Dengan merevitalisasi PT DI untuk mengembangkan pesawat komersial dan alat angkut militer, berarti selangkah lagi Indonesia memasuki era industri pertahanan berteknologi tinggi.
KECELAKAAN pesawat MA-60 buatan China yang dioperasikan maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines (MNA) di Papua Barat, 7 Mei lalu, menyadarkan kita betapa selama ini kita tidak memperhatikan pengembangan industri strategis, khususnya industri kedirgantaraan.
Padahal, Indonesia sudah memiliki PT Dirgantara Indonesia (DI) yang sangat potensial untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan armada pesawat untuk melayani rute perintis, sesuai dengan karakter wilayah geografis Indonesia yang masih banyak wilayah terpencil dan wilayah kepulauan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PT DI, yang lahir pada 26 April 1976 dengan nama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (pada 1985 berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, dan pada 2000 menjadi PT DI), seolah sekadar hadir. Selama 35 tahun, PT DI belum benar-benar mampu menopang kebutuhan armada pesawat udara nasional.
Terbukti, tidak banyak maskapai penerbangan nasional yang mengoperasikan pesawat produksi PT DI untuk menerbangi rute-rute pendek. Sebaliknya, PT MNA yang notabene sesama BUMN, justru ’’dipaksa’’ mengoperasikan pesawat produksi China yang diragukan keandalannya oleh banyak pihak, karena PT DI tidak mampu memenuhi kebutuhan akibat minimnya dukungan modal kerja dari pemerintah.
Momentum untuk Bangkit
Kecelakaan pesawat MA-60 harus menjadi momentum pemerintah untuk membangkitkan PT DI sebagai tulang punggung perhubungan udara di Tanah Air. Jika selama ini PT DI memproduksi banyak pesawat CN-235 yang diarahkan untuk fungsi militer bagi beberapa negara, ke depan harus diarahkan untuk multy purpose, yakni melayani kebutuhan ekonomi sebagai moda transportasi penumpang dan barang, melayani kebutuhan militer, dan melayani kepentingan kebencanaan.
Harapan itu bukan sesuatu yang mustahil bagi PT DI. Sebab, selama lebih dari tiga dasawarsa, perusahaan itu telah menjalani tahap transfer teknologi yang mencukupi. Aspek penguasaan teknologi kedirgantaraan pada insinyur di PT DI tak perlu diragukan lagi. Banyak tenaga ahli yang kini berkarya di pabrik pesawat terkemuka di luar negeri, karena tidak adanya ladang pengabdian yang memadai dengan keahlian mereka.
Akibatnya, proses alih teknologi selama 35 tahun ini yang tentu saja padat modal ini, seolah hanya untuk kepentingan penguasaan teknologi, tanpa orientasi produktivitas. Padahal, dengan kurun waktu tersebut, PT DI seharusnya sudah mampu memanfaatkan teknologi kedirgantaraannya, untuk menghasilkan rancang bangun dan produk yang kompetitif, baik dari sisi harga dan terutama kualitas, guna berkompetisi di era pesatnya jasa transportasi udara saat ini.
Apalagi, saat ini PT DI hanya membutuhkan suntikan modal finansial untuk take off mengejar ketertinggalannya.
Tentunya bukan perkara besar bagi pemerintah untuk mengucurkan puluhan, bahkan hingga ratusan triliun rupiah untuk mengembangkan PT DI, mengingat potensi besar yang dimilikinya di masa depan. Apalagi, manajemen PT DI sejatinya hanya perlu kerelaan pemerintah untuk mengonversi utang Rp 3,9 triliun menjadi penyertaan modal negara. Dengan konversi itu, secara finansial PT DI dianggap bankable, sehingga mampu mencari pendanaan sendiri sebagai modal kerja, memenuhi permintaan pasar, sekaligus mengembangkan rancang bangun pesawat udara baru.
Namun, alangkah jauh lebih baik jika pemerintah tak sekadar mengonversi utang tersebut, tetapi juga memberi tambahan modal kerja dalam jumlah yang signifikan. Apalagi, Indonesia tak lagi menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF), sehingga tidak terikat lagi dengan larangan untuk mengucurkan dana ke PT DI.
Dua Manfaat
Harus diakui, ada dua manfaat dengan merevitalisasi PT DI. Pertama, secara ekonomi, Indonesia tak perlu lagi bergantung pada produsen luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pesawat guna menerbangi rute pendek. Bahkan, dengan produk yang kompetitif, Indonesia bisa merebut pasar yang sangat potensial, baik pesawat angkut penumpang dan barang, maupun pesawat militer.
Kedua, sukses merevitalisasi PT DI, berarti akan menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang disegani. Sebab, salah satu cermin kemajuan bangsa adalah penguasaan teknologi. Dalam hal ini, PT DI sangat pantas untuk mengemban misi itu. Kemajuan PT DI, diyakini akan membawa nama Indonesia ke tempat yang lebih terhormat di masa depan.
Dengan merevitalisasi PT DI untuk mengembangkan pesawat komersial dan alat angkut militer, berarti selangkah lagi Indonesia memasuki era industri pertahanan berteknologi tinggi. Harapan Indonesia memproduksi pesawat tempur, sudah di depan mata. Jika kita mencapai fase industri pertahanan berteknologi tinggi, bangsa ini akan semakin disegani.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga perlu memperhatikan BUMN yang bergerak di industri strategis, yakni yang mengedepankan teknologi tinggi. Selain PT DI, setidaknya ada 12 BUMN lain yang berkategori industri strategis, seperti PT PAL Indonesia (produsen kapal), PT Pindad (peralatan dan persenjataan militer), PT Dahana (produsen bahan peledak), PT Krakatau Steel (produsen baja), dan PT Inka (industri kereta api).
Lahan bisnis bagi industri-industri tersebut masih sangat luas. Apalagi, dalam negeri sangat membutuhkan produk dari BUMN-BUMN tersebut. Setidaknya, dengan memenuhi kebutuhan domestik, secara politik dan ekonomi kita tidak akan ditekan atau didikte oleh negara lain. (24)
Fajar Sodiq, alumnus Teknik Geodesi UGM, pemerhati penerbangan
Sumber: Suara Merdeka, 27 Juni 2011