jurnal menara gading tidak harus mendikte para ilmuwan bekerja. Dan, sepatutnya, si peneliti juga tidak harus “tergiur” dengan status-status rezim jurnal. Para peneliti tetap senantiasa bersandar di atas etika ilmu dalam riset-riset untuk menemukan kebenaran.
Saat ini, rezim jurnal telah memasuki wilayah kerja peneliti sebegitu jauh. Namun para peneliti kurang menyadari bahwa rezim jurnal campur tangan pada kerja ilmiah yang sesungguhnya independen karena memiliki kebebasan mimbar akademik.
Para peneliti harus bersikap adil dalam mempublikasi hasil-hasil penelitian. Jangan hanya untuk mendukung reputasi jurnal menara gading. Artikel-artikel yang berkualitas juga harus dipublikasikan di jurnal mana saja. Sikap adil ini akan meningkatkan kualitas jurnal secara merata. Kuasa rezim jurnal menara gading sudah harus disikapi pula oleh para peneliti dengan cara mempublikasi artikel secara adil.
Kualitas artikel tidak ditentukan oleh jurnal. Artikel yang berkualitas tetap bersinar ketika dimuat di jurnal manapun. Tanggung jawab moral keilmuan bukan untuk meraih puncak-puncak reputasi yang disediakan oleh rezim jurnal tetapi demi peningkatan manfaat penelitian bagi manusia dan pengembangan ilmu itu sendiri.
(I Wayan Artika, Dosen Undiksha Singaraja Bali, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)
Editor: YOHANES KRISNAWAN
Sumber: Kompas, 20 Februari 2021